Mukadimah
Ada satu hal yang menarik perhatian saya, ketika saya menghadiri acara Halal Bihalal Nasional Al Jam’iyatul Washliyah pada tanggal 18 Mei 2023 yang lalu di bilangan Cibubur Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum Al Jam’iyatul Washliyah, Dr. KH. Masyhuril Khamis memberikan sebuah tausiah pembangkit motivasi kepada para anggota dan fungsionaris organisasi Islam Al Jam’iyatul Washliyah yang hadir dalam acara Halal Bihalal Nasional tersebut.
Dalam tausiyahnya tersebut, beliau mengatakan bahwa sesungguhnya umat manusia di dunia ini berasal dari satu nenek moyang yang sama, yaitu Nabi Adam Alaihissalam. Kemudian umat manusia berkembang biak, berilmu pengetahuan, membentuk peradaban, dan akhirnya berkembang di seluruh dunia seperti saat ini. Namun di antara seluruh umat manusia yang ada di dunia ini, sesungguhnya umat Islam adalah sebaik-baik umat di muka bumi ini. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’alla di dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 110, yang artinya adalah: “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (QS Ali Imran: 110).
Menurut tafsir yang dikeluarkan oleh Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia, ayat tersebut memiliki makna bahwasannya umat Muhammad Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam, adalah sebaik-baik umat dan orang-orang yang paling bermanfaat bagi sekalian manusia, memerintahkan kepada yang ma’ruf, yaitu segala yang diketahui kebaikannya menurut syariat maupun akal, dan melarang kemungkaran, yaitu segala yang diketahui keburukannya menurut syariat maupun akal, dan beriman kepada Allah dengan keimanan mantap yang dikuatkan dengan amal perbuatan nyata (Referensi : https://tafsirweb.com/1242-surat-ali-imran-ayat-110.html).
Jadi, sesungguhnya ada tiga syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh umat Islam, jika ingin menjadi umat yang terbaik di dunia ini, yaitu berbuat amar ma’ruf nahyi munkar, beriman kepada Allah Ta’alla, dan menjadi umat yang berguna bagi sesama umat manusia lainnya.
Jika membahas tentang bagaimana menjadi umat terbaik di mata Allah Ta’alla, saya kembali teringat dengan diskusi pemikiran Islam yang pernah saya lakukan dengan sahabat baik saya, Dr. Yudhi Munadi. Beliau adalah seorang dosen senior di salah satu perguruan tinggi Islam Negeri di Jakarta, sekaligus seorang pakar pembelajaran Agama Islam.
Dalam diskusi yang hangat tersebut, akhirnya saya dan Dr. Yudhi menyimpulkan bahwa untuk menjadi umat yang terbaik, sebenarnya sudah ada jalan yang termudah dan menjadi sebuah petunjuk yang terang benderang. Ya, petunjuk-petunjuk tersebut sebenarnya sudah ada di dalam amalan yang selalu kita amalkan sehai-hari, namun kita saja yang belum mampu merefleksikannya di dalam kehidupan kita.
Petunjuk-petunjuk tersebut sebenarnya sudah sangat jelas terlihat dari refleksi makna lafadz (bacaan) dzikir kita sehari-hari, seperti Tasbih (Subhannallah), Tahmid (Alhamdulillah), dan Takbir (Allahu Akbar).
Refleksi Makna Lafadz Dzikrullah ‘Subhanallah’
Secara etimologi, lafadz Subhanallah sesungguhnya berasal dari kata ‘sabh’, yang artinya adalah tidak tercampuri, atau tasbih (pujian), membuat semuanya suci. Arti secara harfiahnya adalah Allah Ta’alla adalah sebuah Dzat/ Tuhan yang tidak tercampuri, atau juga bagian yang menambahkan “tidak tercampuri dari segala kebathilan”.
Dengan demikian, ketika kita melafadzkan dzikir Subhanallah, maka sesungguhnya dari refleksi makna yang dapat kita tangkap adalah, bahwa sebagai mahkluk yang berwujud manusia, yang telah diberikan petunjuk oleh Allah Ta’alla berupa Al Qur’an dan Hadits (Sunnah Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam), Allah Ta’alla ingin hamba-hamba-Nya mengikuti apa yang telah ada dalam makna kesucian yang Allah Ta’alla miliki tersebut.
