Selama Pandemi, Jurnalis Perempuan Alami Tantangan Berat

  • Bagikan

MEDAN (Waspada) – Selama pandemi jurnalis perempuan mengalami tantangan yang berat, tidak hanya harus menghadapi perubahan aktivitas jurnalistik yang signifikan, tapi juga harus memikul beban ganda, rentan terpapar covid, rentan mengalami kekerasan, hingga harus menghadapi dampak ekonomi karena kondisi perusahaan media yang juga mengalami krisis.

Permasalahan jurnalis perempuan selama Pandemi ini terangkum dalam hasil survei Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) yang dilaunching pada Webinar “Sharing Strategi dan Kondisi Jurnalis Perempuan di Masa Pandemi” yang digelar Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) bekerjasama dengan Kementerian Permberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (KemenPPPA) pada Sabtu (25/6).

Lia Anggia Nasution, Anggota Divisi Diklat FJPI mengatakan, survei ini digelar dengan metode deskriptif kuantitatif, yang dilakukan sejak 29 Januari 2022 sampai 28 Maret 2022. Pertanyaan survei disebar kepada 150 orang responden jurnalis perempuan di Indonesia, menggunakan formulir daring dengan margin error delapan persen.

Profil responden yang dikumpulkan FJPI, yakni memiliki pengalaman jadi jurnalis mulai dari tiga hingga 30 tahun, dengan rentang usia 23 hingga 58 tahun.

“Hasil survei memperlihatkan, 30 persen responden jurnalis perempuan merasa sulit mengakses narasumber hingga informasi di tengah pandemik COVID-19, sebanyak 26 persen merasa ruang geraknya terbatas, dan 18 persen mengalami dampak ekonomi,” kata Anggia.

Lebih lanjut dikatakannya, berdasarkan hasil survei jurnalis perempuan tak patah semangat dan melakukan berbagai strategi, yakni 50 persen mengasah kemampuan digitalnya, 29 persen memperkuat jaringan dengan narasumber, dan 10 persen membangun kolaborasi dengan jurnalis lain untuk bertahan.

Berdasarkan hasil survei juga, ditemukan bahwa pandemik COVID-19 telah membuat jurnalis perempuan mengalami beban ganda, angkanya 57 persen.

“Iya, saya mengalami beban ganda yang tinggi. Seringkali saya tidak bisa fokus dan harus mengorbankan satu hal, biasanya tugas-tugas di rumah yang terbengkalai. Saya sering tidak sempat berbelanja dan memasak karena harus zoom meeting sejak pagi. Saya juga merasa semakin stres karena saat WFH dan harus stay di depan laptop, pikiran saya melayang ke piring yang belum dicuci, pakaian yang belum disetrika, rumah yang belum disapu, dll. Untuk mengatasinya, saya terpaksa begadang hingga pukul 2 pagi untuk menyelesaikan seluruh tugas rumah tangga, termasuk memasak agar paginya saya bisa fokus bekerja,” kata seorang responden seperti yang dipaparkan Anggia.

Selain itu, kekerasan juga dialami selama pandemik COVID-19. Sebanyak 6 persen responden mengaku mengalami kekerasan seksual. Salah satu responden mengatakan, dia sering dilecehkan dengan cara dipandangi dadanya, atau dilecehkan secara verbal oleh narasumber.

Dari segi kesehatan, pandemik COVID-19 juga telah mempengaruhi jurnalis perempuan. Sebanyak 50 persen jurnalis perempuan menerapkan pola hidup sehat, 18 persen memilih taati protokol kesehatan, 16 persen melakukan kegiatan yang disenangi, 15 persen mendekatkan diri pada Tuhan, dan ada satu persen responden yang sampai harus mengunjungi psikiater.

Selama pandemik, jurnalis perempuan juga banyak terpapar COVID-19. Dari catatan FJPI, ada 33 persen yang pernah mengidap virus ini. Di samping itu, 71 persen responden sudah melengkapi vaksinasinya hingga dua kali.

Sementara Ninuk Mardiana Pambudi, Redaktur Senior Harian Kompas, menambahkan, selain beban ganda yang dialami perempuan, kasus KDRT turut meningkat di masa pandemi. Beragam pengalaman para jurnalis perempuan pun mendorong Ninuk untuk mendesak Dewan Pers memiliki perhatian terhadap kesejahteraan jurnalis perempuan, terbebas dari isu ketrampilan, isu kekerasan hingga isu kurangnya kesejahteraan.

Ninuk juga mengajak seluruh jurnalis untuk memiliki perpektif kesetaraan gender dalam pemberitaan, agar dunia pers yang didominasi kaum pria, tidak meletakkan perempuan dan permasalahan yang dihadapinya sebagai wilayah domestik yang tidak perlu mengemuka di ruang publik.

Hal yang tak jauh berbeda menjadi catatan KemenPPPA. “Dampak pandemi, selain membuat para perempuan wirausaha makin terpuruk dengan berkurangnya penjualan dan naiknya bahan baku. Selain itu, pembelajaran jarak jauh pun membuat tanggung jawab pengasuhan juga meningkat. Bahkan sebanyak 34 persen menutup usahanya dalam waktu dekat,” tutur Eko Novi ARD, Asdep Peningkatan Partisipasi Lembaga Profesi dan Dunia Usaha KemenPPPA.

Selain itu, permasalahan sunat perempuan, pernikahan anak, KDRT, maupun kekerasan seksual juga masih menjadi fokus KemenPPPA untuk diselesaikan. Berbagai kebijakan dan langkah strategis dilakukan pihak KemenPPPA untuk mendampingi dan memperkuat para perempuan wirausaha melewati masa pandemi. Namun Eko Novi menilai FJPI memiliki posisi yang strategis penyampaian informasi berperspektif gender untuk mengemuka ke ruang publik sekaligus mengikis pola pikir patriarki. (Cbud)

  • Bagikan