Scroll Untuk Membaca

Nusantara

Setelah Isu JHT, Ancaman Jurang Fiskal Menanti

JAKARTA (Waspada): Sekjen Partai Gelora Indonesia Mahfuz Sidik mengatakan, isu Jaminan Hari Tua (JHT) saat ini telah memasuki fase antiklimaks setelah Presiden Jokowi memanggil Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menaker Ida Fauziyah untuk merevisi Permenaker No 2 tahun 2022. Meskipun begitu isu yang telah menghebohkan protes di berbagai daerah tidak bisa lepas begitu saja, ketika kita mencoba meletakkannya dalam konteks yang lebih besar.

“Konteks besar tersebut, yakni situasi sosial dan ekonomi yang sedang dihadapi masyarakat luas. yang tentu saja tekanan dan himpitannya dari waktu ke waktu terus bertambah dan semakin merisaukan,” kata Mahfuz dalam pengantar diskusi Gelora Talk bertajuk ‘Polemik JHT, Kemana Dananya?’, bersama Ketua Umum KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) Jumhur Hidayat, Menteri Keuangan Tahun 1998 Fuad Bawazier dan Said Didu, Sekretaris BUMN 2015-2010, Rabu (23/2).

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Setelah Isu JHT, Ancaman Jurang Fiskal Menanti

IKLAN

Ketua Umum KSPSI Jumhur Hidayat, dalam acara itu mengingatkan pemerintah agar dana JHT tidak digunakan untuk membiayai proyek lagi seperti yang telah terjadi sebelumnya, dimana dana BPJS Ketenagakerjaan Rp 10 triliun diinvestasikan untuk pembangunan LRT Palembang.
“Sampai sekarang kita tidak tahu tindak lanjutnya, nah kita mengingatkan soal JHT ini, kalau tujuannya untuk edukasi sih bagus-bagus saja, tapi kalau digunakan untuk pendanaan proyek lagi, itu yang tidak boleh,” kata Jumhur.

Mantan Kepala BNP2TKI mengingatkan agar perintah Presiden Jokowi kepada Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menaker Ida Fauziyah untuk merevisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang JHT bisa memberikan solusi bagi pekerja. “Soal JHT sebaiknya ada opsi-opsi untuk pengambilan, tidak harus ditahan sampai 56 tahun. Karena dana itu, akan digunakan untuk menyambung hidup sampai dia (pekerja) dapat lagi pekerjaan,” kata Jumhur.

Dalam hubungan itu Said Didu mengingatkan pemerintah akan menghadapi ancaman jurang fiskal dan ekonomi pada 2023 mendatang, karena pemerintah saat ini tidak memiliki uang, sementara jumlah utang, serta beban bunga utang terus meningkat. “Jadi sebenarnya, ada benarnya juga apa kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, bahwa titik kritis dan paling berat adalah pada 2023. Tahun 2023 itu, jurang sangat berbahaya bagi fiskal kita,” kata Said Didu.

Said Didu menegaskan, ancaman fiskal dan ekonomi pada 2023 bagi Indonesia sangat nyata. Dia menjelaskan, dalam Perppu No.1 Tahun 2020, pemerintah hanya diizinkan menaikkan fiskal 3 persen, tapi faktanya sampai 6 persen. “Jika publik ingin paham, kalau defisit fiskal sesuai UU 3 persen, maka pemerintah boleh menambah utang Rp 500 triliun dari PDB, dimana PDB diperkirkan sekitar Rp 1.700-1.800. Tapi utang sekarang mencapai Rp 1000 triliun,” ujarnya.

Sementara pendapatan negara pada 2022 ini diperkirakan Rp 1.800-1.900 triliun. Artinya, uang masuk sekitar Rp 2.300- 2.400 triliun, maksimun Rp 2.500 triliun pada 2023. Sedangkan belanja sekarang sudah mencapai Rp 2.800-2900 triliun, jika ditambah anggaran pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), maka pengeluaran menjadi Rp 3.000 triliun. “Artinya, pemerintah terpaksa belanja hanya Rp 2.500 triliun yang dibolehkan di 2023. Sementara pengeluaran untuk bunga dan utang saja, perkiraan saya Rp 900-1.000 triliun pada 2023. Berarti yang tersisa Rp 1.100-1.200 triliun. Untuk bayar gaji dan lain-lain Rp 800 triliun, untuk transfer ke daerah Rp 200 triliun total jadi Rp1.000 trliun. Jadi uang yang tersisa hanya Rp 200 triliun, sementara pemeliharaan jalan dan subsidi pupuk Rp 400 triliun,” ungkapnya.

