Guru Besar UIN Sunan Ampel Saksi Ahli Sidang Gugatan MPTTI Terhadap MUI Sumut

  • Bagikan
Guru Besar UIN Sunan Ampel Saksi Ahli Sidang Gugatan MPTTI Terhadap MUI Sumut

MEDAN (Waspada): Guru Besar Ilmu Tasawuf Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya Prof Dr Rubaidi, MAg menjadi saksi ahli sidang gugatan Majelis Pengkajian Tauhid Tasawuf Indonesia (MPTTI) terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara (Sumut) di Pengadilan Negeri Medan, Kamis (21/9).

Prof Rubaidi memberikan keterangan sebagai ahli terkait polemik tentang kajian Kitab Al-Insan Al-Kamil karangan ulama sufi dunia Syeikh Abdul Karim Al-Jilli, yang menjadi perbincangan kalangan ulama dan umat Islam.

Menurut Prof Rubaidi dalam mengkaji dan memahami pemikiran tasawuf tidak harus dipertentangkan dengan syariat, sebab keduanya memiliki hubungan saling melengkapi. Hubungan syariat-tasawuf ibarat jasmani-rohani yang keduanya saling melengkapi.

“Mengkaji ilmu tasawuf tidak bisa terlepas dari syariat, bahkan keduanya saling mengikat dan menguatkan, jika salah satunya dipisah, maka akan pincang, kedua dimensi ini harus sama-sama berjalan atau dijalani oleh setiap muslim,’’ sebut Prof Rubaidi.

Menurutnya, seorang muslim tidak boleh berhenti di syariat atau di tasawuf saja dalam memahami Islam. Dalam Islam juga dikenal adanya tangga atau maqamat yakni, syariat, tarekat, hakekat, makrifat atau dengan istilah lainnya yakni Islam, Iman, Ihsan, atau muslim, mukmin dan muttaqin.

“Tangga-tangga atau maqamat ini harus di lalui, jika kita berhenti di satu tangga saja, maka kecenderungan akan menjadi orang paling taqwa, paling beribadah, paling suci, dan seterusnya, dalam pandangan tasawuf orang yang demikian ini berada dalam syirik ghofi yang tanpa disadarinya,’’ kata Prof Rubaidi.

Prof Rubaidi menyebut kedua bidang kajian syariat dan tasawuf memiliki objek maupun metode yang berbeda dalam memahami pokok yang sama yakni Allah dalam hubungannya dengan manusia, karena objek dan metode yang berbeda, maka secara logis dan ilmiah akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda.

Jika kita mampu memahami logika ini, maka antara satu dengan lainnya tidak akan saling menyalahkan, bahkan seharusnya antara satu dan lainnya saling melengkapi bahkan menyempurnakan.

Dalam pandangan Prof Rubaidi bahwa kita diumpamakan dihadapkan pada pertanyaan, apa hakekat manusia? dan bagaimana hakekat Allah? Allah punya sifat wujud, bagaimana wujud Allah?. Dalam menjawab ketiga pertanyaan tersebut, tergantung sudut pandang atau perspektif yang kita pakai.

Jika kita menjawab dengan sudut pandang syariat, maka kita akan temukan jawabannya bahwa manusia itu mahluk Allah yang secara fisik berbentuk seperti ini, bagaimana hakekat dan wujud Allah seperti dalam salah satu sifat yang 20 itu, maka jawaban syariat bahwa Allah tidak bisa dibayangkan. Padahal dalam banyak ayat-ayat Al-Qur’an kita diingatkan, afa ta’kilun, afala tatafakkarun, afala ta’lamun, afala tadabbarun dan seterusnya.

“Jawaban-jawaban terhadap ketiga pertanyaan diatas tidak akan didapati, lebih-lebih memuaskan apabila dijawab hanya menggunakan perspektif syariat saja, bagi orang yang benar-benar mencari hakekat Allah, memahami hakekat manusia, seretus persen tidak terpuaskan oleh jawaban melalui syariat, mengapa? Karena dimensi syariat hanya terbatas menjawab hal-hal yang bersifat lahiriyah, karena keterbatasan inilah ilmu tasawuf yang dapat melengkapi sekaligus menyempurnakan atas jawaban yang dimaksud,’’ ujar Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya ini.

Lebih jauh dijelaskan Prof Rubaidi, bahwa ketiga pertanyaan diatas melalui disiplin ilmu tasawuf dapat dijawab. Dalam kitab Al-Insan Al-Kamil karangan Syeikh Abdul Karim Al-Jilli dijelaskan hakekat Allah ada pada diri Muhammad, seperti yang disampaikan Abuya Amran Waly yang menukil pernyataan Al-Jilli tentang “Muhammad adalah Allah” dan “Kul Huwa allah al-Ahad” maka ditafsirkan Al-Jilli “Katakan oleh mu wahai Muhammad, dianya engkau (Muhammad) adalah Allah.

“Dari penjelasan atau tafsir yang akhirnya menimbulkan kontroversi , Abuya sebenarnya secara panjang lebar telah menjelaskan tentang tafsir tersebut secara hakekat, bahwa yang dimaksud Muhammad adalah Allah itu bukan secara jasad (ta’yin) yaitu alam makhluk, melainkan secara hakekat atau tafsir isyari, sampai disini penjelasan Abuya Amran sudah di salah difahami bahkan di sesatkan,’’ tegasnya.

