BATUBARA (Waspada); Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) meluncurkan “Standar dan Modul Perlakuan terhadap Anak, Anak Binaan, dan Klien Anak Kasus Terorisme” di Graha Bakti Pemasyarakatan, Senin (10/6).
Hal ini merupakan hasil kolaborasi antara Ditjenpas dengan Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) dengan dukungan pemerintah Australia melalui Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).
Dalam rillis pers (WhatsApp) yang diterima Waspada, Rabu (10/6), Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Plt. Dirjenpas), Reynhard Silitonga menegaskan, Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) membutuhkan penanganan lebih spesial karena mereka sebenarnya bukanlah pelaku tindak pidana, tetapi bagian dari korban kondisi dan situasi global saat ini.
Anak katanya bukanlah pelaku terorisme, melainkan korban yang perlu dilindungi secara hukum dan memerlukan pendampingan Aparat Penegak Hukum, termasuk petugas Pemasyarakatan.
Adanya Standar Perlakuan terhadap Anak, Anak Binaan, Klien Anak Kasus Terorisme akan memudahkan kami dalam melakukan pendekatan dan strategi dalam proses pembinaan dan pembimbingan. Dengan demikian, mereka akan mendapatkan perlindungan hak-haknya serta terjadi perubahan sikap dan perilaku yang lebih terbuka, toleran, dan moderat, sebutnya.
Direktur Pembimbingan Kemasyarakatan dan Upaya Keadilan Restoratif Pemasyarakatan, Pujo Harinto, melaporkan dalam beberapa aksi terorisme, anak-anak ikut menjadi korban karena “dilibatkan” sehingga mereka menjadi ABH. Sayangnya, aturan hukum yang ada sebelumnya melalui Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor PAS-172.PK.01.06 Tahun 2015 tentang Standar Pembinaan Narapidana Teroris tidak mengatur secara spesifik untuk Anak Kasus Terorisme.
Hal inilah yang melatarbelakangi penyusunan Standar dan Modul Perlakuan Anak Kasus Terorisme.
Pemerintah dan berbagai pihak terkait didorong untuk memperkuat upaya deradikalisasi yang menimpa Anak Kasus Terorisme. Pendekatan-pendekatan yang digunakan harus bersifat personal dan spesifik, sesuai tingkat trauma dan dalamnya doktrin yang diterima.
Direktur Eksekutif YPP, Taufik Andrie, menjelaskan standar dan modul ini merupakan hasil dari proses pembahasan panjang sejak pandemi COVID-19.
Sebagai salah satu lembaga yang memiliki pengalaman atas pendampingan terhadap ABH, termasuk kasus terorisme, YYP berharap standar dan modul ini akan ditindaklanjuti dengan pelatihan teknis untuk meningkatkan kemampuan serta kinerja petugas.
Harapannya, standar dan modul ini bisa secara produktif dan strategis membantu kerja-kerja baik yang selama ini sudah dilakukan oleh petugas di LPKA dan LPAS yang kemudian akan mentransformasi kapasitasnya menjadi lebih produktif dan memberikan kontribusi bagi penanganan Anak Kasus Terorisme di Indonesia.
Selanjutnya, Deputy Team Leader AIPJ2, Peter Riddell-Carre, mengungkapkan rasa bangganya dengan kolaborasi YPP dan Ditjenpas yang telah menghasilkan modul dan standar. Hasil kolaborasi akan membekali petugas Pemasyarakatan dalam menangani anak terkait tindak pidana terorisme dan mendukung mereka untuk siap kembali ke tengah-tengah masyarakat.
Anak-anak ini juga berisiko terkena dampak negatif dari hukuman dan stigma yang terus berlanjut. Jadi, lingkungan yang aman juga sangat penting untuk mengakhiri siklus kekerasan dan memenuhi hak-hak mereka sebagai Anak. Dukungan pembinaan dan pengawasan terhadap Anak oleh petugas Pemasyarakatan pun menjadi sangat penting.
Dalam kesempatan tersebut, Plt. Dirjenpas menerima secara simbolis Standar dan Modul Perlakuan Kasus Anak Terorisme dari Direktur YPP dan Deputy Team Leader AIPJ2.
Peluncuran ini dilanjutkan diseminasi melalui diskusi interaktif sehingga seluruh peserta dapat mendapatkan pemahaman lebih detail terkait standar dan modul tersebut.
Kegiatan ini dihadiri langsung oleh perwakilan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi. (a.18)