Indonesia Penghasil CPO, Minyak Goreng Mahal Dan Langka

  • Bagikan

MEDAN (Waspada): Meski Pemerintah sudah menetapkan satu harga untuk komoditas minyak goreng, namun kebijakan itu justru menimbulkan masalah baru, yakni langkanya minyak goreng di pasaran.

Sebaliknya, meski pasokan masih ada, namun pasar tradisional hingga warung justru belum mendapatkan minyak goreng bersubsidi untuk dijual kembali. Akibatnya, harga minyak goreng tetap mahal di pasaran.

Melihat kondisi langkanya minyak goreng dan harganya yang mahal di pasaran, Waspada TV Medan Club (WMC) membahas hal ini dengan 2 orang legislator, yakni Zeira Salim Ritonga SE, politisi PKB Sumut yang juga Ketua Fraksi Nusantara DPRD Sumut dan Dr Sutarto, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumut dan Sekretaris DPD PDI Perjuangan Sumut, Rabu (16/2) di Medan Club.

Dipandu M Ikhyar Velayati Harahap yang akrab disapa Bung Kesper, host Waspada TV, Zeira Salim mengatakan ada beberapa penyebab harga minyak goreng meningkat.

Pertama, peningkatan harga CPO. Meski Indonesia merupakan penghasil sawit terbesar dunia, namun harga ditentukan oleh mekanisme pasar dunia. Sehingga apabila terjadi kenaikan harga CPO internasional, maka harga dalam negeri akan ikut meningkat.

Kedua, jumlah permintaan yang meningkat akibat pemulihan ekonomi di Indonesia dan negara-negara lain. Sementara dari sisi produksi tidak dapat mengikuti kecepatan dari permintaan tersebut. Produksi minyak sawit relatif stagnan karena berbagai faktor seperti cuaca, keterbatasan pupuk dan tenaga kerja.

Akibatnya, ujar Zeira, berlaku hukum pasar, ketika permintaan tinggi sementara produksi terbatas, harga akan naik dan mahal. Meski pemerintah menetapkan HET (harga eceran tertinggi), harga di pasaran tetap tidak bisa dikendalikan.

“Pengawasan dari pemerintah lemah, operasi pasar juga minim, pengusaha-pengusaha tidak terawasi sehingga tidak diketahui apakah ada penimbunan. Di kondisi seperti ini, banyak mafia yang mengambil keuntungan. Produsen dan pedagang bisa mempermainkan harga,” ujarnya.

Zeira menilai, pemerintah tidak siap mengantisipasi dampak kenaikan harga CPO di pasar dunia, agar harga minyak goreng di pasar lokal tetap stabil.

Intervensi pemerintah melakukan penetapan satu harga juga kurang efektif, karena tidak disertai dengan pengawasan yang ketat, utamanya di daerah-daerah. Sebab dengan kebijakan itu, minyak goreng malah langka di pasaran. Meski produk masih ada, tapi harganya di atas HET.

Kenaikan harga minyak goreng dan CPO ini, lanjut Zeira, tidak berbanding lurus pada petani sawit. Petani kurang menikmati kenaikan harga CPO, disebabkan tingginya biaya yang dikeluarkan petani untuk perawatan. Harga pupuk sangat mahal dan situasi saat ini sedang masa trek.

Pengawasan Lemah dan Spekulan


Sementara, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumut, Dr Sutarto mengatakan, pemerintah sebenarnya telah mengatur regulasi tata niaga minyak goreng dari hulu hingga hilir. Pemerintah juga telah melakukan intervensi pasar dengan mengeluarkan kebijakan satu harga.

Persoalan yang terjadi saat Ini kenapa minyak goreng langka dan jikapun ada harganya mahal, pertama karena pengawasan yang lemah baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Yang kedua, sebut Sutarto, adanya spekulan yang diduga sengaja melakukan penimbunan minyak goreng agar dapat mempermainkan harga.

“Pemerintah harusnya mewaspadai dan mengantisipasi munculnya spekulan-spekulan ini disaat terjadinya lonjakan harga CPO. Karena mereka inilah yang bermain di pasar,” ujarnya.

Menurut Sutarto, minyak goreng sebenarnya masih tetap ada di pasaran, tetapi dengan merk dan kualitas premium yang harganya jauh diatas harga minyak goreng yang biasa dikonsumsi masyarakat dan pelaku UMKM.

Sedangkan minyak goreng yang biasa dikonsumsi masyarakat yang diatur pemerintah satu harga, barangnya langka. Meskipun pasokan masih ada, namun pasar tradisional hingga warung tidak mendapatkan minyak goreng bersubsidi untuk dijual kembali.

