Milenial Memilih Masih Melajang? Ini Tinjauannya Dari Sisi Psikologi

  • Bagikan
Milenial Memilih Masih Melajang? Ini Tinjauannya Dari Sisi Psikologi
Gambar sampul


Pernikahan dapat diartikan sebagai ikatan resmi dan suci antara dua insan, laki-laki dan
perempuan, yang terikat dalam komitmen dan tanggung jawab untuk membangun kehidup
bersama. Bagi banyak orang, menikah adalah pencapaian hidup yang penting dan membahagiakan.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fenomena menarik terjadi di Indonesia, yaitu penurunan angka pernikahan. Hal ini memicu pertanyaan, apakah ini menandakan tren baru di mana anak muda memilih untuk menunda pernikahan atau bahkan memutuskan untuk tetap melajang?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi tren penurunan angka pernikahan
di Indonesia selama 10 tahun terakhir dan terjadi penurunan yang drastis dalam tiga tahun
terakhir.

Milenial Memilih Masih Melajang? Ini Tinjauannya Dari Sisi Psikologi


Statistik Indonesia tahun 2024 mencatat bahwa jumlah pernikahan menurun dari
1.742.049 pada 2021 menjadi 1.577.255 pada 2023, dengan penurunan yang signifikan juga
terlihat di tahun 2022. Menurut Universitas Airlangga (Unair), penelitian menunjukkan bahwa
dalam satu dekade terakhir, angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan sebesar
28,63%. Berdasarkan data BKKBN, usia ideal untuk menikah adalah 21 tahun bagi perempuan
dan 25 tahun bagi laki-laki. Generasi Milenial (lahir 1981-1996) dan Z (lahir 1997-2012) saat ini
tampaknya cenderung menunda pernikahan, meskipun usia ideal untuk menikah sudah dimiliki
oleh generasi ini dalam 10 tahun terakhir.
Survei Populix pada tahun 2023 menunjukkan bahwa 58% generasi Milenial dan Z
memiliki rencana untuk menikah di masa depan, dengan sebagian besar menganggap usia
25-30 tahun sebagai ideal untuk menikah.

Sebagian generasi Z bahkan ingin menikah lebih
muda, yaitu antara usia 20-25 tahun, sementara sebagian Milenial lebih memilih menikah di
usia 30-35 tahun. Fenomena ini menarik untuk dikaji lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi keputusan Milenial untuk menunda pernikahan.
Faktor Eksternal

a. Globalisasi: Cohabitation
Globalisasi dan modernisasi telah memberikan dampak yang signifikan terhadap pola
pikir dan gaya hidup masyarakat Indonesia. Di Amerika Serikat, pola hidup yang menunda
pernikahan telah menjadi tren utama di mana banyak orang memilih untuk hidup bersama
tanpa ikatan resmi. Persentase orang dewasa yang memilih untuk hidup bersama tanpa
menikah terus meningkat sejak tahun 1960-an, dengan lonjakan yang lebih signifikan di akhir
1970-an. Fenomena ini sering disebut sebagai “kumpul kebo”, di mana laki-laki dan perempuan
memilih untuk tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah.
Alasan di balik tren ini dapat dipahami melalui teori psikoanalisis Eric Erickson tentang
tahap “keintiman vs isolasi”. Teori ini menunjukkan bahwa individu pada tahap ini menghadapi
konflik yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk membentuk hubungan intim yang
berkomitmen jangka panjang. Bagi generasi milenial, kumpul kebo menjadi pilihan menarik
karena memungkinkan mereka untuk memenuhi kebutuhan akan kedekatan dan keintiman
tanpa harus menghadapi tanggung jawab yang biasanya terkait dengan pernikahan, seperti
urusan finansial atau komitmen keluarga.

Oleh karena itu, fenomena kumpul kebo semakin
populer di kalangan generasi milenial yang mencari bentuk hubungan yang lebih fleksibel sesuai
dengan dinamika zaman modern yang terus berubah.

