
Ketua Perhimpunan Profesional Hukum dan Kesehatan Indonesia, Muhammad Joni, SH., MH. Waspada/Ist
JAKARTA (Waspada) : Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Rumah Sakit Pendidikan Dr Kariadi tak bisa lepas dari tanggungjawab terhadap terjadinya dugaan perundungan dalam peristiwa kematian mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip), dr Aulia Risma Lestari (ARL).
Meski demikian publik tetap diminta bersabar untuk mendapatkan kepastian apakah benar terjadi perundungan yang menjadi penyebab kematian ARL.
“Hukum menjadi rujukan, bukan spekulasi, prejudice, apalagi sakwangka subyektif,” kata Ketua Perhimpunan Profesional Hukum dan Kesehatan Indonesia, Muhammad Joni, SH., MH.l, di Jakarta, Jumat (6/2024).
Secara de facto dan de jure, kata Joni, mahasiswa peserta PPDS FK Undip itu dalam relasi pendidikan dan pelayanan di RS Dr Kariadi. Lalu untuk tempat (locus) perbuatan itu berada di lingkungan RS Pendidikan (RSP). “Maka tidak lepas tanggungjawab hukum RS, Kemenkes bahkan Menkes yang turut melakukannya bersama-sama,” ujarnya.
Andai benar dugaan perundungan terjadi, Joni mengatakan maka perbuatan dan atau dugaan delictum-nya harus diuji menurut hukum acara. Pada faktanya maupun tanggungjawab medisnya, kata dia, peserta PPDS ini melakukan layanan dan tindakan medis terhadap pasien pada fasilitas kesesehatan (faskes) dengan status RSP yang secara hukum berada dalam pembinaan teknis dan administratif Menkes dan Kemenkes.
“Jadi, tipikal perbuatan dan peristiwanya bukan hanya kualifikasi perbuatan pendidikan dokter spesialis an sich saja, namun dominan dalam kualifikasi pelayanan medis RS. Itu artinya berarsiran tebal dan turut serta bertanggungajawab secara hukum pihak Menkes, Kemenkes dan pimpinan RS,” tuturnya.
Terkait persoalan hukum yang terjadi dalam masalah ini, Joni mengatakan obyektifitas investigasi dan penyelidikan harus merdeka dari opini dan prejudice. Termasuk juga, kata dia, tidak mengumbar fakta atau seakan fakta yang belum teruji secara saintifik, evidance based, dan mematuhi hukum acara dengan prinsip presisi yang dapat membentuk opini publik.
Masih terkait dugaan perubdungan, Joni menilai perlu diperiksa dan diuji apakah fakta, perbuatan, ataupun serangkaian perbuatan itu dalam konteks penyelenggaraan PPDS, relasi dan interrelasi personal-sosial di luar aras PPDS, atau perbuatan norma etika kedokteran sesama sejawat dokter, atau perbuatan pidana. Dia menegaskan penyidik Polri jangan sampai keliru dan gagal mengidentifikasi norma etika dokter ataukah perbuatan hukum.
“Apapun metode dan hasil laporan investigasi, ataupun berkas penyelidikan dan penyidikan Pro Justisia, maka secara hukum tidak lepas dari wewenang dan tanggungjawab hukum Menkes dan Kemenkes serta otoritas RS,” tuturnya.
Selanjutnya Joni mengatakan apapun hasil investigasi maupun penyelidikan maka penting dikawal agar tidak lepas dari tanggungjawab hukum Menkes, Kemenkes dan RS. Termasuk apa dan mengapa terjadi pembiaran.
“Rasanya tidak berfaedah hanya menuding dan tunjuk hidung secara prejudice kepada satu pihak, apakah Kepala Prodi PPDS, Dekan, atau penanggungjawab PPDS. Dalam hal ini juga termasuk di dalamnya tanggungjawab hukum RS dimana terjadinya perbuatan ataupun locus delictie,” ujarnya. (j01)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.