JAKARTA (Waspada): Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono bersama Pimpinan MPR RI akan menerima aspirasi dari tokoh-tokoh terpandang di negeri ini menyampaikan sikap pada 10 November agar bangsa ini kembali kepada ke naskah asli UUD 1945.
Penyampaian itu, kata Nono, membuktikan para tokoh merasakan suasana negeri ini pasca reformasi bukan menjadi lebih baik, tetapi banyak telah menyalahi aturan.
“Hasil amandemen UUD NRI pasca reformasi ini apakah sudah sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa? Baik dalam aspek sosial politik, hukum, ekonomi dan demokrasi.
Dulu tidak kenal politik uang, karena semua berjuang secara ideologis untuk keutuhan bangsa dan NKRI,” ungkap Nono Sampono dalam dialog kenegaraan ‘Kembali Menjalankan dan Menerapkan Sistem Bernegara Pancasila sesuai Rumusan Para Pendiri Bangsa’ bersama Mulyadi Dosen Politik UI di Media Center DPD/MPR RI Jakarta, Jumat (3/11).
Menurut Nono, UUD NRI 1945 hasil amandemen ke-4 hasil reformasi adalah kebablasan, sehingga perkembangan demokrasi, ekonomi, hukum, dan politik sekarang ini cenderung liberal dan sarat dengan money politik.
“Politik uang yang sebelumnya tidak dikenal, karena semuanya konsentrasi untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara,”ujarnya lagi.
Nono Sampono mengatakan jika amandemen tersebut dilakukan dengan gegabah, gebyah uyah, serampangan dan kebablasan.
“Amandemen itu mengabaikan persatuan dan kesatuan bangsa, maka harus kembali Konstitusi Asli dengan menjunjung tinggi kebersamaan, gotong royong untuk kelangsungan NKRI. Kalau tidak, maka NKRI ini bisa hilang. Seperti hilangnya Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya,”katanya mengingatkan.
10 November nanti Pimpinan DPD dan MPR RI akan mendengarkan suara aspirasi masyarakat yang juga menginginkan kembalinya wewenang MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Dosen Politik UI Mulyadi mengatakan, amandemen pasca reformasi tersebut dilakukan dalam suasana marah-marah. Karena marah-marah, maka hasilnya ketidakpuasan.
Sedangkan para pendiri bangsa ini membemtuk konstitusi itu dalam suasana kebatinan, maka hasilnya sangat baik dan modern. Seperti Pancasila dan MPR RI lembaga tertinggi negara sebagai wujud kedaulatan rakyat.
‘Beberapa hari yang lalu saya membuat satu segmen yang banyak dikomentari oleh teman-teman. Saya bilang Undang-Undang Dasar 45 itu dibuat dalam suasana kebatinan, kemudian ada regormasi diubah diganti dengan suasana kebatilan. Apa suasana kebatilannya?Pertama tidak ada reformasi yang ada deformasi, kerusakan. Reformasi itu dibajak karena hal itu saya lihat perkembangannya.
Produksi pro demokrasi dia tidak puas karena merasa perjuangannya tidak nyampe dikhianati dan sebagainya itu wujud ekspresi daripada ketidakpuasan. Karena itu saya punya argumen bahwa tidak ada reformasi yang ada feformasi,”tutur Mulyadi.
“Yang kedua Undang-Undang Dasar 45 yang diganti saya sebutnya undang-undang dasar 2002. Hal itu ada tiga motif politik yang tersembunyi yang tidak dibaca orang”.
Untuk itu pula kata dia, Pilpres secara langsung ini belum waktunya, karena justru merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat dengan politik uang.
“Harusnya diserahkan ke MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Bahwa MPR RI ini sebagai institusi penjelmaan rakyat,” tukas Mulyadi.(j04)