Milenial Memilih Masih Melajang? Ini Tinjauannya Dari Sisi Psikologi


b. Menurunnya Pentingnya Pernikahan
Perubahan dalam struktur keluarga terutama terkait dengan menurunnya urgensi untuk
menikah dapat dijelaskan melalui efek sekularisasi dan individualisasi. Sekularisasi, yang
mengacu pada penolakan terhadap norma-norma keagamaan dalam kehidupan budaya, telah
mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap pernikahan. Di samping itu, perkembangan
teknologi yang pesat turut memperkuat individualisasi, di mana individu lebih cenderung fokus pada kebutuhan dan keinginan pribadi daripada kewajiban sosial tradisional seperti menikah.
Teori perubahan sosial, seperti yang dikemukakan oleh Karl Max, menjelaskan bahwa
perubahan dalam budaya sosial, seperti pernikahan, dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk interaksi sosial. Pengaruh budaya Barat yang menggambarkan pernikahan bukan lagi sebagai tujuan utama hidup telah meresap ke dalam masyarakat Indonesia melalui teknologi dan media sosial.

Hal ini menjelaskan mengapa banyak milenial cenderung menunda pernikahan, karena
makna dan urgensi pernikahan telah mengalami pergeseran kepentingan dalam sosial budaya.


c. Keamanan Finansial Dalam Pernikahan
Keamanan finansial telah mengalami pergeseran yang signifikan dalam pandangan untuk
pernikahan. Jika sebelumnya meraih keamanan finansial menjadi motivasi utama untuk
menikah, sekarang banyak orang enggan menikah karena kurangnya kestabilan ekonomi.
Penelitian menunjukkan bahwa orang dengan pendidikan dan pendapatan yang lebih rendah
cenderung merasa bahwa untuk menjadi pasangan yang baik dalam pernikahan, seseorang
harus mampu secara finansial mendukung keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan
untuk menunda pernikahan tidak semata-mata karena mereka tidak ingin menikah, tetapi lebih
karena mereka meragukan kemampuan mereka atau calon pasangan mereka untuk memenuhi
standar ekonomi yang mereka terapkan. Perubahan ini juga mencerminkan pandangan sosial
yang berkembang dalam masyarakat, Semakin banyak individu yang fokus pada peningkatan
kualitas hidup yang kemudian berkorelasi dengan penurunan jumlah pernikahan.


Teori pertukaran sosial juga dapat menjelaskan pandangan ekonomi terhadap hubungan
percintaan. Teori ini menyatakan bahwa manusia cenderung menginginkan hubungan
berdasarkan keuntungan dan pengorbanan yang didapatkan, termasuk dalam konteks ekonomi.
Pertimbangan mengenai kesiapan finansial sebelum menikah menjadi faktor yang penting
dalam proses pengambilan keputusan, karena individu harus mempertimbangkan pengorbanan
yang mungkin mereka hadapi serta manfaat yang mereka harapkan dari menjalin hubungan
pernikahan.


Faktor internal
a. Trauma Perceraian
Kasus perceraian di Indonesia meningkat signifikan dari 291.677 kasus pada 2020 menjadi 447.743 kasus pada 2021 menurut BPS. Perceraian sering dianggap sebagai solusi terakhir bagi pernikahan yang tidak harmonis, dengan dampak besar terutama bagi anak-anak.
Kemungkinan anak tersebut akan mengalami trauma yang mempengaruhi pandangan mereka
terhadap cinta dan pernikahan di masa dewasa.
Teori psikoanalisis Sigmund Freud menunjukkan bahwa trauma perceraian dapat menyebabkan individu menekan perasaan mereka ke alam bawah sadar, mempengaruhi kehidupan emosional dan relasional mereka. Trauma ini juga dapat mengganggu perkembangan emosional anak-anak, memunculkan ketakutan dan kecemasan tentang hubungan romantis di masa depan, serta kesulitan membangun kepercayaan dan memahami batasan dalam hubungan.

Freud juga menjelaskan bahwa trauma perceraian bisa membuat individu mengembangkan mekanisme pertahanan diri, seperti mengidealkan pernikahan tanpa realisme atau menghindari komitmen sepenuhnya.
Dukungan yang diberikan kepada anak-anak yang terdampak perceraian sangat penting untuk pemulihan emosional mereka dan membangun hubungan yang sehat di masa depan.
Memahami dampak psikologis dari trauma perceraian membantu pemahaman mengapa
sebagian orang mungkin menunda pernikahan dan mampu memberikan waktu untuk pulih dari
luka emosional sebelum membuat komitmen serius.
b. Keinginan Untuk Hidup Bebas
Banyak orang menunda pernikahan karena keinginan untuk menjalani hidup secara
bebas. Mereka melihat masa lajang sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri, mengejar
karir, dan menemukan identitas. Beberapa merasa bahwa tanggung jawab pernikahan bisa
menghalangi pencapaian tujuan ini.

