MEDAN (Waspada): Belakangan ini, beberapa kalangan menyampaikan kecaman atas pernyataan Wakil Walikota Medan Aulia Rahman yang mengatakan bahwa 20 tahun mendatang, kalau tidak menciptakan satu gebrakan baru, Kota Medan akan dikuasai oleh nonpribumi untuk menjadi Wali Kota Medan.
Pernyataan yang disampaikan pada saat kegiatan buka bersama dengan tokoh-tokoh yang berasal dari Kabupaten Asahan di Kota Medan, Minggu (9/4/2023) telah menimbulkan reaksi prokontra di tengah-tengah masyarakat.
Sebagian menganggap pernyataan itu sebagai suatu yang bersifat diskriminatif yang seharusnya tidak patut diucapkan oleh seorang Wakil Walikota. Namun sebagian yang lain menyatakan bahwa hal itu merupakan hal yang wajar sebagai sebuah motivasi dalam menghadapi kenyataan yang memang yang tidak bisa dinafikan.
Pengamat kebijakan publik Sakhyan Asmara (foto) mengatakan bahwa tidak ada yang salah dari pernyataan Wakil Walikota Medan itu. Sebab untuk menilai sebuah pemikiran yang diwujudkan dalam bentuk pernyataan haruslah dilihat secara konprehensif dengan pikiran yang jernih.
Mengutip tulisan Heru Margianto di Kompas.com 02/11/2021, dalam artikel yang berjudul “Makna Pribumi Bukan Rasisme”, Sakhyan menyatakan keliru pemikiran yang menafsirkan bahwa istilah pribumi sebagai istilah rasisme.
Hal itu justru merupakan penyelewengan permahanan dari makna pribumi yang sebenarnya. Sebab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah pribumi bermakna penghuni asli yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Jadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan ras, etnis atau suku pada pemaknaan KBBI terhadap istilah pribumi mau punlawan katanya, yakni non-pribumi.
Ucapan Aulia Rahman itu juga bukan merupakan suatu kebijakan, melainkan hanya sebuah motivasi yang ditujukan kepada khalayak yang berasal dari tempat yang bersangkutan, yakni kota Medan agar membuat suatu gebrakan jika hendak mengusai kota Medan atau menjadi pemimpin di kota Medan.
Pernyataan ini menurut Sakhyan hanya sebuah motivasi untuk berprestasi (need for achievement) bagi masyarakat penghuni asli kota Medan. Jadi tidak ada kaitannya dengan diskriminasi.
Apalagi tentang diskriminasi yang dilarang oleh UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis, meyatakan bahwa tindakan diskriminasi ras dan etnis, baru disebut sebagai suatu tindakan diskriminatif apabila adanya perbuatan yang berkenaan dengan segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Mengingatkan Masyarakat
Sebagai Wakil Waliklota Medan, dalam kenyataannya Aulia Rahman tidak pernah mengeluarkan kebijakan atau melakukan seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang No 40 tahun 2008, melainkan ia hanya mengingatkan kepada masyarakat penghuni asli kota Medan agar waspada dan harus melakukan suatu gebrakan bila ingin menjadi pemimpin di kota Medan setidaknya pada 20 tahun yang akan datang.
Lebih lanjut Sakhyan menegaskan bahwa di dalam Undang Undang no 40 Tahun 2008 tidak ada kata Pribumi atau Nonpribumi.
Istilah Pribumi dan Nonpribumi muncul dalam Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.
Lagi-lagi dalam Inpres tersebut penggunaan istilah Pribumi dan Nonpribumi hanya dihentikan dalam perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, bukan dalam ucapan, tetapi dalam penyelenggaraan perumusan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.
Jadi sesungguhnya apa yang diucapkan oleh Aulia Rahman itu tidak ada yang salah, dan masyarakat ataupun kalangan tertentu juga jangan terlalu sensitif dengan istilah pribumi dan nonpribumi.
“Kalau ia merasa pribumi, tentu tidak persoalan jika orang berbicara tentang non pribumi. Tapi kalau ia masih merasa sebagai nonpribumi, lalu kemudian mendapat perlakuan yang berbeda, itu baru masalah,” pungkas Sakhyan. (cpb)