JAKARTA (Waspada):Ketua Komisi X DPR RI, Saiful Huda menegaskan, perlu tindakan lebih serius dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) atas kasus perundungan (bullying) anak di sekolah atau lembaga pendidikan masih terus terjadi.
Kasus perundungan telah menjadi momok menakutkan bagi siswa maupun orang tua.
“Standing pointnya saya kira bahwa isu perundungan ini trend kenaikannya tinggi sekali. Sangat tinggi. Jadi pada level ini kita bisa bilang bahwa sedang terjadi darurat bullying atau perundungan di lembaga-lembaga satuan pendidikan kita baik sejak di level SD, SMP maupun SMA. Dan bahkan yang terakhir kita ketahui bersama peserta didik program spesialis kedokteran bunuh diri karena bullying yang terjadi,” ungkap Saiful Huda dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema ‘Mencari Format Pencegahan Kasus Perundungan di Lembaga Pendidikan’ di Jakarta, Selasa (24/9).
Darurat bullying menjadi catatan pertama Saiful Huda dari 10 catatan yang disampaikannya dalam diskusi itu.
“Pertama, kita sedang memasuki situasi di mana terjadi darurat bullying. Tindakan bullying di dalamnya macam-macam, baik yang verbal maupun non verbal, termasuk tindak kekerasan seksual. Terakhir menimpa anak SMP di Palembang yang diperkosa oleh temannya sendirii,” ujarnya.
Dia berharap, pemberitaan masih soal perundungan maupun kekarasan terhadap anak mendapat porsi maksimal dari media massa sehingga pemerintah segera merespon dan mengambil tindakan tegas kepada para pelaku kekerasan maupun penganiayaan terhadap anak.
Kedua, menurutnya berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2024, KPAI menerima laporan sebanyak 141 laporan kasus bully yang ini sebagian besar, yaitu 95 persen terjadi di lingkungan pendidikan. Lalu 46 kasus perundungan yang membuat korban kehilangan nyawa.
“Selebihnya si korban mengalami trauma berkepanjangan mengalami tingkat stress yang tinggi dan berkepanjangan dan ini rata-rata menimpa anak-anak usia remaja, ” ungkapnya.
Saiful meyakini, kasus bullying yang terjadi lebih banyak lagi dibanding laporan KPAI. Karena data KPAI itu merupakan data yang diperoleh dimana para korban menyampaikan laporan bullying yang dialami. Padahal, banyak para korban bullying tidak melaporkan yang dialaminya karena takut atau faktor lainnya.
Ketiga, tindakan bully rata-rata dilakukan secara berkelompok atau bersama-sama, dan trendnya terjadi di lingkungan pendidikan.
“Pertanyaannya kalau satu tindakan bisa dilakukan bersama-sama dan prosentasenya selalu dilakukan berkelompok maka tindakan deteksi dini preventif yang dilakukan oleh sekolah menurut saya gagal,” ucap Saiful.
Oleh karena itu, catatan keempatnya, menurut Saiful, Kemendikbudristek dan jajarannya yang memiliki jejaring hingga di level satuan pendidikan tersebut bisa disimpulkan
Keempat, karena sekolah sebagai satuan unit pendidikan gagal dalam mencegah kasus bullying, maka Kemendikbudriistek dan jajarannya belum melakukan upaya pencegahan secara baik.
“Kesimpulan saya sementara, tindakan yang semestinya terstruktur sistematis dan masif yang bisa dilakukan oleh Kemendikbudristek, lalu dinas pendidikan dan pihak sekolah belum berjalan dengan baik. Upaya penanggulangannya masih bersifat parsial dan sporadis atau yang sering kita ingat hari-hari ini ‘No Viral No Justice’. Jadi kalau nggak viral nggak ditangani. Kalau nggak viral, sekolah nggak tahu kalau sudah ada masalah,” ungkapnya.
Kelima, terkait regulasi yang mengatur persoalan ini.
Menurut Saiful, berbagai peraturan teknis seperti peraturan pemerintah maupun
peraturan menteri yang dibuat Kemendikbudriistek ada tiga hal yang diatur.
“Yaitu yang mengatur tindakan pelarangan, lalu bagaimana si korban harus melapor, dan siapa yang harus menangani. Peran apa yang dilakukan oleh sekolah dan seterusnya. Ada Permendikbud yang mengatur itu semuanya,” terang Saiful.
Catatan penting lainnya, bahwa semua regulasi itu tidak mencukupi merespon berbagai trend perundungan yang tinggi.
