MEDAN (Waspada): Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (Dinkes Sumut) mencatat selama Tahun 2022, tercatat total kasus campak positif di Sumut mencapai 126 kasus.
Provinsi Sumut juga telah melaporkan banyaknya kasus penyakit campak yang mana beberapa kabupaten/ kota telah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB).
“Campak atau disebut juga rubeola disebabkan oleh virus. Untuk Tahun 2022 tercatat sebanyak 126 kasus. Tapi Tahun 2023 datanya belum masuk, ” kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, Alwi Mujahid pada Senin (23/1).
Alwi menyebutkan Kota Medan paling tinggi ditemukan positif penyakit campak yakni mencapai 66 kasus disusul Deliserdang 44 kasus, Batubara 8 kasus. Kemudian Serdangbedagai, Langkat dan Sibolga masing-masing 6 kasus.
Selanjutnya Tebingtinggi 4 kasus positif. Tapanuli Tengah dan Kota Binjai masing-masing 3 kasus. Labuhanbatu Utara dan Simalungun masing-masing 2 kasus. Kemudian Labuhanbatu, Nias, Samosir, Padanglawas dan Kota Gunung Sitoli masing-masing 1 kasus.
“Untuk gejalanya ditandai dengan ruam kulit di seluruh tubuh dan gejala seperti flu, demam, batuk, sulit menelan. Penyakit ini paling sering terjadi pada anak-anak dan bisa berakibat fatal, ” jelasnya.
Menurutnya seseorang rentan terkena penyakit campak bila belum mendapatkan vaksinasi campak. Campak merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus dari keluarga paramyxovirus.
“Meski angka kematiannya kecil, namun penyakit ini cepat menular. Penularan umumnya terjadi melalui percikan liur yang dikeluarkan orang yang terinfeksi saat ia bersin dan batuk, ” terangnya.
Alwi mengakui cakupan vaksinasi campak di Sumut memang rendah hanya 72 persen saja dari target 95 persen. Padahal campak hanya bisa dicegah dengan vaksin MR yakni kombinasi vaksin campak (measles) dan rubella.
“Makanya anak anak harus diimunisasi vaksin MS. Karena imunisasinya tidak mencapai target makanya kasusnya tinggi. Padahal campak hanya bisa dicegah dengan vaksin. Tapi banyak orangtua enggan membawa anaknya vaksinasi, mereka gak mau anaknya disuntik, ” terangnya.
Alwi, juga menyebutkan bahwa beberapa kabupaten kota juga sudah KLB malu menyatakan daerah mereka KLB campak. Padahal dengan adanya pernyataan KLB, maka ada penanganan khusus sehingga penyebaran campak bisa cepat diatasi.
“Kalau tidak mau menyatakan KLB, gak ada fasilitas untuk itu. Jadi bisa terjadi penyebaran yang tidak diharapkan. Kita harap tiap daerah jangan enggan menyatakan KLB. Jangan malu mengakui itu padahal kasusnya ada. Kriteria KLB itu kalau ada minimal 2 kasus. Tapi pernyataan KLB dilakukan oleh pemerintah setempat,” tandasnya. (cbud)