MEDAN (Waspada): Program parkir berlangganan yang dijalankan Pemerintah Kota (Pemko) Medan terus menuai sorotan. Setelah terungkapnya dugaan tidak dibayarkannya lagi gaji juru parkir (jukir), kini muncul kekhawatiran publik terhadap potensi korupsi dalam pengelolaan anggaran program tersebut.
Menanggapi hal tersebut, pihak Kejaksaan mempersilakan masyarakat atau pihak terkait untuk melaporkan secara resmi jika menemukan indikasi penyimpangan dalam pelaksanaan program itu.
“Kalau memang ada temuan dan bukti-buktinya silakan dibuat laporannya. Masyarakat bisa kirim ke kita,” kata Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan, Mochamad Ali Riza, Kamis (10/4).
Ia mengatakan, untuk menentukan sebuah temuan masuk ke ranah tindak pidana korupsi atau tidak harus dilakukan lagi penggalian informasi lebih dalam.
“Dari laporan itu bisa saja, cuma untuk menentukan apakah itu masuk ranah tipikor harus digali lagi minimal dua alat bukti. Kalau misalnya memang mengakibatkan kerugian keuangan negara, pasti kita tanya juga ke ahli auditor keuangan negara,” ujarnya.
Ia menambahkan, jika terpenuhi dua alat bukti tersebut, pihak-pihak pelapor nantinya akan dijadwalkan untuk dilakukan klarifikasi.
Sebelumnya Direktur Pusat Study Hukum dan Pembaharuan Peradilan (PUSHPA), Muslim Muis mengatakan, pengelolaan anggaran parkir berlangganan Kota Medan bisa berpotensi menimbulkan praktik korupsi.
Sebab, kondisi di lapangan memang menunjukkan bahwa sistem parkir berlangganan di Kota Medan belum diterapkan secara merata dan konsisten. Meski kendaraan sudah dilengkapi stiker parkir berlangganan resmi, masih banyak juru parkir yang meminta pembayaran secara tunai.
“Inikan menggunakan dana APBD yang mencapai puluhan miliar rupiah. Jadi kalau di lapangan pelaksanaannya ternyata bermasalah, maka program itu perlu diaudit secara menyeluruh, terutama karena pelaksanaannya di lapangan memang tidak berjalan efektif,” kata Muslim Muis, Rabu (9/4).
Menurut Muslim Muis, penggunaan dana APBD untuk program yang kemudian dikelola oleh pihak ketiga tanpa mekanisme pertanggungjawaban yang jelas berpotensi melanggar hukum.
“Jika dana dari APBD digunakan tapi tidak sampai kepada sasarannya, seperti gaji juru parkir yang tidak dibayarkan, dan tidak ada laporan pertanggungjawaban yang transparan, maka itu bisa masuk ranah pidana korupsi,” tegasnya.
Karena itu, menurut dia, keberadaan pihak ketiga atau vendor juga menimbulkan pertanyaan terkait fungsi dan tanggung jawab mereka.
“Kalau diserahkan ke pihak ketiga, seharusnya pembiayaannya juga tanggung jawab mereka. Tapi kalau negara yang tetap menanggung seluruh biaya, lalu ke mana fungsi dan keuntungan mereka,” imbuhnya.
Ia menilai, parkir berlanganan yang diterapkan Pemko Medan adalah proyek gagal dan pengelolaannya juga amburadul.
“Ada jukir yang menerapkannya, ada juga yang tak mau lagi. Ini artinya kegagalan pemerintah menerapkannya. Seharusnya, sebelum itu diterapkan perangkatnya disiapkan dulu. Ini tidak, makanya perlu ini diperiksa pengelola-pengelola parkir berlangganan itu,” sebutnya.
“Kalau proyek itu gagal, maka walikotanya juga dihukum. Karena keputusan walikota itu yang menyebabkan terjadinya kerugian keuangan negara. Karena apa, proyek yang dianggarkan itu tidak jalan,” sambungnya.
Ia menyebutkan, masyarakat menjadi korban dari sistem parkir berlangganan yang tidak jelas pengelolaannya. Karena itu ia menegaskan, secara hukum sebenarnya sudah ada celah untuk mempidanakan para pihak yang terlibat penerapan parkir berlangganan.(m32).
Ilustrasi