JAKARTA (Waspada): Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, pengusungan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, bisa menjadi pembuktian bagi PDIP, apakah menjadi partai yang memilih ideologi atau tidak.
“Kan Pak Prabowo ini sudah dua kali Pilpres dan kalah di Jawa Tengah, maka diambillah Gibran agar bisa merebut suara di Jawa Tengah. Karena Prabowo sudah bolak-balik ke Jawa Tengah, bahkan mendirikan posko pemenangan suaranya tidak berubah 18 persen,” kata Pangi dalam Gelora Talks bertema ‘Sah! Prabowo-Gibran: Membaca Peluang dan Tantangannya’, Rabu (25/10/2023) di Jakarta.
Menurut dia, Prabowo memahami betul peta politik di Jawa Tengah dengan menggandeng Jokowi melalui Gibran, maka suara PDIP dan Ganjar bisa dipecah dan berpindah ke Prabowo.
“Dengan mengambil Gibran, Jawa Tengah bisa di split suaranya, dan bisa terbelah. Sehingga PDIP di kandang banteng di Jawa Tengah tidak akan menang, karena ada efek Jokowi yang signifikan,” katanya.
Efek Jokowi yang akan menggerus suara PDIP dan Ganjar di Jawa Tengah ini, lanjut Pangi, juga akan menjadi ajang pembuktian bagi PDIP, sebagai partai yang memiliki ideologi atau tidak. Sehingga apakah benar yang bekerja adalah ideologi partai dan mesin partai, bukan efek calon yang diusung.
“Kan PDIP selalu mengklaim sebagai partai ideologi, bukan karena efek Jokowi, selebihnya karena kedekatan psikologis kader, ideologi Soekarno. Ini waktu yang tepat untuk pembuktian, apakah memilih figur atau ideologi,” tukasnya
Jadi efek saat ini, lanjut Pangi, menjadi pembelanjaran buat semua, apakah semua calon yang diusung PDIP di Jawa Tengah di semua tingkatan yang dikatakan tidak pernah kalah seperti klaim PDIP itu terjadi di Pilpres 2024 atau tidak.
“PDIP ini kan selalu mengatakan, Jokowi itu bukan siapa-siapa. Mereka mengatakan semua calon yang diusung di Jawa Tengah, baik capres atau gubernur yang elektablitasnya rendah sekalipun akan menang. Nah, Jokowi Efek ini menjadi pembelajaran bagi kita semua, bagi PDIP dan Jokowi sendiri, apakah benar Jokowi menjadi magnet elektoral yang tinggi. Inilah waktu yang tepat pembuktiannya,” pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, FISIP Universitas Indonesia (UI) Hurriyah mengatakan, banyak eksperimen politik yang diuji coba untuk memenangkan kotestasi di 2024, karena kompetisi ketidakpastiannya sangat tinggi.
“Tidak ada satupun calon yang hari ini mampu men-secure-kan, mengamankan 50 persen suara. Semuanya kalau kita lihat di kisaran 30-20 persen. Mau di Prabowo, Ganjar, Anies, semua sekedar asumsi mau mendulang suara, itu bagian dari eksperimen politik,” kata Hurriyah.
Hurriyah jutsru mengkwatirkan para capres akan menggunakan kembali politik identitas untuk mendulang suara, karena ketidakpastian kompetisinya begitu tinggi.
“Kekhawatiran saya ketika ketidakpastiannya begitu tinggi, kompetisinya begitu sengit. Politik identitas dipakai sebagai cara terakhir untuk memainkan emosi masa. Kita perlu berkomitmen serius sekali, agar kasus 2019 tidak terjadi lagi. Cukup Pemilu 2019 yang kita rusak,” katanya.
Hurriyah meminta semua capres dan partai politik berkomitmen untuk tidak memainkan lagi politik identitas, terlepas dari semua kelebihan dan kelemahan pasangan capres-cawapres yang ada.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, FISIP UI mengatakan, eksperimen mengusung anak muda di Pilpres 2024 bisa menjadi batu uji bagi partai politik untuk mendorong mereka maju di Pilkada.
“Partai mengusung anak-anak muda di pencalonan di dalam semua Pemilu, tidak hanya Pileg atau Pilpres, tetapi Pilkada. Partai bisa mendorong kadernya, yang anak muda, apakah mereka dipilih karena seorang aktivis atau ada hubungan kekerabatan dengan elite tertentu. Saya kira ini bisa diuji hari ini,” katanya. (rel/J05)