Petani Menjerit, Pemerintah Diminta Hentikan Kebijakan DMO Dan DPO Minyak Sawit

  • Bagikan

MEDAN (Waspada): Ketua Dewan Pimpinan Daerah Komite Nasional Pemuda Demokrat Sumatra Utara (DPD KNPD Sumut), organisasi sayap Partai Demokrat, Suryani Paskah Naiborhu (foto), meminta pemerintah menghentikan pemberlakuan kebijakan Domestik Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) untuk minyak sawit, olein, hingga minyak goreng. Kebijakan yang diberlakukan mulai 27 Januari 2022 lalu tersebut dipandang dapat merugikan para petani sawit sendiri.

Sebagaimana diberitakan, pemerintah memberlakukan kebijakan DMO dan DPO untuk minyak sawit, olein hingga minyak goreng sebagai upaya untuk menekan harga minyak goreng yang melonjak hingga Rp 20.000 per liter di pasaran. DMO untuk CPO ditetapkan sebesar Rp 9.300 per kg dan olein Rp 10.300 per liter.

Suryani Paskah Naiborhu mengatakan bahwa dalam 1 hari harga tandan buah segar (TBS) sawit anjlok hingga 25% akibat pemberlakuan kebijakan DMO dan DPO tersebut.

Turunnya harga TBS sawit tersebut pada akhirnya akan berdampak kepada pendapatan yang diperoleh petani sawit.

“Jika harga TBS petani jatuh di bawah harga keekonomian, kita khawatir para petani akan malas merawat kebun sawitnya dan juga enggan untuk memanen. Karena pendapatan yang diperoleh dari penjualan TBS sawit tersebut dipandang tidak sesuai dengan biaya yang harus mereka keluarkan untuk merawat tanaman sawit,” ujar Suryani Paskah Naiborhu dalam keterangan yang diterima Sabtu (29/1/2022).

Suryani Paskah Naiborhu mengatakan keengganan petani dalam memanen tersebut kemudian dapat memengaruhi pasokan TBS sawit yang tersedia di pasaran. Dan akhirnya operasionalisasi industri yang berkaitan dengan ketersediaan minyak sawit dan turunannya juga bakal terganggu.

Suryani Paskah Naiborhu juga meminta pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan pemberian subsidi harga minyak goreng.

“Pemerintah sebaiknya fokus melakukan subsidi harga minyak goreng untuk masyarakat menengah ke bawah, bukan dengan cara pukul rata begini. Sebab jika harga TBS turun drastis, bisa saja terjadi permainan di perusahaan-perusahaan besar, dimana crude palm oil (CPO) yang dihasilkan dari TBS yang murah ini justru di ekspor ke luar negeri karena harga CPO tinggi. Bukannya diolah untuk menjadi minyak goreng murah yang dibutuhkan masyarakat. Ini yang kita khawatirkan,” tuturnya.

Pisau Bermata Dua

Suryani Paskah Naiborhu mengatakan, kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk menekan harga minyak goreng tersebut ibarat pisau bermata dua.

“Satu sisi pemerintah ingin mengendalikan harga minyak goreng yang akhir-akhir ini meroket akibat harga CPO di pasar dunia melambung, hingga mendorong ekspor CPO begitu besar dan pasokan dalam negeripun mengikuti harga dunia. Hal ini berimplikasi langsung terhadap harga produk hilir CPO itu sendiri seperti halnya minyak goreng dan lain sebagainya,” jelasnya.

Di sisi lain, ujarnya, pemerintah menerapkan kebijakan DMO dan DPO dengan harapan pasokan dalam negeri tercukupi dan harga disesuaikan serta dikendalikan. 

Implikasinya, dalam 1 hari harga TBS (tandan buah segar) petani rakyat turun hingga 25%.

“Implikasi terhadap TBS rakyat ini yang seharusnya diperhitungkan pemerintah. Tak cukup hanya dengan niat  mengendalikan harga produk hilir CPO saja. Jauh daripada itu, pemerintah juga kita harapkan melihat persoalan ini lebih luas lagi dimana implikasi ini mengakibatkan penurunan harga TBS. Dan apakah dengan turunnya harga TBS pemerintah juga mampu mengendalikan harga pupuk yang dalam 1 tahun melonjak hingga 100%?,” ungkapnya.

Suryani Paskah Naiborhu menekankan pentingnya pemerintah memperhatikan keseimbangan penurunan antara harga TBS dengan harga pupuk akibat pemberlakuan DMO dan DPO. Jika pemerintah tidak mampu melakukan hal itu, tentu akan menimbulkan persoalan baru bagi petani, dimana ongkos produksi naik hingga 100%, namun harga produksi turun hingga 30%.

“Ini yang saya maksud dengan pisau bermata dua sisi. Pertama niatnya baik ingin stabilkan harga produk hilir dengan pembatasan ekspor dan kendalikan harga. Tapi sisi lain ada petani yang menjadi korban akan tetapi tidak dibarengi dengan penurunan biaya produksi, seperti pupuk,” tuturnya. (rel)

Teks foto

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Komite Nasional Pemuda Demokrat Sumatra Utara (DPD KNPD Sumut), organisasi sayap Partai Demokrat, Suryani Paskah Naiborhu. Waspada/ist

  • Bagikan