Fakta Sidang Terungkap UU Perbankan

  • Bagikan

MEDAN (Waspada): Kuasa hukum terdakwa kasus korupsi Bank BRI Kabanjahe, Hartanta Sembiring, menilai jaksa yang melakukan penyelidikan terhadap kliennya James Tarigan, terlalu sembrono menetapkan perkara ini masuk dalam kategori korupsi, padahal fakta di sidang yang terungkap tak lebih hanya sebatas Undang-undang (UU) Perbankan.

Sebab, menurutnya, sesuai keterangan saksi ahli yang mereka hadirkan pada persidangan lanjutan Kamis (6/1) kemarin di PN Medan, saksi ahli pidana dari USU Dr Mahmud Mulyadi SH MHum mengungkapkan, perkara ini semestinya menerapkan asas hukum Lex specialis derogat legi generali. 

Yakni asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).

“Di mana undang-undang khusus itu menyampingkan undang-undang yang umum, maka terhadap perkara ini, harusnya masuknya ke ranah perbankan dulu diutamakan,  baru bisa ke korupsinya. Karena memang sudah diatur tersendiri di perbankan, makanya harus ke perbankan,” kata Hartanta kepada Waspada, Sabtu, (8/1).

Ia juga menyampaikan, saksi ahli perdata perbankan Dr Fauzi dari UMSU sudah menyatakan, Bank BRI merupakan perusahaan perseroan bersifat terbuka atau Tbk, maka sebelum melakukan audit kerugian keuangan negara, maka harus dikumpulkan harta-harta dari perusahaan tersebut.

“Harusnya dikumpulkan dulu harta-hartanya baru bisa ditentukan kerugian negaranya berapa dan dan masuk ke mana kerugiannya,” sebutnya.

Kemudian, kata dia, sesuai keterangan auditor Sudirman, untuk melakukan audit perhitungan kerugian keuangan negara,  audit yang harus dilakukan adalah audit investigasi.

“Bukan audit review atau sebagaimana yang dilakukan auditor yang ditunjuk oleh kejaksaan.  Hasil audit itu harus bersifat pasti tidak bisa berubah-ubah, jadi pasti berapa rill kerugian negaranya,” kata dia.

Sebab, lanjutnya, apa yang diterangkan oleh auditor yang ditunjuk jaksa pada sidang sebelumnya sangat berbeda dengan keterangan auditor yang dihadirkan pihak terdakwa.

“Ada kejanggalan, kalau auditor yang dihadirkan jaksa kan hanya review dan pekerjaannya juga tidak relevan. Misal, apa hubungannya kontrak catering dan biaya penginapan dalam persoalan ini,” ujarnya.

Ia menambahkan, berdasarkan keterangan terdakwa James Tarigan, mengaku tidak mengetahui soal pemalsuan tanda tangan dalam proses pencairan kredit di BRI Kabanjahe. “Untuk terdakwa Yoan, ia menyatakan yang melakukan pemalsuan itu sebagian besar dia dan James Tarigan tidak tahu,” ujarnya.

Kasus Kejahatan Korupsi

Sebelumnya, Hartanta juga menyampaikan, sebenarnya kasus ini tidak layak disebut kasus kejahatan korupsi. Sebab, para pihak jelas terlibat dalam  transaksi. Berarti transaksi tersebut adalah sah.

“Kalau transaksi sah, resmi, berarti tidak ada seharusnya kasus ini. Kemudian sekarang  nasabah yang terdaftar menggunakan kecurangan kredit,  tetap bisa menggunakannya. Berarti kan gak ada uang yang hilang di BRI. Dan tidak mungkin ada kerugian negara. Makanya ini lebih kepada tindak pidana perbankan,” jelasnya.

Ia menyebut, jaksa tampak begitu sembrono menyusun dakwaan. Menurutnya, jaksa tidak menjalankan pedoman penentuan untuk menetapkan seseorang jadi tersangka. 

“Inilah yang mau kita kongkritkan. Bukan asal-asalan menyusun dakwaan. Kalau mau bongkar semua, ayo kita siap bantu. Namanya surat dakwaan kan  harus teliti, cermat. Ini ada transaksi ternyata uangnya diterima, berarti kan transaksi sah. Bukan korupsi namanya, ini kejahatan perbankan,” tandasnya. 

Jaksa penuntut umum mendakwa James Tarigan, dalam perkara korupsi senilai Rp8,1 miliar terkait pemberian fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK) kepada para debitur/nasabah yang diduga fiktif di BRI Kabanjahe.

JPU Kejatisu menguraikan, terdakwa James sejak tahun 2014 sampai bulan September 2017 sebagai SPB dan bawahannya langsung Yoan Putra (berkas terpisah) sebagai petugas Administrasi Kredit (AdK) dipercayakan mengurusi fasilitas KMK kepada debitur/nasabah yang memerlukan modal tambahan untuk usaha. (m32 )

  • Bagikan