Temuan BPK, Bantuan Kartu Prakerja Tak Tepat Sasaran Capai Rp289,5 Miliar

  • Bagikan

JAKARTA (Waspada): Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya penyaluran bantuan program Kartu Prakerja yang tidak tepat sasaran mencapai  Rp289,5 miliar. Karena itu Pemerintah perlu mengevaluasi ketentuan penyaluran bantuan tersebut. 

“Bantuan program Kartu Prakerja kepada 119.494 peserta sebesar Rp289,5 miliar pada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian terindikasi tidak tepat sasaran,” kata Ketua BPK Isma Yatun dalam rapat paripurna DPR RI, Selasa (24/5/2022), di Jakarta .

Adapun rapat paripurna DPR kali ini yakni penyampaian ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHPS) II Tahun 2021 dan penyerahan laporan hasil pemeriksanaan (LHP) Semester II Tahun 2021 oleh BPK. 

Isma menjelaskan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan prioritas nasional yang kedua, terdapat temuan masalah pembangunan manusia yakni terkait Kartu Prakerja. BPK menemukan adanya penyaluran bantuan yang tidak tepat sasaran terhadap penerima manfaat Kartu Prakerja. 

Menurut Isma, pemerintah harus meninjau kembali besaran gaji atau upah bulanan dari para peserta program Kartu Prakerja. BPK menilai bahwa para pekerja yang menerima manfaat Kartu Prakerja itu memiliki gaji atau upah bulanan di atas Rp3,5 juta. 

“Atas permasalahan ini BPK merekomendasikan kepada Menko Bidang Perekonomian antara lain agar memperjelas pengaturan mengenai lingkup besaran batasan gaji atau upah bulanan bagi pendaftar program Kartu Prakerja,” ujarnya.

               Masalah Keuangan 

Isma juga menyampaikan bahwa terdapat permasalahan keuangan negara senilai Rp31,34 triliun yang tercantum dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester atau IHPS II Tahun 2021. 

Dia menjelaskan, bahwa IHPS II 2021 merupakan ringkasan dari 535 laporan hasil pemeriksaan (LHP), terdiri atas 3 LHP Keuangan, 317 LHP Kinerja, dan 215 LHP Dengan Tujuan Tertentu. IHPS II 2021 diserahkan oleh BPK kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada hari ini, Selasa (24/5). 

Pihaknya mengungkap ada 4.555 temuan dalam IHPS II 2021, yang memuat 6.011 permasalahan senilai Rp31,34 triliun. Diantaranya sebanyak 3.173 masalah berkaitan dengan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan senilai Rp1,64 triliun. 

“Kemudian sebanyak 1.720 masalah ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai Rp29,70 triliun; dan 1.118 masalah kelemahan sistem pengendalian intern (SPI). 

“Dalam pemeriksaan tematik ini, BPK mengungkap 2.427 temuan dengan 2.805 permasalahan sebesar Rp20,23 triliun. BPK pun menemukan sejumlah permasalahan dalam prioritas nasional penguatan ketahanan ekonomi,” tuturnya. 

Pertama, lanjut Isma, kebijakan penyelenggaraan pelayanan perizinan di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) belum seluruhnya dirumuskan dan ditetapkan sesuai Undang-Undang Cipta Kerja dan turunannya. 

Kedua, mekanisme verifikasi dan sistem informasi pengelolaan permohonan belum dapat menjamin kelayakan penerima insentif perpajakan dalam program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN). 

Ketiga, alokasi vaksin Covid-19, logistik, dan sarana prasarananya belum sepenuhnya menggunakan dasar perhitungan yang sesuai dengan perkembangan kondisi dan atau analisis situasi terbaru, data yang valid, akurat dan mutakhir. 

Selain itu, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak belum memiliki fungsi koordinasi yang terpusat dalam pengelolaan insentif atau fasilitas perpajakan. Pemerintah pusat pun masih kurang berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan kementerian/lembaga lain yang terlibat. 

“Penting kami tekankan bahwa, BPK terus berupaya keras untuk mendorong terwujudnya tata kelola keuangan negara yang efektif, akuntabel, dan transparan sesuai ketentuan perundang-undangan dan praktik internasional terbaik,” tegas Isma. (J03) 

  • Bagikan