MEDAN (Waspada): Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Pengurus Daerah Sumatera Utara, Destanul Aulia, menegaskan bahwa Female Genital Mutilation (FGM) atau sunat perempuan tidak memberikan manfaat kesehatan yang signifikan bagi perempuan. Sebaliknya, tindakan tersebut justru dapat menimbulkan dampak kesehatan yang negatif, seperti infeksi, pendarahan, dan komplikasi serius, terutama jika dilakukan dengan praktik yang tidak steril.
Menurut Destanul, FGM sering kali dipaksakan kepada perempuan, sehingga menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Ia menekankan pentingnya peningkatan edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya FGM, dengan melibatkan berbagai pendekatan, termasuk peran tokoh agama. “Ada sebagian yang membenarkan, tetapi ada juga yang mengatakan tidak ada kewajiban dalam agama. Maka, tokoh agama perlu berperan aktif dalam memberikan pemahaman yang benar terkait hal ini,” ujarnya.
Dari sisi tenaga kesehatan, Destanul menekankan pentingnya pemahaman terhadap regulasi yang ada. “WHO sudah jelas tidak merekomendasikan FGM. Oleh karena itu, perlu adanya perencanaan dalam aktivitas promosi kesehatan dan penguatan regulasi agar FGM tidak menjadi polemik di masyarakat,” tambahnya.
Destanul juga menyoroti pentingnya perlindungan masyarakat dari praktik-praktik tidak sehat seperti FGM. Menurutnya, edukasi dan regulasi yang kuat diperlukan untuk memastikan bahwa masyarakat dapat terlindungi dari tindakan yang berisiko dan tidak bermanfaat ini.
“Ilmu pengetahuan terus berkembang melalui kajian-kajian yang akhirnya menyimpulkan bahwa FGM tidak memberikan manfaat medis yang signifikan. Bahkan, jika praktik ini tidak dilakukan sesuai dengan SOP klinik, hal ini justru dapat membahayakan kesehatan pasien atau masyarakat,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Sumatera Utara, Benny Satria, menyambut baik ketentuan dalam regulasi terbaru yang memberikan perlindungan bagi perempuan terkait praktik sunat perempuan.
Dari perspektif medis, Benny menegaskan bahwa aturan tersebut penting untuk menjaga kesehatan organ reproduksi perempuan dan melindungi mereka dari risiko yang dapat terjadi akibat praktik sunat yang tidak higienis.
Benny menjelaskan bahwa selama ini, polemik mengenai sunat perempuan muncul akibat jaminan kepastian hukum, baik yang melarang maupun yang mengizinkan praktik tersebut.
“Dengan adanya pasal 102 huruf a, kini telah ada kepastian dan perlindungan bagi perempuan, sehingga mereka tidak lagi menjadi korban praktik yang tidak bertanggung jawab,” ujar Benny.
Ia juga menyoroti masalah higienitas dalam pelaksanaan sunat perempuan. Menurut Benny, praktik yang tidak dilakukan oleh tenaga medis atau kesehatan sering menyebabkan kali cedera serius, bahkan hingga pemotongan klitoris, yang seharusnya tidak terjadi.
“Sunat perempuan seharusnya hanya berupa goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris itu sendiri. Namun, jika dilakukan tanpa higienitas yang baik dan oleh orang yang tidak berkompeten, hal ini menjadi tindakan yang sangat tidak manusiawi dan melewati hak reproduksi perempuan, ” jelasnya.
Benny menekankan pentingnya penerapan regulasi yang jelas dan pengawasan ketat untuk memastikan bahwa perempuan terlindungi dari praktik-praktik yang tidak aman dan tidak sehat. Dengan demikian, kesehatan reproduksi perempuan dapat terjaga, dan hak-hak mereka terlindungi dengan lebih baik.(cbud)