MEDAN (Waspada): Anggota DPRD Sumut Abdul Rahim Siregar (ARS, foto), menilai PT Putra Lika Perkasa (PLP) arogan dan tidak menunjukkan itikad baik, terkait sengketa lahan seluas ratusan hektar di areal Aek Napanas, Desa Huta Baringin, Padang Lawas Utara (Paluta). Dewan menduga perusahaan telah menyerobot lahan rakyat selama 18 tahun.
“PT PLP sangat bersikap arogan dan tidak mau menunjukkan iktikad baiknya terhadap pemerintah pusat dan provinsi, apalagi terhadap masyarakat sekitar, khususnya Desa Huta Baringin yang sudah berdomisili di lahan sebelum izin mereka terbit,” kata ARS kepada Waspada di Medan, Rabu (22/11).
Anggota dewan Fraksi PKS Dapil VII Tabagsel ini merespon perjuangan gigih Pemprovsu dan Pemkab Paluta, khususnya Desa Huta Baringin yang menyesalkan terus berlanjutnya penguasaan lahan di areal Aek Napanas, setelah berakhirnya mediasi yang ketiga di Kantor Bupati Padang Lawas Utara pada 06 November 2023, lalu.
Menyikapi hal itu, ARS menyebutkan, PTP PLP terus mengklaim masih memiliki legal standing yang kuat atas Hutan Tanaman Industri (HTI) di areal Aek Napanas.
“Kita menilai pimpinan HTI PT PLP juga sangat mencoreng aturan bernegara kita. Surat-surat dari Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan terkait pengembalian lahan sudah ada kepada masyarakat tahun 2010,” ujarnya,
Kemudian, surat dari Dinas Kehutanan provinsi sumatera utara tahun 2011 terkait pemasalahan IUPHHK juga sudah. “Akan tetapi PT PLP belum mengakomodir perintah dari pemerintah tersebut,” ujar ARS.
“Selain tidak mematuhi aturan negara. HTI PT PLP masih saja terus menyerobot lahan masyarakat yang sudah APL. Kecuali tadi lahan masyarakat tersebut masih dalam kawasan hutan produksi. Ini sejak tahun 2005 terbitnya SK 44 dari Menhut soal lahan Desa Huta Baringin yang sudah menjadi Areal Penggunaan Lain,” katanya.
Itu artinya, lanjut ARS, 18 tahun mereka menyerobot lahan masyarakat.
ARS sebagai Putra Tabagsel akan memperjuangkan hak-hak masyarakat ini dimulai dari mengagendakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bulan Desember 2023 ini di DPRD Sumut ini, agar terang benderang dan mempertanyakan arogansi dan keberatan PT PLP merevisi peta kerja tahunan.
Sudah Berlangsung 25 Tahun
Terpisah, Kepala Desa Huta Baringin Halongonan Harahap, menjelaskan bahwa persoalan ini sebenarnya sudah berlangsung 25 tahun. “Para orang tua sudah lama bekerja di lahan Huta Baringin di areal Aek Napanas dan mendirikan rumah-rumah,” ujarnya.
“Dahulu saya dan orang tua bekerja di areal kebun tersebut. Rumah kami saja sudah berdiri 2 pintu ditambah masyarakat Desa Huta Baringin lainnya sekitar tahun 1997 dan 1998. Akan tetapi kami malah dilaporkan ke Polres Labuhan Batu serta diangkut dan rumah-rumah kami dihancurkan,” tutur Halongonan.
Pada tahun 1998 saja, meskipun surat-surat dari ulayat serta surat lainnya tidak diakui HTI PT PLP.
“Kami pun sebenarnya mendapat surat dari Kantor Wilayah Departemen Kehutanan tentang areal kami yang APL sekitar 387 hektar. Tahun 2010 juga Dinas Kehutanan sudah mengeluarkan titik koordinat dan tinjau lapangan ke lahan Desa Huta Baringin. Akan tetapi tidak dipatuhi oleh HTI PT PLP,” tutup Kepala Desa Huta Baringin Halongonan Harahap. (cpb)