Untuk menjadi umat manusia yang terbaik, sesungguhnya kita memang diwajibkan untuk selalu menjaga kesucian diri (fisik) dan hati kita dari segala sesuatu yang membuat kotor dan dosa. Hal ini sesuai dengan apa yang Allah Ta’alla perintahkan kepada hamba-hamba-Nya di dalam Al Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 222 yang artinya: “…Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Begitupun sama halnya dengan firman Allah Ta’alla yang terdapat dalam Surat Asy-Syuara ayat 88 dan 89, yang artinya: “(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
Ibnu Rajab Rahimahullah pernah berkata, bahwasannya jika seorang hamba
sibuk dengan menyucikan hati, adalah lebih baik daripada memperbanyak puasa (sunah) dan salat (sunah) yang disertai dengan menipu hati dan ada khianat dalam hatinya.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa dengan kebersihan hati dan niat yang ikhlas karena Allah Ta’alla semata, maka Allah Ta’alla akan membukakan jalan-Nya kepada kita. Begitupun sebaliknya, umat Islam belumlah akan menjadi umat yang terbaik, jika belum bisa atau belum mau menjalankan segala syariat Islam secara kaffah, alias masih setengah-setengah atau masih mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil.
Jelas pula bahwasannya umat Islam belumlah bisa dikatakan menjadi umat yang terbaik, jika sesama umat Islam sendiri masih saling memerangi dan saling membunuh satu sama lain, masih sering menjelek-jelekkan sesama muslim (makan dging bangkai saudaranya sendiri), masih berpraktek riba, masih menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, saling berkhianat, dan masih menjadi pengecut untuk mengatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah, dan yang lebih parah lagi, masih malas dalam menimba ilmu.
Refleksi Makna Lafadz Dzikrullah ‘Alhamdulillah’
Untuk mengungkapkan rasa syukur atas segala nikmat yang telah kita terima dan kita rasakan dari Allah Ta’alla, salahsatunya adalah dengan mengucapkan lafadz Alhamdulillah, yang artinya adalah segala puji bagi Allah Ta’alla.
Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa Allah Ta’alla harus kita puja-puji, dan kita dlarang untuk memuja dan memuji selain Allah Ta’alla? Tiada lain, jawabannya adalah karena Allah Ta’alla memiliki kemampuan atas segala sesuatunya tanpa batas. Berbeda dengan kemampuan manusia atau makhluk lain ciptaan Allah Ta’alla yang sangat terbatas.
Namun demikian, di dalam segala keterbatasan kemampuan sebagai mahkluk-Nya, sesungguhnya Allah Ta’alla menginginkan hamba-Nya yang berwujud manusia, dapat mengembangkan kemampuan dirinya secara maksimal, terutama dengan fisik, hati, dan tentu saja akal serta pemikirannya.
Hal ini terbukti dari turunnya ayat perama yang memerintahkan manusia untuk membaca. Membaca dalam arti yang sebenarnya, yaitu melafadzkan segala petunjuk-Nya yang terdapat di dalam Al Qur’an secara kauliyah, maupun membaca segala petunjuk-Nya yang berupa ilmu pengetahuan empirik, yang telah dibentangkan-Nya di alam raya secara kauniyah.
Allah Ta’alla dan Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam tidak pernah membatasi apa yang harus dibaca dan dipelajari, entah itu agama, sains teknologi, ilmu sosial, ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu hukum, pendidikan, lingkungan hidup, dan sebagainya. Selama semua bidang keilmuan itu bersumber dari kebaikan, berproses dalam kebaikan, dan menghasilkan output kebaikan, dan demi outcome untuk kebaikan manusia juga.
Umat Islam harus mampu untuk bangkit dari keterpurukannya dalam kurun waktu 200 tahun terakhir ini. Bukan perkara yang mudah, memang. Tetapi jika umat Islam mampu untuk terus berusaha menguasai ilmu pengetahuan dengan keintegrasiannya terhadap agama Islam itu sendiri, maka kejayaan umat Islam dalam keilmuan akan dapat diraih kembali. Dan itulah sebenarnya asal mula bagaimana sebuah peradaban yang luhur dapat dibangun melalui keintegrasian ilmu dan agama.
Jika kita perhatikan, sesungguhnya, Allah Ta’alla telah membekali manusia dengan kekuatan fisik dan kekuatan otak yang jika dimaksimalkan kemampuannya, maka akan menciptakan banyak penciptaan yang sangat luar biasa gunanya bagi sesama manusia.
Menurut penelitian terakhir tentang fisik manusia, seperti yang pernah diungkapkan oleh Michael Regnier, profesor dan wakil bioengineering di University of Washington,
sebenarnya manusia mampu angkat beban hingga 6-7 kali lipat dari berat badannya. Tetapi yang menjadi masalah adalah kebanyakan manusia tidak untuk mau ‘mendorong’ dirinya terlalu keras untuk menuju kepada pencapaian yang maksimal.