Lebih jauh dijelaskan Prof Rubaidi bahwa Al-Jili menggunakan konsep yang disebut tajalli (penampakan). Dalam Hadits Qudsi Allah lewat Rasullullah bersabda “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam AS atas (seperti) bentuk-Nya”.

Selain itu terdapat hadits lain yang sangat mashur dimana Nabi bersabda “Barang siapa yang mengetahui dirinya, maka ia akan mengetahui Tuhannya”. Begitu juga dalam surah Al-Baqarah ayat 115 “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah, sesungguhnya, Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui’.

“Dengan konsep tajalli, Al-Jilli ingin menjelaskan hakekat Allah sebanar-benarnya kepada umat Islam, bahwa Allah secara hakekat atau hakekat Allah tidak lain dan tidak bukan adalah Muhammad itu sendiri atau bahkan manusia. Manusia bukan pada fisik (jasad) melainkan pada aspek asma, sifat dan af’al Allah, karenanya manusia sesungguhnya bentuk dari tajalliyat (penampakan) Allah dari sisi asma, sifat maupun af’al. Seluruh sifat-sifat Allah yang 20 jika dicermati ada pada manusia, contoh Allah Maha Melihat, maka manusia diberi mata, Allah Maha Mendengar, manusia diberi telinga, Allah Maha Lembut, maka manusia diberi perasaan, Allah Maha Mengetahui, maka manusia diberi akal, Allah Maha Bijaksana,maka manusia diberi qolbu (hati nurani) dan seterusnya,’’ tuturnya.

Prof Rubaidi juga mengatakan, hakekat Allah ada pada diri Muhammad atau manusia terdapat pada af’al. Allah yang tidak kasat mata, seluruh af’al-Nya yang melakukan manusia. La Khaula wa la Quata Illa Billah (tiada daya dan upaya kecuali milik Allah). Bagi orang-orang yang berada pada maqam iman, lebih-lebih Ihsan, maka keyakinan mereka, apapun gerak geriknya di gerakan oleh Allah. Dengan kata lain, seluruh gerak (af’al) tidak lain adalah af’al Allah dalam diri manusia.

“Penjelasan diatas juga ada pada asma’ Allah, lafal Allah sendiri masih berupa sebutan (asma’). Allah masih memiliki sebutan lainnya sebanyak 99 yang sering disebut asam’ al-Husna. Di sisi lain sebutan yang merujuk kepada Allah adalah Huwa bahkan Hu, secara hakikat adalah merujuk kepada Tuhan, apapun yang kita sebut yang mencakup berbagai asma’ yang meliputi alam semesta (dimana manusia menjadi bagian didalamnya) sesungguhnya adalah asma’ Tuhan atau Allah,’’ tuturnya.

Dibagian akhir pendapat Prof Rubaidi menjelaskan sebagai ahli, bahwa tafsir syariat dan tasawuf tidak seharusnya dipertentangkan satu dengan lainnya, apalagi hingga menyesatkan. Masing-masing memiliki metode sendiri-sendiri atau kajian sendiri yang berbeda satu dengan lainnya. Maka tasawuf lebih menjelaskan dimensi batin, esoterik atau tersirat. Syariat sebaliknya melihat lewat dimensi yang tersurat, lahiriyah dan eksoterik.

“Penjelasan tasawuf dapat dipastikan memperkuat bagian lain yang tidak dapat dijangkau oleh syariat, karena itu penjelasan ilmu tasawuf menyempurnakan terhadap penjelasan syariat, maka dari itu keduanya tidak boleh dipertentangkan, karena saling memperkuat atau menyempurnakan,’’ ucapnya.

Prof Rubaidi juga menyebtu, bahwa para penggiat tasawuf telah melewati fase atau tangga (maqamat) syariat, sementara sebaliknya maqam syariat belum melewati tangga tarekat, hakekat terlebih lagi makrifat. Jika demikian halnya bagaimana syariat dapat menyalahkan, bahkan menghukumi maqamat yang lebih tinggi dari itu?.

“Bukankah seharusnya maqamat atau tangga itu merupakan tahapan yang harus di lalui setiap umat Islam, agar kita lebih mengetahui dan semakin dekat dengan Allah lewat pengamalan tasawuf ini,’’ jelasnya.

Dibagian akhir Prof Rubaidi berharap agar perdebatan atau polemik ini dihentikan dengan semangat ukhwah Islamiyyah lewat dialog yang lebih bersahabat.

“Kita berharap perdebatan ini diakhiri dengan semangat persatuan dan ukhwah Islamiyyah, sebab Abuya Amran Waly Al-Kholidi pribadi ulama yang sejuk, tawadhu dan memiliki pengetahuan yang mumpuni bagi kemaslahatan umat, bangsa dan negara ini,” harapnya.

Sidang gugatan ini dilanjutkan pada masa dua minggu mendatang dengan menghadirkan saksi-saksi dari pihak tergugat.(m29)

Waspada/Ist
Guru Besar Ilmu Tasawuf Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya Prof Dr Rubaidi, MAg (kiri) menjadi saksi ahli sidang gugatan Majelis Pengkajian Tauhid Tasawuf Indonesia (MPTTI) terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara (Sumut) di Pengadilan Negeri Medan, Kamis (21/9).


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Guru Besar UIN Sunan Ampel Saksi Ahli Sidang Gugatan MPTTI Terhadap MUI Sumut

Guru Besar UIN Sunan Ampel Saksi Ahli Sidang Gugatan MPTTI Terhadap MUI Sumut

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *