MEDAN (Waspada): Dr Alpi Sahari, SH. M.Hum (foto) Ketua Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara mengatakan bahwa pemberantasan korupsi memerlukan penguatan koordinasi dan suvervisi yang bersinergi antar institusi atau lembaga yang diberikan kewenangan.
“Penetapan tersangka terhadap salah satu pimpinan KPK atas perbuatan yang didasarkan pada bukti permulaan oleh penyidik pada Subdit Tipikor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya tentunya mempengaruhi persepsi publik yang sangat beragam atas penanganan tindak pidana korupsi terutama hubungan antara Polri dan KPK,” katanya di Medan Rabu (6/12).
Menurutnya, penguatan koordinasi dan suvervisi pemberantasan yang dihadiri langsung oleh Kapolri dan Pejabat Utama Polri di gedung KPK menunjukkan resposibilitas dan komitmen Polri yang bersandar pada profesionalitas semangat pemberantasan korupsi sebagai bentuk kerja cerdas Kapolri dan jajaran.
“Komitmen Kapolri dalam penegakan hukum dengan berlandaskan pada kebenaran bukan pembenaran tidak diragukan lagi dan telah terfaktakan dengan mengikis stigma hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah,” ujar Dr Alpi.
Dikatakan, arahan Kapolri sangat jelas agar penyidik mengedepankan profesionalitas dalam melakukan proses penegakan hukum. “Hal ini dapat saya maknai bahwa Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listiyo Sigit Prabowo, Msi dalam membawa roda organisasi Polri berstandar pada prinsip mengatakan yang benar walaupun itu pahit,” tuturnya.
Prinsip ini ujar Dr. Alpi ada di dalam pengejawatahan sikap Jenderal Hoegoeng. “Untuk itu dapat saya katakan bahwa Jenderal Polisi Drs Listyo Sigit Prawobo, MSi sebagai Hoegoeng Reborn,” sebutnya.
Dia menambahkan, hal menarik di saat pertanyaan terkait penetapan tersangka FB yang belum dilakukan penahanan maka Kapolri berpendapat bahwa “menurut” saya yang penting bagaimana kasus ini dituntaskan dan meminta masyarakat terus mengkuti prosedur yang ditempuh penyidik Polda Metro Jaya”.
Pendapat Kapolri ini, menurut Dr alpi, secara implisit dapat dimaknai mengedepankan dan menghormati indenpedensi penyidik dalam melakukan proses penegakan hukum dan memastikan transparansi dalam penanganan perkara.
Tidak dilakukannya penahanan tentunya berkolerasi dengan rangkaian “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” yang dalam perkembangan hukum terjadi “ratio legis” pemaknaan bukti yang cukup dan mengenal objek praperadilan yakni menetapan tersangka yang semula didalam ketentuan KUHAP tidak mengenal penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.
Hal ini tentunya berimplikasi dalam pelaksanaan upaya paksa berupa penangkapan dan penahanan sehingga alasan subjek sebagaimana dimaksud dalam KUHAP tidak hanya memperhatikan alasan-alasan subjektif untuk melakukan upaya paksa.
Namun juga harus memperhatikan perkembangan hukum untuk memastikan “due process model” dapat berjalan semestinya sehingga dapat menjadi pertimbangan penyidik yang belum melakukan upaya paksa berupa penahanan.
“Dapat saya kutip berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 pada halaman 98 bahwasanya menurut Mahkamah, dalam rangka memenuhi asas kepastian keadilan hukum sebagaimana diatur oleh Pasal 28D, ayat ( 1) UUD 1945 dan sesuai dengan asas lex stricta dan asas lex certa di dalam hukum pidana, frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’ dan ‘bukti yang cukup’ seperti dimaksud pasal 1 Ayat 14, Pasal 17 dan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP haruslah dijelaskan dengan setidaknya dua alat bukti yang ditentukan oleh Pasal 184 KUHAP serta dengan pemeriksaan calon tersangka, terkecuali tindak pidana penetapan tersangka tersebut, memungkinkan dilaksanakan tanpa kehadiran calon tersangka (in absentia). Artinya, untuk tindak pidana dimana tersangka dapat diketahui tanpa kehadirannya, tidak perlu mempertimbangkan pemeriksaaan calon tersangka,” katanya.(m05/A)