Menurut Hurlock pada tahun 2002 Keputusan menunda pernikahan sering dipengaruhi oleh dorongan untuk naik pangkat di karir dan meningkatkan kualitas hidup. Orang percaya bahwa hidup sendiri memberikan kebebasan untuk
mengeksplorasi diri tanpa harus mempertimbangkan tanggung jawab pernikahan.
Banyak yang merasa pernikahan akan membatasi kebebasan mereka karena harus mempertimbangkan pasangan dalam setiap keputusan sehari-hari dan bertanggung jawab
dalam rumah tangga.

Orang yang menghargai independensi sering memilih untuk menunda pernikahan sampai mereka merasa siap secara emosional dan finansial, serta yakin pasangan mereka akan mendukung kebebasan pribadi mereka.
Di sisi lain, Berdasarkan Personal Construct Theory (PCT) oleh George Alexander Kelly (1955), ada yang melihat pernikahan sebagai ikatan untuk berbagi pengalaman hidup bersama pasangan.

Keputusan menunda pernikahan sering didasarkan pada kesiapan emosional dan finansial serta pandangan unik masing-masing individu tentang pernikahan.
c. Narsistik
Fenomena narsistik dapat memotivasi seseorang untuk menunda pernikahan. Penelitian
Mahfuzhatillah tahun 2018 menunjukkan bahwa orang sering merasa layak mendapatkan
pasangan tampan, setia, dan mapan secara finansial karena mereka cantik dan setia. Mereka
percaya pasangan yang mapan akan menciptakan keluarga bahagia dan stabil secara ekonomi.
Namun, orang narsistik sering memiliki standar tinggi dan ekspektasi tidak realistis terhadap
pasangan yang menyebabkan sulit menemukan yang cocok. Mereka fokus pada diri sendiri,
ambisi pribadi, dan memiliki komitmen rendah dalam hubungan, sehingga cenderung menunda
pernikahan demi kesuksesan pribadi.
Orang narsistik sering juga kurang siap secara emosional untuk berkomitmen dalam
pernikahan. Ciri-ciri gangguan kepribadian narsistik, seperti keinginan untuk dikagumi, kurang
empati, dan sensitivitas terhadap kritik, membuat mereka khawatir akan kehilangan kebebasan
pribadi atau menghadapi tanggung jawab emosional dalam hubungan serius. secara
keseluruhan, narsistik menjadi alasan utama penundaan pernikahan karena standar tinggi
terhadap pasangan, fokus pada pencapaian pribadi, kurangnya kesiapan emosional, keinginan
untuk kestabilan finansial dan pengaruh pengalaman masa lalu.
d. Fokus Mengembangkan Karir
Pekerjaan sering kali menjadi prioritas utama sebelum menikah dalam kehidupan
modern. Persaingan di pasar kerja mendorong individu untuk fokus pada pengembangan karir
dan pencapaian pribadi sebelum memasuki komitmen pernikahan yang mengikat. Masa dewasa awal adalah periode krusial di mana seseorang harus menyesuaikan diri dengan persiapan karir dan pernikahan secara bersamaan. Pengeluaran finansial yang tinggi mendorong banyak orang untuk menunda pernikahan setelah menyelesaikan studi ataupun menggapai karir mereka, demi mencapai stabilitas finansial dan kesuksesan pribadi sebelum memasuki fase kehidupan keluarga.
Teori kognitif sosial Albert Bandura yaitu Determinisme reciprokal menekankan bahwa
lingkungan tidak hanya mempengaruhi perilaku individu, tetapi perilaku individu juga dapat
mempengaruhi lingkungan dan faktor internal lainnya. Dalam konteks ini, persaingan di pasar
kerja adalah bagian dari lingkungan yang mempengaruhi individu untuk menjadikan pekerjaan sebagai prioritas utama sebelum menikah. Persaingan ini mendorong individu untuk fokus pada pengembangan karir dan pencapaian pribadi, karena lingkungan kerja menuntut mereka untuk mencapai tingkat kesuksesan tertentu sebelum memasuki komitmen pernikahan yang lebih mengikat.
Kesimpulan
Fenomena menunda pernikahan memiliki kompleksitas yang diakibatkan oleh berbagai
faktor yang saling berkaitan. Mengetahui faktor-faktor ini dapat membantu kita memahami pola
pikir dan perilaku generasi milenial dalam hal pernikahan. Namun, perlu diingat bahwa
pernikahan merupakan pilihan pribadi dan tidak ada waktu yang “tepat” untuk menikah. Setiap
individu memiliki keunikan dan prioritasnya sendiri dalam menentukan kapan mereka ingin
menikah.


