MEDAN (Waspada): Majelis Pengkajian Tauhid Tawasuf Indonesia (MPTTI) meminta kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara agar bersikap bijak dengan mengedepankan sikap arif dan bijaksana dalam melihat dan menelaah kegiatan dakwah yang di lakukan MPTTI.
Hal tersebut disampaikan Guru Besar Ilmu Tasawuf UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof Dr Rubaidi, MAg kepada wartawan, Minggu (13/8).
Prof Rubaidi menyebutkan, MPTTI didirikan oleh seorang ulama thariqoh Abuya Syeikh Haji Amran Waly Al-Kholidi sejak tahun 2004, beliau berdakwah melalui pendekatan tauhid tasawuf yang bersumber dari Tharekat Naqsabandiyah Khalidiyah dan Majelis Dzikir Ratib Seribee dengan puluhan ribu jamaah tersebar dari Aceh dan wilayah Nusantara bahkan merambah hingga mancanegara, khususnya kawasan Asean.
Pola dakwah Abuya Amran Waly Al-Kholidi mengendapkan adab, ketawadhuan, rendah hati dan berakhlakul karimah, telah menjadi teladan bagi puluhan ribu jamaah, sehingga sikap inilah yang menjadi pedoman para jamaah untuk selalu bisa dekat dan mencintai Abuya lewat kajian tauhid tasawuf, sehingga jamaah yang kerap mengikuti majelis ilmu Abuya mereka menjadi pribadi yang baik, dan taat pada aturan Allah SWT.
Namun, kata Prof Rubaidi, tantangan dakwah Abuya dalam mengembangkan dakwah lewat kajian tauhid tasawuf oleh MUI Sumatera Utara mengeluarkan rekomendasi yang isinya melarang seluruh aktifitas MPTTI lewat aparatur negara (Pemerintah). Seperti yang tertuang dalam Perkara Perdata Nomor 403/Pdt.G/2023/PN.Mdn.
MUI Sumatera Utara sebagai mitra pemerintah sekaligus pembina dakwah, selayaknya berdialog secara terbuka tentang hal yang diperdebatkan secara akademik terkait Kitab al-Insan Al-Kamil karangan ulama besar kaum sufi Syeikh Abdul Karim Al-Jilli yang oleh Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman (LPBKI ) MUI Pusat, bahwa kitab Al-Insan Al-Kamil mu’tabar atau boleh dipelajari sebagai sumber ilmu pengetahuan keIslaman.
Prof Rubaidi menyebutkan, kontribusi Abuya Amran Waly Al-Kholidi sebagai ulama tasawuf yang berasal dari bumi Serambi Mekkah (Nanggroe Aceh Darussalam) dalam membimbing umat ke jalan yang benar tidak terbantahkan. MUI Sumut silahkan cek jejak digital maupun jejak sosial Abuya dalam berdakwah, adakah yang bertentangan dengan prinsip syari’at, prinsip aqidah bahkan prinsip hukum dalam Negara Republik Indonesia.
Kegiatan dzikir dan wirit rateb seribee rutin dilakukan hampir tiap saat baik di masjid-masjid maupun di rumah jamaah. Prinsip ahlul sunnah wa aljamaah tidak pernah melenceng dari apa yang diajarkan Abuya kepada jamaah.
Pemikiran tasawuf Abuya Amran Waly Al-Kholidi sebagai ulama tasawuf sangatlah luas, Abuya bukan saja menguasai disiplin ilmu tasawuf semata, berbagai kecabangan ilmu KeIslaman lainnya, seperti Fiqh (syariat), Ushul Fiqh, ilmu Kalam, ilmu Al-Qur’an, Hadits, Nahwu, Sharaf, Balaghah, Mantiq dan sebagainya. Hasil dari belajar dengan melewati beragam tangga (maqamat) menghantarkan Abuya untuk futuh (terbuka) dan wusul kepada Allah dengan apa yang disebut sebagai ilmu laduni (makrifat).
Jadi sangat tidak elok dan elegan rasanya jika lembaga seperti MUI Sumut dengan mengatasnamakan umat lalu menghukum MPTTI “sesat” dengan merujuk pada alasan “Muhammad itu Allah” seperti tafsir Kul Huwa Allah Ahad, sehingga melarang seluruh dakwah MPTTI dengan alasan yang masih dapat diperdebatkan secara akademik, melibatkan para pakar, tokoh, pemikir dan penggiat tasawuf lainnya, sehingga menemukan titik persepsi yang sama dan tidak langsung menyesatkan, kata Prof Rubaidi.