Said Didu menduga soal kebijakan pengambilan dana Jaminan Hari Tua (JHT) pada usia 56 ada kaitannya dengan kondisi keuangan pemerintah tersebut, karena dana JHT ditempatkan di Surat Utang Negara (JHT).

“Kenapa 56 tahun, sepertinya BP Jamsostek membeli SUN yang periodenya panjang, karena kalau ditarik di depan pemerintah akan kewalahan,” katanya.
Perlu diketahui, kata Said Didu, SUN ini tidak laku dijual, tidak ada masyarakat dan asing yang membeli. SUN sebagian besar dibeli Bank Indonesia (BI) dan bank-bank Indonesia dengan nilai mencapai Rp 1.300. Hal ini sudah diingatkan Internasional Monetary Fund (IMF) agar BI tidak membeli SUN di pasar domestik. “Saya juga menduga betul, penggunaan BPJS Kesehatan untuk pengurusan macam-macam ada kesulitanya dengan dana pemerintah. Sebab, harus menyedot uang sebesar-besarnya yang ada di masyarakat agar menutupi kesulitan fiskal yang dihadapi,” tegasnya.

“Jika uang JHT ditahan, dan bunganya ditanggung, karena SUN itu diterbitkan pemerintah dan bunganya dibayar pemerintah. Tetapi apakah manfaat bunganya linear untuk para pekerja?” imbuh Said Didu.

Hal senada disampaikan Menteri Keuangan Tahun 1998 Fuad Bawazier. Apabila pemerintah mengatakan, bahwa fiskal dan ekonomi Indonesia berjalan dengan baik (going to well) atau baik-baik (fine-fine) dinilai main-main saja.

“Sebetulnya, memang posisinya itu berat. Kalau di luar negeri sudah melakukan gerakan-gerakan kita akan terasa nanti, sekarang belum saja,” kata Fuad.
Fuad menilai pertumbuhan ekonomi sebesar 3,6 persen saat ini, tidak bisa meningkatkan daya beli masyarakat, pertumbuhan konsumsi masyarakat masih 2 persen. Harusnya pertumbuhan ekonomi kita 4-5 persen di tengah inflasi global dan naiknya harga komoditas.

“Tapi soal minyak goreng yang harganya aneh dan langka saja pemerintah sudah kewalahan. Uang kita itu habis untuk pembayaran utang dan belanja rutin. Jadi tidak perlu nunggu sampai 56 tahun atau 30-40 persen, kasih saja semua. Nanti kalau mau, dimulai lagi yang baru. Daya beli masyarakat rendah, kenapa uangnya mesti ditahan,” katanya.

Menurut Fuad, pemerintah sebaiknya menunda pengeluaran yang tidak perlu untuk mengurangi beban utang seperti proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung dan pemindahan IKN. Sebab, proyek dikhawatirkan akan mangkrak apabila pemerintahan Presiden Joko Widodo akan berakhir di 2024 mendatang.

“Kalau soal Ibu kota baru, ya lihat saja nanti. Kalau presidennya baru, bagaimana, apakah diteruskan atau tidak ? Kalau presiden baru, nggak nerusin ya mangkrak. Itu contoh-contoh pengeluaran yang nggak perlu, sebaiknya distop,” katanya.

Fuad juga mengingatkan, kemungkinan terjadinya ledakan sosial dan politik pada 2023, jika melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini.
“Kalau kayak begini berat betul, pengeluaran tidak perlu tidak ditunda, padahal itu mengurangi beban utang dan beban ledakan. Saya kira akan terjadi terjadi itu, ledakan tahun 2023,” tandas Fuad.

Sekjen Partai Gelora Indonesia Mahfuz Sidiknmenilai informasi yang disampaikan narasumber memberikan warning atau peringatan kepada semua pihak, termasuk pemerintah untuk melakukan upaya mitigasi terhadap kondisi fiskal pada 2023. “Kita tidak tahu, apakah pelemahan tren ekonomi global ini memperburuk situasi itu. Tetapi punya waktu untuk memitigasi ini, dan berani mengambil kebijakan pereventif atau korektif atas semua kebijakan program-proram yang sudah berjalan. Sebab, keresahan sosial semakin menjalar, dan hal ini perlu dibaca betul oleh pemerintah,” kata Mahfuz.(j04)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE