MEDAN (Waspada): Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) terus menggaungkan restorative justice/keadilan restoratif bagi pencari keadilan. Teranyar, Kejatisu mencatat telah menghentikan penuntutan 72 perkara melalui mekanisme kekeluargaan lewat keadilan restoratif sepanjang Januari hingga Juni 2022.
“Hingga akhir Juni ini sudah 72 kasus yang kita hentikan lewat restorative justice,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejatisu, Yos A Tarigan kepada Waspada, Minggu (26/6).
Yos menguraikan, puluhan penuntutan yang dihentikan atas permohonan cabang kejaksaan negeri di wilayah Kejatisu, dengan jenis perkara bervariasi diantaranya kasus pencurian, penganiayaan, hingga kekerasan dalam rumah tangga.
“Kejadiannya atau faktanya itu, rata-rata kekerasan dalam rumah tangga, pencurian dalam keluarga. Misalnya antara ayah dan anak. Atau istri dan anak,”jelasnya.
Dalam penegakan restorative justice, kata dia, yang diharapkan pimpinan maupun institusi Kejaksaan RI, bukanlah semata-mata melihat kuantitas atau jumlah perkaranya yang menjadi tujuan utama.
“Melainkan adalah kualitas dan manfaat positif dari penghentian penuntutan tersebut, sebagaimana dalam Peraturan jaksa Agung (Perja) No 15 tahun 2020 yang menjadi pedoman restorative justice,” ucapnya.
“Yang paling penting bahwa dalam penerapan restoratve justice ada pemulihan keadaan seperti semula sebelum tindak pidana ini terjadi. Kemudian antara korban dan pelaku ada perdamaian dan tidak lagi ada rasa dendam,” sambungnya.
Ia menyebutkan, sebagaimana pesan Jampidum Kejagung RI, untuk menghadirkan keadilan di tengah masyarakat, maka perlu kiranya dibuatkan ruang atau tempat penyelesaian masalah dengan konsep perdamaian melalui musyawarah mufakat sebelum perkaranya masuk ke ranah penegak hukum.
“Tempat penyelesaian masalah itu menurut adalah rumah restorative justice yang diharapkan bisa menjadi tempat menyelesaiakan segala permasalahan di masyarakat, menggali kearifan lokal dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tempat musyawarah mufakat untuk menciptakan keharmonisan dan kedamaian dalam masyarakat,” ungkapnya.
Keadilan restoratif, kata dia, sebagaimana pernah disampaikan Jaksa Agung RI ST Burhanuddin, menjadi salah satu alternatif penyelesaian perkara pidana.
“Hal yang menjadi pembeda dari penyelesaian perkara ini adalah adanya pemulihan keadaan kembali pada keadaan sebelum terjadinya tindak pidana, sehingga melalui konsep penyelesaian keadilan restoratif ini maka kehidupan harmonis di lingkungan masyarakat dapat pulih kembali,” pungkasnya. (m32).