“Dalam kondisi seperti ini, harusnya pemerintah rutin melakukan operasi pasar. Pemerintah juga harus berani mendrop minyak goreng bersubsidi ke pasar untuk bisa menstabilasi harga,” ungkapnya.

Pemerintah, lanjutnya, selain harus mewaspadai spekulan, juga harus mencegah terjadinya oligarki dalam tata niaga minyak goreng, karena hal itu akan semakin menyengsarakan rakyat yang sudah terpuruk akibat pandemi covid-19.

Pada perbincangan ini, baik Sutarto maupun Zeira Salim sama-sama menyatakan perlunya dilakukan investigasi oleh institusi berwenang maupun masyarakat, apa penyebab sebenarnya langkanya minyak goreng dan tingginya harga.

“Ini perlu di investigasi, kenapa minyak goreng langka padahal kita produsen CPO terbesar dunia. Harganya dipasaran kenapa tetap mahal, padahal pemerintah sudah menetapkan satu harga. Sangat mungkin ini karena ulah spekulan yang menimbun barang untuk mempermainkan harga,” ujar Sutarto yang diamini Zeira.

PDI Perjuangan, ujar Sutarto, atas instruksi Ketua Umum Megawati Soekarno Putri, berupaya meringankan beban masyarakat utamanya pelaku UMKM dalam mendapatkan minyak goreng dengan menggelar kegiatan bansos. “Pada 9 Februari kemarin, PDIP telah menyalurkan 10 ribu kg minyak goreng dan 10 ribu kg gula pasir untuk pelaku UMKM di Medan. Hal yang sama sebelumnya juga dilakukan di Tanjungbalai,” sebut Sutarto. Kemudian, lanjutnya, pada 18 Februari 2022, bansos juga dilakukan di Pematang Siantar serta di Dairi.

“Program bansos yang dilakukan PDIP ini memang tidaklah bisa mengatasi persoalan yang sebenarnya karena sangat terbatas. Ini kami lakukan untuk meringankan beban masyarakat sekaligus untuk menyentil pemerintah agar segera mencari solusi untuk mengatasi kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng ini,” tegas Sutarto.

Dana BPDPKS Sebagai Solusi


Politikus PKB, Zeira Salim juga mengatakan bahwa persoalan kelangkaan minyak goreng ini juga menjadi konsern Ketum PKB Muhaimin Iskandar.

Zeira mengatakan PKB juga memiliki program bansos untuk meringankan beban masyarakat melalui pembeeian bantuan sembako, termasuk minyak goreng.

“Tapi inikan program yang hanya sesaat dan sangat terbatas. Solusi mengatasi persoalan ini haruslah dari pemerintah. Pemerintah harus melakukan intervensi pasar secara besar-besaran dan mengetatkan pengawasan tata niaganya,” ujar Zeira.

Ia menyebutkan, jika subsidi satu harga minyak goreng anggarannya terbatas, pemerintah sebenarnya bisa menggunakan dana kutipan CPO yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Menurut Zeira, kutipan CPO oleh BPDPKS yang dihimpun dari pelaku usaha perkebunan atau lebih dikenal dengan CPO Supporting Fund (CSF) sejak tahun 2015, jumlahnya sangat besar.

Dana kutipan CPO yang dikelola BPDPKS ini, diluar pajak ekspor CPO maupun PPN perdagangan CPO. Saat ini, sebut Zeira, ada sekitar Rp60 triliun dana kutipan CPO di BPDPKS yang menganggur karena belum digunakan sebagai pendukung program pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan dalam bentuk program promosi, pengembangan usaha, penelitian, reflanting dan lainnya.

“Kita minta pemerintah gunakan saja dana itu untuk mengintervensi pasar agar harga minyak goreng bisa stabil kembali. Itu bisa jadi solusi. Sebab, selama ini dana kutipan CPO itu juga tidak terlalu dirasakan petani manfaatnya,” pungkas Zeira.

Untuk lebih jelas bagaimana jalannya diskusi dan pendapat-pendapat yang diutarakan dua politisi dari PKB dan PDI Perjuangan ini terkait kelangkaan minyak goreng, tonton Channel YouTube Waspada TV dalam acara Waspada TV Medan Club. (WaspadaTV)

Teks foto

Zeira Salim Ritonga SE (kanan), politisi PKB Sumut yang juga Ketua Fraksi Nusantara DPRD Sumut dan Dr Sutarto (kiri) anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumut dan Sekretaris DPD PDI Perjuangan Sumut, pada acara bersama Waspada TV Medan Club (WMC), Rabu (16/2) di Medan Club. Waspada/ist

  • Bagikan