Kebijakan Larang Ekspor CPO Hantam Dunia Hingga Pemilik Sawit

  • Bagikan

MEDAN (Waspada): Anggota DPRD Sumatera Utara (Sumut), Sugianto Makmur, berpendapat kebijakan melarang ekspor crude palm oil (CPO) yang akan diberlakukan 28 April 2022 bakal menghantam dunia sawit dari luar negeri sampai rakyat pemilik sawit.

Harga CPO semakin melonjak di luar negeri sementara di dalam negeri tandan buah sawit jatuh ke titik nadir dan sebagian sudah ditolak pabrik sehingga mulai dibiarkan membusuk di atas pohon.

Hal ini diutarakan Sugianto Makmur kepada wartawan di Medan, Selasa (26/4), menyikapi larangan ekspor CPO yang diumumkan Presiden Jokowi di Jakarta, Senin (25/4).

Sugianto menyesalkan, sesudah melewati bulan-bulan penuh drama tentang minyak goreng (migor), menurut anggota Komisi B ini sepertinya, pemerintah belum mengerti akar permasalahan. Migor naik ketika harga internasional CPO naik tinggi. Itu adalah wajar.

“Rumus ekonomi adalah modal + keuntungan sama dengan harga jual. Supaya tidak timbul gejolak di masyarakat, pemerintah berusaha supaya minyak goreng tetap dijual di harga Rp.14.000/liter,” katanya.

Lalu migor kemasan dibuatkan HET nya dan selisih harga ditanggung oleh pemerintah dengan dana yang dikumpulkan lewat bea keluar dan pajak ekspor.

Dana ini dikumpulkan di lembaga bernama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Di akhir Februari, subsidi tidak lagi ditanggung pemerintah, tetapi Harga Eceran Tertinggi (HET) masih diberlakukan. “Di sinilah timbul masalah,” ujarnya.

Harga CPO yang sudah Rp 19.000-20.000/kg pada saat itu, sambung Sugianto, mengakibatkan harga keekonomian migor mencapai Rp. 22.000-24.000/liter.

Pabrikan dipaksa menanggung kerugian Rp.8000-10.000/liter. Untuk pabrikan sedang dengan kapasitas 3000 ton, maka paling sedikit mereka menanggung kerugian Rp 25-30 miliar yang berarti dua bulan kerugian sama dengan nilai pabriknya.

“Pada saat itu diberlakukan bersamaan DPO dan DMO. DPO adalah HET sedangkan DMO adalah keharusan menjual 20% dari kapasitas produksi. Misalnya, pabrikan memproduksi 1000 ton, maka sesudah menjual 200 ton di dalam negeri maka diberikan Persetujuan ekspor oleh Kemendag sebesar 800 ton,” katanya.

Akibatnya, timbul masalah di pabrikan yang tidak melakukan ekspor sama sekali. Pabrikan semacam ini tetap diberlakukan keharusan menjual dengan harga HET. “Pabrikan semacam ini langsung tutup produksi karena tidak tahan menahan kerugian. Di Sumut saja, di awal Maret sudah 3 pabrikan migor yang tutup total,” terang Sugianto.

Kemudian Kemendag merevisi kebijakannya. Hanya migor curah yang dikenakan HET. Minyak goreng kemasan dilepas sesuai harga keekonomian dan harga pasar.

Migor tidak lagi langka tetapi harga minyak goreng kemasan menjadi mahal tetapi untuk masyarakat yang perlu migor curah mendapat harga yang rendah.

Mungkin dalam distribusi masih ada di sana sini yang bermasalah, tinggal kontrol di satgas pangan di daerah masing-masing.

“Menurut saya, keadaaan sudah cukup terkontrol dan sudah cukup baik. Keluhan masyarakat pun sudah mulai mereda. Tiba-tiba, pemerintah mengumumkan bahwa mulai 28 April 2022, tidak boleh lagi ekspor CPO dan produk turunannya. Saya mengerti masalah apa yang terjadi. Uang untuk subsidi sudah tidak ada. Uang subsidi sudah tersedot ke program B30 biosolar. Program non faedah yang hanya untuk memuaskan Kementerian ESDM ini dipaksakan untuk dikerjakan,” kata Sugianto.

Menurut Sugianto, dengan harga CPO saat ini yang mencapai Rp 21.000/kg, maka harga keekonomian satu liter solar dari CPO adalah Rp.25.000/liter (dengan asumsi satu ton CPO menghasilkan 875 liter solar ditambah ongkos produksi dan biaya lainnya).

Berarti setiap liter solar yang dijual Rp.5150 menimbulkan subsidi sebesar Rp. 19.850/liternya. Sementara harga minyak bumi USD 80/barrel, berarti satu liter minyak bumi adalah setara Rp 7.000/liter.

Dengan harga seperti itu, mungkin harga keekonomian solar tanpa campuran biosolar hanyalah Rp 8000. Bila harga minyak mentah USD 100/barrel, harga keekonomian adalah sekitar Rp 10.000/liter.

Di hitungan inilah kunci permasalahannya. Dana di BPDPKS dipakai untuk subsidi biosolar. Untuk subsidi hampir Rp. 20.000/liter, maka dengan sekejab mata saja, uang triliunan akan habis tersedot.

Subsidi Solar

Tahun lalu, solar subsidi sebesar 15,5 juta kilo liter. Ini setara dengan 15.5 miliar liter. Dengan program B30, 30%nya berasal dari minyak sawit, berarti 4,65 milyar liter yang setara dengan subsidi Rp. 93.000.000.000.000 (sembilan puluh tiga triliun rupiah) hanya untuk subsidi solar.

“Kalau kita bicara tentang subsidi migor curah. Kebutuhan sebulan sekitar 200 juta liter per bulan. Harga keekonomian Rp.19.000-20.000/liter. HET ditetapkan Rp. 14.000/liter,” katanya.

Berarti subsidi yang dibutuhkan hanya Rp. 5000-6000/liter. Sebulan kita butuh dana subsidi 1 triliun rupiah. Setahun hanya butuh 12 triliun rupiah.

“Itu setara dengan APBD satu provinsi. Oleh karena itu, sangat tidak masuk akal, kebijakan melarang ekspor CPO. Tahun 2021 kita melakukan ekspor CPO 27 juta ton, setara dengan nilai pasar sekarang (dibandingkan dengan data 2020 dan 2021), Rp 630 triliun,” kata Sugianto.

Dari nilai ekspor tersebut, sambung Sugianto, kita bisa mendapatkan bea keluar dan pajak ekspornya sekitar USD 200 dan USD 375 per ton, maka kita bisa mengumpulkan dana sebesar USD 15.5 milyar setara dengan 217 triliun Rupiah.

“Seandainya pengelolaan ekspor CPO ini dikelola dengan baik, bukankah uangnya cukup untuk semuanya,?” tanyanya.

“Katakanlah pemerintah ‘membeli’ migor dari pabrik dengan harga keekonomian sebesar 20% dari kapasitas produksi, tentu tidak ada masalah gonjang ganjing seperti ini. Tentu untuk menghemat uang, kita hentikan dulu program B30 biosolar kita. Bukan saja pajak ekspor dan bea keluar tetapi pajak penghasilan badan dan pribadi dari beredarnya uang dari buah sawit sampai menjadi CPO dan produk turunannya bisa mendatangkan puluhan triliun rupiah lagi. Saya berharap pemerintah dapat mengambil keputusan yang tepat. Masalah tidak serumit yang kita bayangkan,” tandasnya. (cpb)

  • Bagikan