Terkait dengan pokok diatas, maka dibawah ini diberikan beberapa alasan tentang hal yang di sampaikan MUI Sumut, dan eksepsi ini memberikan beberapa poin penting, diantaranya:
Pertama, dalam Islam dikenal adanya tingkatan (maqamat) yakni Islam, Iman dan Ihsan atau Syariat, Tarekat, Hakekat dan Makrifat, sebagai tangga atau tahapan yang harus dilewati jika ingin dapat wusul (sampai) kepada Allah dan Rasulnya. Fase ini harus dilewati secara bertahap hingga akhirnya sampai pada tingkatan Ihsan.
Kedua, untuk mencapai tahapan maqamat haruslah di bimbing para guru (Mursyid) yang telah selesai mencapai tahap akhir tangga (maqamat).
Ketiga, konsekwensi adanya tangga (maqamat), bila seseorang telah memasuki maqamat dalam keimanan, maka mereka memahami perbedaan maupun cara (tarekah) setiap maqamat, sehingga mereka lebih arif dan bijaksana dalam memahami sebuah perbedaan dengan tidak menggunakan tafsir sepihak.
Keempat, setiap ayat Al-Qur’an dan Hadits memiliki makna atau tafsir yang berbeda. Konsekwensinya tafsir menurut tingkatan Islam berbeda dengan tafsir menurut tingkatan iman, dengan pula dengan tafsir tingkatan Ihsan, tafsir menurut pandangan syariat juga berbeda menurut tafsir tingkatan tarekat, hakekat dan makrifat.
Kelima, untuk bisa mencapai tingkat yang dimaksud, maka umat Islam harus mengetahuinya, sehingga ketika ada perbedaan penafsiran harus ada pencerahan masing-masing. Jangan ditutupi bahkan dibodohi hanya adanya perbedaan dalam penafsiran.
Keenam, persoalan Muhammad itu Allah, telah dijelaskan Abuya berulang kali bahwa tafsir itu adalah tafsir isyari pada tingkatan Ihsan. Jadi jangan pula dibenturkan dengan tafsir syariat.
Ketujuh, pemikiran atau tafsir dalam sejarah panjang para ulama sufi di Nusantara telah lama terjadi diskursus yang mencerahkan, karena tafsir ini adalah tafsir hakekat yang justru kebenarannya adalah kebenaran yang hakiki atau mutlak.
Kedelapan, ajaran tasawuf adalah ajaran yang menunjukkan kita pada hakekat yang makna substansi, inti dan pokok, sebagai contoh syariat adalah kulit, sedangkan hakekat adalah daging, apakah agama hanya belajar kulitnya saja dan sampai dimana pengetahuan kita mengetahui bagian daging tersebut?
Kesembilan, sejarah panjang pemikiran para ulama sufi yang justru mengajarkan yang hakekat selalu di salah pahami. Meskipun ulama sufi di persekusi bahkan di kafirkan, mereka selalu memaafkan, karena pada diri ulama sufi tertanam sifat Allah yang rahman, rahim, rahmatan lil alamin serta berakhlakul karimah.
Kesepuluh, sebaliknya ulama syariat selalu menyerang terhadap para ulama sufi kadang dengan cara yang tak lazim.
Dan kesebelas, hendaknya ulama MUI Sumut memahami secara sungguh-sungguh tentang ajaran tasawuf sebagai ruh Al-Islam, masuklah dalam praktek dunia tasawuf yang di bimbing para Mursyid yang benar-benar memahami hakekat secara kaffah, sehingga MUI Sumut dalam melahirkan keputusan yang arif dan bijaksana terutama pada objek persoalan yang saat ini sedang menjadi perdebatan.
Abuya berharap berdasarkan penjelasan diatas, semoga menjadi bahan i’tibar dan bertabayyun mengedepankan semangat ukhwah Islamiyyah. Fatwa MUI dalam tradisi masyarak muslim di Indonesia seolah-olah sudah menjadi sebuah ketetapan hukum yang mengikat.
Umat berharap, agar kiranya institusi yang bernaung di dalamnya para ulama, intelektual Islam dan para ahlinya berperan sebagai penengah dan pengayom seluruh kepentingan umat Islam tanpa ada persepsi dan kepentingan lainnya, demikian Prof Dr Rubaidi, MAg.(m29)
Waspada/Ist
Prof Dr Rubaidi, MAg (Guru Besar Ilmu Tasawuf UIN Sunan Ampel Surabaya)