“Jadi poin saya adalah masalahnya bukan diregulasinya Mas Menteri (Mendikbud Ristek Nadiem Makarim) tapi bagaimana implementasi kebijakan tersebut di lapangan dan bagaimana kebijakan itu diorganisasi secara baik yang mana mengambil ukuran apa evaluasinya seperti apa jangkanya seperti apa dan dilakukan secara reguler pengawasannya dan seterusnya dan seterusnya,” tukasnya.
Catatan Saiful berikutnya mengenai pembentukan satuan tugas (satgas) di daerah yang disinergikan dengan pemerintah daerah (pemda) setempat.
Namun, sejauh ini belum ada kejelasan berapa Pemda yang sudah membentuk satgas, juga apakah setiap satgas di daerah sudah bekerja secara efektif atau hanya sekedar dibentuk.
“Itu sekali lagi menjadi PR yang semestinya bisa dievaluasi terus-menerus oleh Kemendikbud selaku pihak yang mewakili pemerintah dalam hal ini,” sebut Saiful.
Catatan kedelapan, menurut Saiful adalah menyangkut soal banyaknya kritik yang dilontarkan kepada Kemendikbud terkait dengan Permendikbud Nomor 46 tahun 2023 tentang mekanisme pelaporan. Dari masukan yang diterima DPR, mekanisme pelaporan dianggap terlalu berbelit-belit dan rumit. Akhirnya beresiko bagi para pelapor sendiri. Sehingga ujungnya korban tidak jadi melaporkan kasusnya sendiri.
“Ini bagian yang perlu menjadi konsern bahwa keluhan, kritik dari korban yang merasa berbelit untuk melaporkan kasusnya harusnya disederhanakan mekanisme laporannya,” saran Saiful.
Kesembilan, pentingnya evaluasi yang diikuti reward dan punishment. Sehingga kalau ada daerah yang tingkat bullying yang tinggi, maka ia setuju dana TKDD-nya diturunkan sebagai bagian dari punishment.
Saiful menjelaskan di negara-negara maju seperti di Cina, sudah melakukan proteksi peserta didik dari SD sampai SMA. Yaitu siswa yang membawa handphone (HP) diperiksa isi konten HP-nya, apakah siswa tersebut mengakses materi pembelajaran, atau mengakses materi yang menyuguhkan tindak kekerasan.
Catatan kesepuluh Saiful berkaitan dengan penegakan hukum. Yaitu siapapun yang melakukan bullying maka harus diterapkan hukum yang seadil-adilnya dan setegas-tegasnya.
“Jadi tidak boleh ada tawar-menawar menyangkut soal penegakan hukum terhadap tindakan bullying dan tindakan perundungan. Ini penting agar ada kepastian hukum. Penegakan hukum menjadi penting dalam proses transisi darurat bullying yang sedang kita hadapi hari-hari ini,” pungkas Saiful.
Di forum sama, Psikiater dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Mintarsih Abdul Latief menekankan pentingnya sosok wibawa guru yang harus dihormati dan memiliki wibawa dihadapan siswa atau muridnya. Hal ini karena banyak kasus bullying di sekolah tetapi para guru angkat tangan alias menyerah terhadap persoalan itu sehingga dibawa ke ranah hukum.
“Kita lihat kenapa guru tidak mau, dan ini harus kita kembalikan bahwa guru harus kembali sesuai fungsi dan perannya untuk mengatasi anak-anak sekolah, dan hambatan yang dirasakan oleh guru itu harus juga dibantu,” sebut Mintarsih.
Menurutnya, dengan mengembalikan fungsi dan peran guru sebagai pejabat yang diserahi tanggungjawab oleh para orang tua untuk mendidik, mengurus dan membina anak-anaknya di luar rumah maka cara tersebut lebih efektif dari pada memperdebatkan kasus bulllying kepada pejabat pemerintah dan DPR.
“Jangan kita libatkan hanya pada pejabat-pejabat, pada DPR tapi bagaimana mengatasi semua ini agar tidak terjadi di sekolah. Guru-gurunya terutama yang tahu tentang para murid-muridnya pada saat mengajar,” ujar Mintarsih.(j04)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.
Puncak persoalan bkn di Bullying, tp perhatian pemerintah dan hak pengajar Materi Agama serta jam yg cukup TIDAK MENDAPAT TEMPAT disekolah Negeri, di Swasta pada status hidup yg tidak merata, apalagi di Pesantren….