Sumber
Abivian, M. (2015). Teori Psikoanalisis Sigmund Freud. www.academia.edu.
https://www.academia.edu/11313170/Teori_Psikoanalisis_Sigmund_Freud
Abivian, M. (2015b). Teori Kepribadian Personal Konstruk George Kelly. www.academia.edu.
https://www.academia.edu/12957908/Teori_Kepribadian_Personal_Konstruk_George_K
elly
Badan Pusat Statistik. (2024). Statistik Indonesia 2024 (Vol. 52). Badan Pusat Statistik.
Bumpass, L. L. (1994). The Declining Significance of Marriage.
http://books.google.ie/books?id=dC5tHQAACAAJ&dq=The+Declining+Significance+of+Marriage:+Changing+Family+Life+in+the+United+States&hl=&cd=1&source=gbs_api
Fathia, R. A. (2021).

Tinjauan Yuridis Terhadap Perilaku Kumpul Kebo (Samen Leven) Menurut RUU KUHP. Equivalent, 3(2), 128–138. https://doi.org/10.46799/jequi.v3i2.46
Feist, Jess; Handriatno; Feist, Gregory J.. (2010). Teori kepribadian = Theories of personality /
Jess Feist, Gregory J. Feist ; penerjemah, Handriatno. Jakarta :: Salemba Humanika,.
Goa, L. (2017).

PERUBAHAN SOSIAL DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT. Sapa, 2(2), 53–67.
https://doi.org/10.53544/sapa.v2i2.40
Kustiawan, W., Taufiqurrohman, A., Syafii, A., Zainina, A., Taminta, N. L., Jannah, N. M., &
Imelda, P. (2022). Teori Pertukaran Sosial. JUTKEL: JURNAL TELEKOMUNIKASI, KENDALI
DAN LISTRIK, 3(1).
Mahfuzhatillah, K. F. (2018, December 6). STUDI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
MENUNDA MENIKAH PADA WANITA DEWASA AWAL. Mahfuzhatillah | ITTIHAD.
https://ejournalittihad.alittihadiyahsumut.or.id/index.php/ittihad/article/view/31
Nugroho, A. (2023, March 2).

58% Milenial dan Gen Z Ogah Nikah Muda, Karir Jadi Alasan Utamanya. The Finance.
https://thefinance.co.id/lifestyle/58-milenial-dan-gen-z-ogah-nikah-muda-karir-jadi-alasan-utamanya/
Pachoer, R. D. A. (2016).

Sekularisasi dan Sekularisme Agama. DOAJ (DOAJ: Directory of Open Access Journals), 1(1), 91–102. https://doi.org/10.15575/rjsalb.v1i1.1372
Populix. (2023). Indonesian gen z & millennial marriage planning & wedding preparation.
https://info.populix.co/reports/2023-02-marriage-planning-and-wedding-preparation
Puspita, I. N. I. (2024, March 15).

Guru Besar UNAIR Tanggapi Turunnya Angka Pernikahan di Indonesia. Universitas Airlangga. Retrieved June 24, 2024, from
https://unair.ac.id/guru-besar-unair-tanggapi-angka-pernikahan-di-indonesia-yang-sema
kin-menurun/Sari, D. P. (2021).

Gangguan Kepribadian Narsistik dan Implikasinya Terhadap Kesehatan Mental.In Islamic Counseling: Jurnal Bimbingan Dan Konseling Islam: Vol. Vol. 5 (Issue No. 1, pp.93–114). https://doi.org/10.29240/jbk.v5i1.2633
Taylor, P. (2010). The Decline of Marriage and Rise of New Families.
https://eric.ed.gov/?id=ED575476
Yanuardianto, E. (2019). Teori Kognitif Sosial Albert Bandura. In Jurnal Auladuna (Vol. 01, Issue
02).


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *