
Melihat sejumlah objek wisata di dataran tinggi Karo, keseluruhanya menampilkan keindahan alam, air, pegununganya dan berhawa sejuk. Dibalik itu, dataran tinggi karo juga memiliki kisah legenda yang turun menurun kisanya memiliki berbagai versi. Baik dari warga Karo, Melayu Deli dan tokoh yang mengaku paham akan ceritanya.
Cerita budaya itu adalah Putri Hijau, cerita ini sangat populer dikalangan masyarakat Karo tempo dulu sampai sekarang, cerita itu sebenarnya termasuk legenda. Namun cukup menarik diceritakan kisahnya kepada siapapun, terutama kepada masyarakat Karo yang merupakan tempat asal usul Putri Hijau terlahir.
Legenda Sang Puteri yang selalu digambarkan dengan segala kosakata memiliki kekuatan ghoib dan kecantikanya, bertahan hingga kini dalam dua versi. Versi pertama berasal dari catatan sejarah yang mirip cerita lisan yang berkembang di masyarakat Melayu Deli. Versi kedua adalah hikayat dari masyarakat Karo. Keduanya bertentangan dan kelihatan sekali saling berlomba menonjolkan identitas dan ego suku masing-masing.
Kepala Desa. Siberaya, Panca Ginting kepada Waspada.id, Rabu (24/4) menjelaskan dari versi lisan Karo, konon pernah lahir seorang puteri yang sangat cantik jelita di Desa. Siberaya, Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo. Selain memiliki kekuatan mistisnya, kecantikannya memancarkan warna kehijauan yang berkilau dan menjadi kesohor ke berbagai pelosok negeri, mulai dari Aceh, Malaka, hingga bagian utara pulau Jawa.
Dalam hikayatnya, Putri Hijau dilahirkan seorang wanita tanpa mempunyai ayah, ibu kandung Putri Hijau diketahui penduduk asli Desa. Siberaya, Beru Sembiring. Tanpa ada pernikahan, tiba-tibu ibu Putri Hijau diketahui hamil dan peristiwa itu lalu diketahui warga desa. Berbagai tuduhan dan fitnah pun keluar dari warga sekitar, karena ibu Putri Hijau dikatakan hamil di luar nikah. Karena semua warga desa meyakinkan kalau ibu Putri Hijau diketahui hamil diluar nikah, wargapun takut kalau desa mereka akan terkena sial, warga lalu mengusir ibunya keluar dari desa tersebut dengan kondisi tubuh yang hamil.
Dengan berat hari ibu Putri Hijau pun pergi meninggalkan Desa. Siberaya dan pergi ke Desa. Sukanalu yang berada tidak jaiuh dari Siberaya dan masih dalam wilayah Kecamatan Tiganapanah saat ini. Perjalanan ibu Putri Hijau akhirnya berhenti di salah satu (Sabah) sawah di Desa. Sukanalu. Beberapa waktu berlindung disitu sampai akhirnya lahirlah Putri Hijau. Proses kelahiran Putri Hijau tanpa ada bantuan apapun, akhirnya berjalan dengan selamat. Dari pengakuan ibu dan warga desa Sukanalu dan Siberaya menyebutkan. Proses kelahiranya mengeluarkan sinar lurus ke langit berwarna hijau, wargapun berhamburam keluar rumah dan mencari tau asal cahaya itu berada.
Setelah diketahui warga desa dan langsung menyaksikan keanehan kelahiran Putri Hijau warga desapun akhirnya bisa memahaminya dan menerima keluarga itu dan mengajak keluarga itu kembali ke desa. Beberapa tahun kemudian ibu dari Putri Hijau kembali mengandung dan melahirkan dua anak kembar berjenis kelamin pria. Yang satu dinamai Naga Simangombus dan Meriam yang kini dikenal bernama Meriam Puntung.
Tidak berapa lama kelahiran kedua adik Putri Hijau, ibu mereka dikabarkan meninggal dunia dan karena Putri Hijau juga mememiliki kesaktian untuk mamakmurkan desa itu. Dengan begitu, warga desa sering bermohon kepada Putri Hijau agar tanah pertanian, air dan ternak didesa itu tetap sebur. Atas bantuan Putti Hijau kepada warfa disesa itu, kebutuhan putri dan kedua adiknyapun bisa bertahan hidup sampai mereka mulai remaja. Semangkin bertambah usia ketiganya, permintaan untuk makan kedua adiknyapun terus bertambah dan masyarakat desapun harus bisa menyediakan.
Alkisah, Naga Simangombus memiliki selera makan yang luar biasa. Ia digambarkan seakan tidak pernah kenyang. Masyarakat Siberaya akhirnya tidak sanggup lagi menyediakan makanan untuk naga ini, sehingga Sang Puteri bersama kedua saudaranya memutuskan pindah ke hilir sungai dan menetap di sebuah perkampungan baru yang sekarang dikenal dengan nama Deli Tua. Di sini, para pengikutnya membangun benteng yang kuat. Dengan demikian, negeri itu cepat makmur saat itu.
Kriswanto Ginting, Kurator Museum Pusaka Karo Berastagi kepada Waspada.id menceritakan Putri Hijau seorang Ratu dalam legenda Karo, Melayu dan Aceh. Suatu ketika, di Kesultanan Aceh yang berkuasa adalah Sultan Iskandar Muda yang telah beragama Islam. Suatu saat, Iskandar Muda mengirimkan utusannya untuk menyampaikan surat kepada Putri Hijau yang berisi tiga hal.
Pertama, hendaknya Putri Hijau bersedia menjadi permaisuri Sultan Iskandar Muda. Kedua, Aceh adalah Serambi Mekkah dan Haru atau Tanah Deli adalah Serambi Aceh, itu berarti Haru diminta untuk tunduk kepada Aceh. Jika Haru tidak mengindahkan kedua hal tersebut, maka dalam pesan yang ketiga disebutkan bahwa Aceh akan menyerang dan menyebarkan agama Islam di Haru.
Reaksi Putri Hijau tentu saja menolak dengan alasan tidak ada satu kerajaan pun yang dapat menguasai Haru. Mendengar reaksi tersebut, Iskandar Muda mengirimkan Panglima Gocah untuk menyerang Haru. Akhimya terjadi peperangan sengit antara Kerajaan Aceh dengan Haru yang berlangsung sekitar satu setengah bulan lamanya, hingga akhirnya pasukan Haru dapat dipukul mundur sehingga Kerajaan Haru dapat dikuasai Aceh.
Sementara Putri Hijau sendiri kalah dalam peperangan itu. Namun ternyata serangan dari Kerajaan Aceh itu ternyata tidak dapat dibendung oleh balatentara Kerajaan Haru adik Putri Hijau berubah menjadi seekor ular naga dan satu adiknya lagi merubah diri menjadi meriam untuk mempertahankan negerinya. Saat laskar Aceh semakin dekat ke pintu gerbang Istana Haru, satu-satunya pertahanan adalah meriam itu, Karena digunakan terus-menerus dan tidak mampu menahan panas, meriam itu pun terbelah menjadi dua. Mengenai keberadaan Meriam Puntung, menurut Biak Ersada Ginting (seorang pemerhati sejarah dan pemegang sastra lisan Karo yang menguasai cerita tentang Kerajaan Haru, serta Karo secara lisan dan turun-temurun dari nenek moyangnya) mengatakan, mungkin hanya terdapat satu meriam yang paling diandalkan Kerajaan Haru ketika melawan bala tentara.
Kecantikan Putri Hijau Menyebabkan Peperangan Hebat
Setibanya Putri Hijau ke Tanah Deli, dimana kisah ini sudah berubah dari lisan masyarakat karo, setelah Putri Hijau tinggal di Tanah Deli bersama kedua adiknya tinggal di sebuah istana. Ceritanya sudah berubah prihal kecantikan Sang Puteri yang menyebar seperti kabar burung ke segala penjuru, suatu ketika mendarat di telinga Raja Aceh. Ia lantas kepincut dan mengirim bala tentara untuk meminang Puteri Hijau.
Utusan langsung dikirim, pantun bersahut-sahutan. Tapi pinangan ini ditolak dan membuat Raja Aceh betul-betul dilanda murka. Ia merasa diri dan kerajaannya dihina sehingga jatuhlah perintah untuk segera menyerang benteng Puteri Hijau. Tapi karena bentengnya sangat kokoh, pasukan Aceh gagal menembusnya.
Menyadari jumlah pasukannya makin menyusut setelah banyak yang terbunuh, panglima-panglima perang Aceh memakai siasat baru. Mereka menyuruh prajuritnya menembakkan ribuan uang emas ke arah prajurit benteng yang bertahan di balik pintu gerbang. Suasana menjadi tidak terkendali karena para penjaga benteng itu berebutan uang emas dan meninggalkan posnya. Ketika mereka tengah sibuk memunguti uang logam, tentara Aceh menerobos masuk dan dengan mudah menguasai benteng.
Pertahanan terakhir yang dimiliki orang dalam, adalah salah saudara Puteri Hijau dialah Meriam Puntung. Tapi karena ditembakkan terus-menerus, meriam ini menjadi panas, meledak, terlontar, dan terputus dua. Bagian moncongnya tercampak ke Desa Sukanalu Simbelang, Kecamatan Barusjahe. Sedangkan bagian sisanya terlontar ke Labuhan Deli, dan kini ada di halaman Istana Maimoon Medan.
Melihat situasi yang tak menguntungkan, Ular Naga Simangombus, saudara Sang Puteri lainnya, menaikkan Puteri Hijau ke atas punggungnya dan menyelamatkan diri melalui sebuah terusan (Jalan Puteri Hijau), memasuki sungai Deli, dan langsung ke Selat Malaka. Dan hingga sekarang kedua kakak beradik ini dipercaya menghuni sebuah negeri dasar laut di sekitar Pulau Berhala.
Namun sebuah anak legenda menyebutkan bahwa Puteri Hijau sebenarnya sempat tertangkap. Ia ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau memohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, ia diberikan berkarung-karung beras dan beribu-ribu telur.
Tetapi baru saja upacara dimulai, tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat, disusul gelombang yang tinggi dan ganas. Dari perut laut muncul jelmaan saudaranya, Ular Naga Simangombus yang dengan rahangnya mengambil peti tempat kakaknya dikurung. Lalu Puteri Hijau dilarikan ke dalam laut dan mereka bersemayam di perairan pulau Berhala. Menurut cerita ini, saudara-saudara Puteri Hijau adalah manusia-manusia sakti yang masing-masing bisa menjelma menjadi meriam dan naga. Memang, cerita lisan selalu mewariskan banyak versi sesuai selera masing-masing penceritanya.
Kabarnya, setelah di bawa pergi oleh saudaranya, Ular Naga Simangombus. Sang raja Aceh membawa sebagian hartanya dan orang orang kepercayaannya. Namun, saat sang Raja pulang. Sang Raja Aceh tidak membawa harta dan para prajurit pilihannya. Micky Maliki/Waspada.id.
KADES Siberaya, Panca Ginting usai memberikan keterangan prihal kisah Putri Hijau benar berasal dari daerahnya. Waspada.id/Micky Maliki.
PENGUNJUNG asal Inggris saat mengunjungi Museum Pusaka Karo Berastagi. Waspada.id/Micky Maliki.
KRISWANTI Ginting, Kurator Museum Pusaka Karo Berastagi saat menceritakan kisah Putri Hijau. Waspada.id/Micky Maliki.
PENGUNJUNG asal Medan berfose didepan pesanggerahan putri hijau di Desa. Siberaya, Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo. Waspada.id/Micky Maliki.