MEDAN (Waspada): Organisasi Kemahasiswaan yang tergabung di dalam Cipayung Plus Sumatera Utara, terdiri atas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Alwashliyah (HIMMAH), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), menggelar kegiatan dialog publik pada Jum’at, (10 -11-23), di Kantong Toba Coffee, Medan.
Kegiatan Dialog Publik tersebut bertemakan tentang Putusan MK dan Dinasti Politik ala Demokrasi. Diisi oleh dua orang narasumber, Dr. Faisal Riza M.A sebagai akademisi, dan Drs. Shohibul Anshor M.Si sebagai pengamat politik. Kegiatan dihadiri oleh ratusan mahasiswa yang mewakili organisasinya masing-masing.
Dalam narasinya, Dr. Faisal Riza mengungkapkan bahwa sebuah kepantasan menjadi hal kunci dalam kepemimpinan nasional.
“Gibran Rakabuming Raka hadir sebagai anak muda yang tidak otentik. Bagaimana seorang pemimpin nasional, sekelas wakil presiden nantinya ketika ditanya jawabnya hanya, ya tanya rakyat saja. Beda dengan kelompok Cipayung Plus yang memang dikader dari bawah, dan dipersiapkan untuk jadi pemimpin. Jangan sampai Indonesia emas 2045 berubah menjadi Indonesia lemas 2045,” ujar Dr Faisal Riza.
Senada dengan Faisal Riza, Shohibul Anshor yang seorang dosen dan pengamat politik juga menjelaskan bahwa keutuhan demokrasi harus dijaga dan demokrasi jangan dipermainkan.
“Banyak contoh negarawan-negarawan dunia yang rela meninggalkan jabatannya untuk menjaga keutuhan demokrasi di negaranya. Hari ini, presiden mau coba-coba dalam melakukan praktek dinasti politik, ” ujar Shohibul Anshor.
Dalam sambutannya, Ketua Umum IMM, Arifuddin Bone menyebutkan bahwa kegiatan dialog ini bertujuan untuk memberikan insight agar mahasiswa paham terlebih dahulu, setelah itu baru melakukan pergerakan.
“Pembahasan mengenai putusan MK dan dinasti politik ini sangat panas isunya di kalangan elit. Cuma sangat jarang sekali kita mendengar ada kelompok-kelompok yang berani menentang itu. Cipayung Plus Sumatera Utara sebagai organisasi kemahasiswaan harus selalu siap di garda terdepan dalam menjaga keutuhan demokrasi di negara ini,” ujar Arif.
Abdul Rahman, Ketua HMI SUMUT menyatakan bahwa kegiatan dialog ini bertujuan untuk membuka pikiran kita tentang kondisi negara saat ini.
“Negara kita sedang tidak baik-baik saja akhir-akhir ini. Banyak sekali isu berseliweran, tapi mahasiswa belum begitu serius menanggapinya. Perlu dilakukan kajian secara lebih mendalam, bagaimana kita bisa menjaga demokrasi di negara Indonesia tetap utuh,” tutur Abdul Rahman.

Narasumber menyampaikan paparannya dalam acara dialog publik yang digelar Organisasi Kemahasiswaan yang tergabung di dalam Cipayung Plus Sumatera Utara, terdiri atas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Alwashliyah (HIMMAH), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), pada Jum’at, (10 -11-23), di Kantong Toba Coffee, Medan. Waspada/ist
Syarat Kepentingan
Ketua PMII Sumut, Muhammad Tarmizi menjelaskan bahwa putusan MK syarat akan kepentingan.
“Sangat disayangkan Gibran hadir melalui proses yang tidak alamiah. Seharusnya bisa lebih sabar dan bisa menjadi stok kepemimpinan nasional di masa yang akan datang,” ucap Tarmizi.
Kamaluddin meminta dengan tegas agar Anwar Usman mundur dari posisi dia sebagai hakim MK.
“Putusan MKMK sebenarnya kita apresiasi. Ini dalam wujud mengembalikan marwah mahkamah konstitusi kembali membaik. Tapi sangat disayangkan, seharusnya Anwar Usman mundur dari posisi dia sebagai hakim. Dengan tegas kami serukan agar Anwar Usman bersedia untuk mundur dan melepaskan dirinya sebagai hakim MK, ” ujar Kamaluddin.
Wira Putra, Ketua Umum KAMMI Sumut menegaskan jika Presiden Joko Widodo masih tetap ngotot memajukan putranya sebagai presiden, alangkah baiknya Joko Widodo mundur dari jabatannya sebagai presiden.
“Pak Presiden Joko Widodo, mundur saja dari kursi presiden jika Gibran tetap maju sebagai cawapres. Tidak ada orang tua yang tidak mau memperjuangkan anaknya. Saya khawatir, dengan praktik politik sayang anak ini menjadikan Presiden Joko Widodo malah menggunakan perangkat negara untuk memenangkan anaknya. Kita mahasiswa meyakini modernitas membuka peluang aktivis, rakyat jelata mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin di republik ini. Itulah yang disebut demokrasi,” tutup Wira. (cpb)