MEDAN (Waspada): Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Sumut-NAD mengkritik kebijakan Walikota Bobby Nasution terkait penataan Kota Medan, termasuk penetapan ibukota Provinsi Sumut yang meraih niiai terendah menata kota ini.
“Sejak ditetapkan sebagai Walikota Medan pada Februari 2021, Bobby terkesan gagal sebagai pemimpin oleh masyarakat, ketika KLHK menetapkan Kota Medan sebagai kota terkotor tahun 2022,” kata Komisariat Daerah (Komda) PMKRI Sumut-NAD, Ceperianus Gea (foto) dalam keterangan tertulisnya kepada Waspada di Medan, Minggu (29/1).
Dia menanggapi keterangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang tidak ada menyebut Medan Kota Terkotor, melainkan Pemko Medan belum mencapai untuk memperoleh penghargaan Adipura karena nilainya masih rendah.
Merespon hal itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Medan, Suryadi Panjaitan mengatakan, pemberitaan tentang “Medan Kota Terkotor” yang tayang di salah satu media online Jakarta beberapa hari yang lalu adalah hoax dan itu pun kejadiannya 2018.
Menyikapi hal itu, Komda PMKRI Sumut-NAD, Ceperianus Gea berpendapat, tidak kurang dari 2.100 ton sampah dihasilkan setiap hari dan rata rata per bulan mencapai 63.000 ton sampah yang semakin menguatkan gelar dari KLHK tersebut.
“Banyaknya genangan di selokan yang belum diperbaiki yang menambah korban kecelakaan di Kota Medan,” ujarnya.
Mirisnya, Pemko bukan melakukan gebrakan mencari solusi, melainkan berusaha mengklarifikasi bahwa hal itu adalah hoax.
Sebagai ibukota provinsi, Medan menjadi identik dengan sampah dari setiap sudut gang, selokan, jalan dan sebagainya. Sang walikota terkesan tidak dapat memenuhi janji janji kampanyenya.
“Walikota hari ini malah fokus dalam pencitraan di media sosial dan media lainnya, sehingga lupa untuk berbuat dan berbenah. Bobby selaku walikota bukan menjadi sosok pemimpin yang baik di mata masyarakat, dibuktikan dengan sikap masyarakat yang belum mau mengikuti apa yang diinginkan oleh walikota untuk melakukan kebersihan lingkungan,” tegasnya.
Lampu Jalan
Hal lainnya juga pada pengadaan lampu lampu jalan di Kota Medan bukan memberikan keindahan, memberi kesan tidak baik, apalagi tersiar informasi diduga ada korupsi soal pengadaan alat penerangan itu.
Dibangun di trotoar yang seharusnya menjadi tempat berjalan atau bisa dilewati memberi opini rakyat, seakan hanya menghabiskan anggaran demi pencitraan.
Di beberapa waktu lalu, Walikota mengatakan ingin mewujudkan Medan yang ramah disabilitas, namun sampai hari ini Medan belum terlihat menunjukkan kota yang ramah disabilitas, dengan jalan jalan dan trotar yang tidak memadai untuk kaum disabilitas.
Kemudian, melakukan penyekatan tinggi di jalan di sekitar Jl Karya Wisata yang menyebabkan akses bekerja terhambat, dan masyarakat menganggap hal tersebut adalah reaksi terhadap tuntutan masyarakat.
Sisi lain. masyarakat patut diapresiasi karena melakukan gugatan terhadap keputusan walikota yang terkesan tidak pro kepada rakyat melainkan pada pencitraan semata. (cpb/rel)