MEDAN (Waspada): Akibat minimnya aksi terhadap Kaldera Toba, Indonesia diganjar oleh UNESCO dengan memberikan kartu kuning (Yellow Card). Ini merupakan bukti perhatian pemerintah terhadap kawasan wisata yang berlokasi di Provinsi Sumatera Utara, itu sangat rendah.
Demikian dikemukakan praktisi lingkungan yang juga Direktur Eksekutif Yayasan Hayati Indonesia, Marwan Ashari Harahap kepada wartawan, Selasa (3/10) di Medan.
“Pemerintah kita, baik Pusat maupun Daerah, tidak banyak berbuat apa-apa terhadap aksi-aksi pengelolaan terhadap kawasan Kaldera Toba, sehingga Indonesia mendapat kartu kuning dari UNESCO, padahal sebelumnya sudah mendapatkan status sebagai “Global Geoparks” pada tahun 2020 lalu,” ujarnya.
Semestinya,npemerintah punya beyond atau perhatian yang kuat terhadap Kaldera Toba, dengan melakukan aksi- aksi nyata yang terencana, terpadu serta terukur.
“Tidak cukup hanya melakukan sosialisasi, tapi harus disertai dengan aksi nyata dalam penyelamatan maupun pembenahan kawasan Kaldera Toba,” sebutnya.
Menurut Marwan Ashari Harahap, yang juga Ketua Umum Pemuda Tabagsel, pihak UNESCO selama ini, pihaknya melihat dan menunggu aksi nyata dari Pemerintah Indonesia.
Namun sudah berjalan 3 tahun, ternyata tidak bisa berbuat banyak untuk mengurai kasus-kasus pencemaran di Kawasan Danau Toba, sehingga akhirnya statusnya sebagai “Global Geopark” terancam dicabut.
“Kaldera Toba adalah Komplek geologi yang menyuguhkan panorama Danau Vulkanik terluas di dunia, seharusnya menjadi prioritas pemerintah Indonesia untuk membenahinya, apalagi sudah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Super Prioritas, tapi tidak disertai dengan aksi dan implementasi program akan, niscaya tidak akan tercapai,” bebernya.
Aksi penanaman bibit pohon. Waspada/ist
Aksi Nyata
Menurut Marwan Ashari Harahap, aksi nyata yang mesti diterapkan pemerintah adalah memulihkan kawasan Danau Toba dari semua bentuk dan tindakan pencemaran.
Baik pencemaran yang berasal dari domestik, industri maupun yang bersumber dari usaha Keramba Jaring Apung (KJA), maupun usaha oeternakan yang membuang limbahnya ke kawasan Danau Toba.
Selain itu, menurut Marwan Harahap, yang terkenal sebagai aktifis lingkungan ini, mengatakan, implementasi penegakan hukum yang tegas harus dijalankan terhadap oknum pelaku pencemaran dan perusakan kawasan Kaldera Toba.
“Peraturan harus ditegakkan, tidak ada aturan yang tegak tanpa penindakan, ini akan membuat efek jera bagi para pelaku,” imbuhnya.
Coba perhatikan, selama tidak ada seorangpun yang betul-betul ditindak terhadap pelaku pencemaran atau pelaku yang melanggar peraturan, ini merupakan bukti masih lemahnya penegakan hukum.
“Baik Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah harus mengkaji ulang lebih jauh dan mempertimbangkan terhadap keberadaan Keramba Jaring Apung (KJA), supaya menyetop pemberian izinnya. Dalam arti, Kawasan Danau Toba jika ingin tetap mempertahankan status sebagai “Global Geoparks” supaya menghentikan semua KJA , baik yang dikelola swasta juga masyarakat,” katanya.
Misi Penting
Menurut penjelasan Marwan Harahap, sesuai predikatnya, Danau Toba mengemban misi penting. Yakni, menarik wisatawan dan menyetor pundi-pundi devisa kepada negara.
Ia termasuk andalan pemerintah untuk mendatangkan 8,5 juta turis asing pada tahun ini, yang hingga pertengahan 2023, target belum tercapai.
Menurutnya lagi, Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia berjumlah 6,3 juta orang.
Artinya, masih kurang sekitar 2,2 juta lagi. Sejak Kaldera Toba berstatus geopark dunia, sektor pariwisata di Sumatera Utara kembali merangkak setelah roboh dihantam pandemi. Jumlah wisatawan mulai bertambah seiring kebijakan pemerintah membuka lagi keran masuk bagi kedatangan turis asing.
Berdasarkan catatan BPS, kondisi mulai membaik sejak Mei 2022 lalu. Memasuki 2023, rata-rata kunjungan sudah mencapai 16 ribu turis per bulan.
Walau begitu, jumlahnya belum benar-benar kembali ke level semula. Sebelum pandemi merebak, Sumut sanggup mendatangkan total 258.822 turis pada 2019.
“Saat keadaan memburuk, jumlahnya anjlok drastis jadi 45.906 orang pada 2020. Titik terendah terjadi sepanjang 2021, wisatawan asing yang berkunjung hanya 237 orang. Pelonggaran aktivitas mendorong sektor pariwisata bangkit. Pada 2022, total turis asing yang datang ke Sumatera Utara tercatat 74.498 orang. Tren positif itu berlanjut pada tahun ini. Hingga Juli 2023, jumlahnya mencapai 112.408 orang,” katanya.
Meski bukan faktor tunggal, gelar prestisius yang disandang suatu destinasi berperan penting membantu pemulihan sektor pariwisata.
“Tantangan pengelola diraihnya status UNESCO Global Geopark berarti Kaldera Toba tidak hanya menarik secara fisik dan budaya, tetapi juga menjadi bagian penting secara geologis bagi dunia,” sebutnya.
Menyandang status tersebut membawa sejuta manfaat, tidak hanya bagi ekonomi lokal tapi Indonesia. “Alhasil, wajar saja jika terdapat banyak kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengelola,” pungkasnya. (cpb)