JAKARTA (Waspada): Pengamat ekonomi Drajat Wibowo menyatakan, Indonesia tidak akan terancam resesi ekonomi meskipun perang Rusia-Ukraina masih agak panjang.
Beberapa negara di tahun 2023 ini, menurut Drajat mungkin akan terkena resesi. Namun tanda-tanda global akan resesi masih fifty-fifty.
“Apakah kita akan terancam resesi jawaban saya insya Allah tidak,”ungkap Drajat Wibowo dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema ‘Membedah Target Pertumbuhan Ekonomi di Tengah Isu Resesi’, di Media Center MPR/DPR/ DPD RI Jakarta, Kamis (23/2).
“Saya sampaikan, tidak ada tanda-tanda kita di 2023 akan resesi, apakah ada tanda-tanda global akan resesi masih “fifty-fifty” tapi beberapa negara mungkin akan terkena resesi, namun peluangnya lebih besar tidak resesinya untuk global.
Apakah ada pelambatan ekonomi? Kalau kelambatan ekonomi, iya,”ungkapnya lagi.
Drajat menjelaskan, resesi itu definisinya dua periode berturut-turut tumbuh negatif. Kita nggak ada tanda-tanda seperti itu dan datanya saya sampaikan untuk wilayah Asean ada di situ, ada suatu data.
“Data itu saya kumpulkan dari otoritas statistik masing – masing negara,”katanya.
Di data itu, Drajat menyampaikan, bahwa pertumbuhan ekonomi kita untuk 5,31 persen itu perlu kita syukuri.
“Alhamdulillah itu bagus, perlu kita syukuri. Namun saya menyarankan, terutama kepada beberapa menteri di bidang ekonomi dan keuangan untuk tidak menyesatkan kita, tidak menyesatkan masyarakat dan juga tidak menyesatkan presiden dengan klaim terhadap angka pertumbuhan itu yang berlebih-lebihan bahkan cenderung bombastis,”ujarnya.
Ekonom yang juga politisi PAN itu tidak menunjuk menteri terkait yang klaimnya bombastis.
Menurut dia, kalau kita over klaim, terlalu bombastis atau juga kita over pesimis, nanti kebijakan strategisnya jadi tidak akurat. Jadi kita objektif saja.
Dalam hubungan itu Drajat menambahkan, dilihat dari perkembangan harga minyak dunia sekarang, walaupun perang Rusia-Ukraina masih agak panjang tapi rasa-rasanya insya Allah Indonesia tidak ada ancaman resesi.
Terlepasnya dari ancaman resesi Drajat mengatakan, sejak awal, tanggal 24 Maret tahun 2020 masa masuknya pandemi Covid-19, saya sudah sampaikan, jangan pertentangan ekonomi dengan kesehatan dengan pandemi, selamatkan nyawa dulu ekonomi nanti ikut.
Waktu itu ada debat ekonominya bagaimana, dipertentangkan segala macam.
“Sekarang terbukti, setelah pemerintah mengubah strateginya memperbaiki strategi mengatasi pandeminya, mulai mengikuti betul apa yang ada di ilmu kesehatan publik dan ilmu kedokteran,”ungkapnya.
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Gerindra Kamrussamad menguraikan, resesi intiya adalah terganggunya supply and demand diakibatkan faktor diluar kendali seluruh keputusan pengambil ekosistem ekonomi, baik ditingkat domestik maupun di global.
Kenapa kita kemudian berasumsi akan ada resesi, karena ada faktor yang diluar daripada prediksi kita yang terjadi pada Desember 2021 yaitu adanya perang antara Rusia dan Ukraina.
“Hari ini kita sudah mulai ada aktif terhadap perang yang terjadi. Artinya supply dan demand sudah jauh lebih lancar sekarang, sehingga tidak ada kekhawatiran lagi seharusnya di tahun ini tentang resesi kecuali sesuatu yang di luar prediksi kita, unpredictibel itu bisa terjadi, apa itu, tak ada yang bisa tahu.
Kemudian bagaimana target pertumbuhan tahun 2023, kalau saya melihat target yang ditetapkan oleh pemerintah dan DPR, adalah target yang realistis, lima koma sekian dan itu akan mudah dicapai.
Yang menjadi pertanyaan besar itu adalah, sejauh mana kualitas pertumbuhan ekonomi tersebut,”ujar Kamrussamad.
Pimpinan MPR RI, Syarif Hasan menilai meskipun tidak terancam resesi, namun ada sesuatu yang stagnan di dalam implementasi bagaimana menggerakkan ekonomi.
Politisi Fraksi Partai Demokrat itu banyak membandingkan keberhasilan pemerintahan SBY dengan pemerintahan sekarang.
Mengenai masalah pengangguran pada zamannya Pak SBY, itu dari 9 persen bisa turun menjadi kurang lebih sekitar 5,9 persen. Sekarang ini berapa?
“Saya setuju sekali bahwa ada sesuatu yang harus dibenahi dalam persoalan ini. Saya ingin menegaskan bahwa ukuran sebenarnya adalah bagaimana tingkat kesejahteraan, kita lihat income perkapita rakyat Indonesia sekarang. Income perkapita rakyat indonesia pada tahun 2014 pada saat take over pemerintahan itu kurang lebih 3.590 sekian dolar, sekarang berkisar kurang lebih 4.200-an, berarti hanya terdapat pertumbuhan, ada deltanya kurang lebih 800 dolar perkapita, dengan anggaran yang begitu banyak.
Jadi ada sesuatu yang luput daripada kebijakan yang harus dilakukan sebenarnya,
Sementara pada saat zamannya Pak SBY, itu pada tahun 2004 itu, income perkapita rakyat 1100, pada saat dia turun 33.800,. Jadi ada pertumbuhan yang luar biasa, hampir kurang lebih 250 persen. Nah di sini implikasinya yaitu tadi, kemiskinan bisa turun, pengangguran bisa turun, income perkapita bisa turun sekalipun dengan APBN yang jauh lebih kecil daripada nominal yang sekarang.(j04)