Sedangkan untuk penelitian paling akhir tentang otak manusia, para peneliti menyimpulkan bahwa sesungguhnya otak manusia memiliki kapasitas penyimpanan memori kurang lebih satu petabyte. Lantas, berapa petabyte itu? Satu petabyte itu (1 PB) sebanding dengan seribu terabyte (1.000 TB) atau satu juga gigabyte (1.000.000 GB). Luar biasa sekali, bukan? Maka tidaklah mengherankan jika ada banyak sekali informasi di otak yang bergerak untuk merespon rangsangan dan menyampaikan impuls ke sel-sel tubuh. Bahkan, kemampuan transfer informasi tersebut berlangsung dengan sangat cepat, dengan kecepatannya yang mampu mencapai 431 km per jam.
Dan menurut hasil penelitian terbaru juga, ternyata meskipun anak-anak lebih mudah menyerap informasi-informasi yang baru, ternyata puncak kecerdasan kognitif manusia terjadi pada usia sekitar 20 tahun. Bahkan, kemampuan otak dalam merancang dan berpikir dengan lebih matang baru terjadi pada usia 40 tahun ke atas. Itulah mengapa Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam diangkat menjadi Nabi dan Rasul di usia 40 tahun.
Maka, dengan berbekal dari segala karunia yang telah Allah Ta’alla limpahkan tersebut, umat Islam harus mampu menjadi yang terdepan dalam aspek pemikiran di segala bidang, seperti bidang-bidang keilmuan yang telah disebutkan di atas. Umat Islam tidak boleh menjadi umat yang bodoh, yang dapat selalu disingkirkan oleh mereka yang selalu membuat konspirasi atas kehancuran umat. Umat Islam tidak boleh terbuai dengan segala macam tipu daya musuh-musuh Islam yang ingin terus membuat umat Islam berada dalam kemalasan, kebodohan, terbuai dengan harta dunia, dan selalu terlena dengan yang namanya jabatan dan kekuasaan.
Dengan demikian, maka dari lafadz Alhamdulillah tersebut, dapat kita bentuk sebuah refleksi pemikiran yang mempunyai makna, bahwa jika kita memang ingin menjadi manusia secara pribadi dan secara keumatan dengan level terbaik, maka langkah yang harus kita lakukan adalah mengasah kemampuan atau kebisaan (kapabilitas) kita atas segala sesuatunya, sehingga kita menjadi ahli di bidang ilmu yang kita geluti masing-masing, sehingga dapat memberikan hasil yang terbaik demi kebaikan hidup manusia lainnya.
Sungguh sebuah lafadz Dzikrullah, yang sesungguhnya menjadi sebuah petunjuk Allah Ta’alla yang sangat dahsyat, bukan?
Refleksi Makna Lafadz Dzikrullah ‘Allahu Akbar’
Ketika kita melafadzkan kata Takbir, maka yang terekam dalam benak kita adalah, betapa Allah Ta’alla adalah Dzat yang sangat besar dan tidak terbatas. Di dalam buku ‘Menutur Agama Dari Atas Mimbar’ oleh Sehat Sultoni Dalimunthe (dikutip dari Detik.com 2 Juni 2021), Allahu Akbar (Allah Mahabesar) bukan dalam pengertian ruang. Melainkan bahwa tidak ada yang menyerupai Allah Ta’alla dalam segala kebaikan, tidak ada yang bisa menandingi-Nya dalam segala kekuatan, dan Allah Ta’alla berkuasa mengatasi segala masalah hamba-Nya.
Untuk menjadi sebuah kumpulan umat yang terbaik di dunia, umat Islam sesungguhnya haruslah menjadi sebuah kesatuan umat yang besar dan kuat, yang tidak mudah diceraiberaikan oleh musuh-musuhnya.
Namun yang terjadi saat ini adalah justru kebalikannya. Meskipun umat Islam sangat besar jumlahnya, namun umat Islam saat ini masih belum bisa dikatakan sebagai umat terbaik di dunia. Masih banyak masalah yang terjadi di dalam umat Islam di dunia. Masalah kelaparan, peperangan sesama muslim (seperti yang banyak terjadi di negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam di benua Afrika dan Timur Tengah), penindasan umat muslim Palestina oleh zionis Yahudi, sekulerisme Islam, penghianatan pemimpin muslim terhadap rakyatnya demi keuntungan dan kepentingan keluarga dan golongan mereka, lemahnya literasi umat terhadap keadaan disrupsi yang sedang terjadi, dan lemahnya pola pikir umat Islam dalam melihat segala permasalahan yang sedang terjadi, dan berbagai macam kendala dalam mencari solusinya.
Sepertinya, sudah bukanlah saatnya lagi bagi umat Islam untuk terus memperdebatkan tentang bagaimana tata cara ibadah mahdhah, atau terus bernostalgia tentang kejayaan peradaban Islam di masa lalu. Meskipun hal tersebut tetap bernilai baik, tetapi yang pasti untuk saat ini dan saat yang akan datang, umat Islam harus keluar dari cara berpikir yang jumud (out of the box).
