JAKARTA (Waspada): Mayoritas partai politik (parpol) masih menginginkan sistem proporsionalitas terbuka. Begitu juga masyarakat banyak yang mengharapkan agar Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tetap dilaksanakan dengan sistem yang sama dengan tiga kali pemilu sebelumnya.
Pendapat-pendapat ini adalah aspirasi yang perlu didengar oleh para hakim konstitusi.
“Pemilu itu kan milik masyarakat. Pesertanya adalah juga anggota masyarakat yang tergabung dalam organisasi yang bernama partai politik. Sudah semestinya seluruh penyelenggaraannya sesuai dengan harapan mayoritas masyarakat”, kata Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) Saleh Partaonan Daulay,melalui keterangan tertulisnya yang diterima waspada.id, Selasa(3/1/2023) di Jakarta.
Di dalam sistem proporsional terbuka, jelas wakil rakyat dari daerah pemilihan Sumatra Utara II ini, partisipasi politik masyarakat dipastikan lebih luas. Mereka bisa terlibat dalam semua tahapan penyelenggaraan pemilu. Termasuk mendukung dan mencalonkan anggota masyarakat yang dinilai layak dan berkualitas.
Bahkan yang paling penting, mereka bisa menentukan secara langsung siapa calon anggota legislatif yang terbaik menurut mereka.
“Demokrasi itu intinya adalah partisipasi dan keterbukaan. Semakin tinggi partisipasi publik, semakin bagus kualitasnya. Sebaliknya, demokrasi akan mundur jika keterlibatan publik dipinggirkan. Apalagi, penentuan calon wakil rakyat dilakukan secara tertutup dan terkonsentrasi pada lingkup internal partai politik”, tandasnya.
Menurut Saleh Daulay, sistem proporsionalitas terbuka mungkin dinilai tidak sempurna. Itu hal yang wajar. Tetapi bukan berarti sistem itu diganti dengan yang lebih tidak sempurna. Justru, ketidaksempurnaannya itu yang perlu dilengkapi dan diperbaiki.
“Katanya, sistem proporsionalitas terbuka akan membuka peluang money politics. Jika itu benar, bukan berarti sistimnya yang salah. Tetapi, instrumen pengawasan dan penegakan hukum yang perlu ditingkatkan,” tukasnya.
Dia berpendapat penyelenggara pemilu kita sudah lengkap. Ada KPU dan Bawaslu. Jejaringnya lengkap sampai ke tingkat TPS. Mestinya, ini bisa diperkuat untuk melakukan pengawasan.
Saya yakin itu bisa dilakukan. Apalagi, pengawas pemilu kita tidak sendiri. Selama ini, mereka juga bekerja sama dengan aparat penegak hukum dan LSM pemantau pemilu, ujarnya.
Saleh Daulay berpandangan praktik money politics sebetulnya tidak hanya bisa terjadi pada sistem proporsionalitas terbuka. Dalam sistem proporsionalitas tertutup pun hal itu sangat dimungkinkan. Bahkan bisa terjadi di lingkaran partai politik dan di masyarakat.
“Caleg-caleg kan otomatis berburu nomor urut. Pasti ada kontestasi di internal partai. Di titik ini, ada peluang money politics ke oknum elite partai untuk dapat nomor bagus. Money politics ini menurut saya lebih bahaya. Tertutup dan tidak kelihatan. Hanya orang tertentu yang punya akses,” tambahnya.
Tidak hanya itu, sebut Saleh Daulay, nanti pas pemilu, yang dapat nomor urut bagus tadi juga masih bisa money politics di masyarakat. Walau kampanyenya untuk memilih partai, tetapi tetap saja peluang untuk melakukan pelanggaran selalu ada”.
Intinya, kalau semua memiliki kesadaran politik, praktik money politics itu bisa dihindarkan. Itu yang harus terus disosialisasikan di tengah masyarakat. Sebab, berapa banyak pun uang yang dimiliki oleh caleg, jika masyarakat tidak mau, tetap saja tidak akan mampu membayar suara rakyat. Apalagi kesadaran itu didukung oleh perangkat pengawasan yang baik.
“Lagian, pemilu Indonesia itu sudah sering mendapat pujian dari luar negeri. Sudah ribuan kali kita melaksanakan pilpres, pileg dan pilkada. Semuanya berhasil dengan baik. Adapun pernak-perniknya, bisa diselesaikan melalui jalur hukum”, pungkas Saleh Partaonan Daulay.(J05).
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.