Dan sudah bukan saatnya lagi bagi umat Islam untuk berfikir bahwa ini adalah ilmu agama, sedangkan ilmu pengetahuan yang lain bukanlah ilmu agama, sehingga tidak penting untuk dipelajari.
Mempelajari ilmu agama (baca:ilmu tauhid) memang sangat penting. Tetapi Ilmu yang ada di seluruh dunia ini, sesungguhnya juga adalah ilmu yang berasal dari Allah Ta’alla, yang telah dibentangkan-Nya di alam ini. Jadi pencarian dan pengamalan dari seluruh ilmu-ilmu tersebut merupakan kewajiban yang harus dilakukan, karena itu merupakan kewajiban mutlak yang harus dilakukan oleh seluruh umat Islam, tanpa terkecuali. Ingat, jika kita mengingkari keberadaan ilmu pengetahuan, berarti sama saja dengan mengingkari keberadaan Allah Ta’alla.
Dengan demikian, khususnya kepada para ulama (manusia yang berilmu) saat ini, harus mampu berfikir dan mencari solusi bagaimana caranya agar bisa menghapus segala macam bentuk bencana kelaparan yang terus menghantui umat Islam di seluruh dunia, dengan menampilkan kembali konsep ekonomi Islam yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah Salallahu’alaihiwassalam dan para sahabat, yaitu sistem ekonomi yang tanpa menggunakan sistem ribawi.
Para ulama saat ini, harus mampu berfikir dan mencari solusi bagaimana caranya agar generasi muda Islam tidak menggantungkan dan menyandarkan keimanannya di media sosial, sehingga mereka lebih percaya kepada Google atau ChatGPT, dalam mencari jawaban atas solusi hidup yang mereka alami, ketimbang percaya kepada segala petunjuk yang ada di dalam Al Qur’an, hadits, dan kitab-kitab ijtima para ulama.
Para ulama saat ini, harus mampu berfikir dan mencari solusi bagaimana caranya agar bisa memberikan contoh kepada mereka yang haus akan kekuasaan, agar tidak menjadikan syahwat kekuasaan mereka sebagai Tuhannya, dan bisa saling mendamaikan sesama muslim yang masih saling berseteru.
Para ulama saat ini, harus mampu berfikir dan mencari solusi bagaimana caranya agar dapat meninggikan kembali akhlak Islam, dengan memberikan banyak contoh keteladanan dengan sedikit kata-kata, dan bukan sebaliknya.
Para ulama saat ini, harus mampu berfikir dan mencari solusi bagaimana caranya agar umat Islam dapat mengetahui secara jelas yang mana saudara sesama muslim, yang mana mereka yang bukan Islam tetapi mau hidup berdampingan dengan Islam secara damai, serta yang mana musuh-musuh Islam yang sebenarnya.
Para ulama saat ini, harus mampu berfikir dan mencari solusi bagaimana caranya agar umat Islam memahami tentang pentingnya mengikuti kemajuan teknologi, terutama teknologi Artificial Intelligent (AI), agar umat Islam tidak terjerumus ke dalam perangkap syirik yang menuhankan teknologi, sehingga ‘mengkerdilkan’ Tuhan yang sebenarnya.
Para ulama saat ini, harus mampu berfikir dan mencari solusi bagaimana caranya agar umat Islam semakin memahami tentang pentingnya pelestarian lingkungan hidup demi menjaga segala kebaikan yang ada di alam, yang akhirnya akan menguntungkan kehidupan manusia juga, dan bukan merusak alam yang akhirnya akan merugikan kehidupan manusia.
Untuk mampu menjawab dan melakukan itu semua, memang dibutuhkan pemikiran dan tindakan yang besar, serta usaha yang sangat keras. Dan ini adalah sesuatu yang hanya dapat dilakukan oleh manusia-manusia (baca: muslim) yang dapat memahami dan merefleksikan lafadz Dzikrullah AllahuAkbar, Subhanallah, dan Alhamdulillah secara nyata. Pemikiran-pemikiran dan tindakan-tindakan yang besar ini tidak akan dapat dilakukan oleh mereka yang hanya mampu melafadzkannya saja, tetapi tidak mampu untuk memahami rahasia besar yang maha dahsyat dibalik lafadz-lafadz Dzikrullah yang sangat mulia tersebut. Apalagi untuk mereka yang tidak pernah melafadzkannya samasekali.
Memang, umat Islam perlu perjuangan yang sangat keras untuk dapat meraih predikat umat yang terbaik di hadapan sesama manusia, terlebih lagi di hadapan Allah Ta’alla.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 23 Mei 2023/ 3 Dzulqa’dah 1444 H
H. J. Faisal, Pemerhati Pendidikan/ Sekolah Pascasarjana UIKA, Bogor/ Waketum PJMI/ Anggota PB Al Washliyah
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.