MEDAN (Waspada): Dr Alpi Sahari, SH. M.Hum Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara di Medan, Jumat (24/1) mengatakan, RUU KUHAP jangan mengamputasi Kewenangan penyelidikan dan penyidikan Polri.
Menurutnya, kepercayaan dan kepuasaan masyarakat terhadap Polri cukup tinggi. “Salah satu indikator Tupoksi terkait penegakan hukum yang menempatkan Polri selaku penyelidik dan indepedensi penyidik. Ini terlihat dari hasil survei Litbang Kompas yang telah mengemukakan hasil pada periode 23-31 Oktober 2023 kepuasaan masyarakat akan layanan pengaduan Polri mencapai 85, 1 % dengan indikator penerimaan pengaduan sebesar 97,7 %, tindak lanjut pengaduan mencapai 80,2 % dan penyelesaian pengaduan sebesar 78,9 %,” urainya.
Di tahun 2024, sambungnya, rilis hasil survei yang dilakukan 27 Mei- 2 Juni 2024 terkait citra lembaga negara. Hasil survei tersebut menunjukkan citra lembaga Polri berada di urutan teratas dibandingkan dengan institusi dan/atau lembaga lainnya. Citra baik Polri meningkat ke angka 73 % dibandingkan survei serupa pada Desember 2023. Efektivitas pengawasan dan kualitas SDM Polri merupakan faktor determinan tingginya kepercayaan dan kepuasan masyarakat terhadap Polri.
Dr Alpi yang hadir dan memberikan tanggapan dalam kegiatan di Badan Keahlian DPR-RI terkait urgensi dan pokok-pokok pembaharuan hukum acara pidana mengemukakan bahwa pembaharuan hukum acara pidana melalui RUU KUHAP tidak boleh menghilangkan norm penyelidikan. Karena proses penyelidikan sangat urgen dalam penegakan hukum untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana untuk dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
“RUU KUHAP jangan mengamputasi indepensi penyidik dalam melakukan rangkaian kegiatan penyidikan dengan alasan pemurnian asas deferensiasi fungsional termasuk mixx sistem crime control model dengan due process model berdasarkan the doctrine of Binding Precedent. Amputasi ini akan menjadi persoalan dalam tatanan structure of law yang disebabkan oleh content of law.”
Implikasinya, kata dia, asas sistem peradilan pidana yang cepat, berbiaya murah dan efisien tidak akan terwujud. Sinergitas yang difahami di dalam RUU KUHAP seharusnya tidak dimaknai sebagai constitutional norm dengan menempatkan jaksa selaku penuntut umum diberikan kewenangan dari tahap penerimaan laporan atau pengaduan sampai dengan perkara dilakukan penuntutan. Melainkan harus dimaknai sebagai instrument norm sesuai dengan asas “aequitas sequitur legem”.
“Sinergitas Polri dengan Jaksa sudah cukup baik selama ini sehingga sinergitas jangan dimasukkan sebagai constitutional norm dalam RUU KUHAP oleh pembentuk UU, dalam hal ini DPR RI yang menginisiasi RUU KUHAP. Constitutional norm dengan instrument norm pernah terjadi perdebatan dan saya kemukakan dalam persidangan di Mahkamah Agung pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait persidangan Peninjauan Kembali (PK) ke III terpidana Jessica Wongso atau yang familiar dikenal dengan kasus racun sianida. Saya selaku ahli yang dihadirkan oleh Polri dan Kejagung mengemukakan bahwa instrument norm berupa SEMA pernah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) dan oleh MK ditolak dengan dasar menguatkan instrument norm sebagai aturan teknis dimasing-masing lembaga sistem peradilan pidana yang tidak perlu diatur dalam constitutional norm dalam bentuk undang-undang,” katanya.
Lebih lanjut Dr. Alpi mengemukakan beberapa instrument norm yang dimasukkan di dalam RUU KUHAP untuk menjadi constitutional norm, sebagai berikut: Di dalam ketentuan umum tidak mengatur terkait penyelidikan sehingga setiap laporan atau Pengaduan langsung ke tahap penyidikan tanpa melakukan verifikasi apakah laporan atau pengaduan dimaksud sebagai tindak pidana (Polri telah mengatur instrument norm yang oleh Mahkamah Konstitusi dibenarkan terkait manajemen penanganan tindak pidana).
Di dalam Pasal 8 secara jelas dianut konsepsi dominus litis bukan deferensiasi fungsional yang seharus nya dihapus. Untuk itu di dalam Pasal 8 dilakukan perubahan bahwa dalam hal dimulai penyidikan maka penyidik dalam jangka waktu 7 hari wajib menyampaikan SPPDP ke Jaksa untuk kepentingan penututan termasuk dalam hal dilakukannya penghentian penyidikan (sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi).
Pasal 11 ayat (1) dalam jangka waktu 2 (dua) hari semenjak adanya laporan dan pengaduan maka wajib melakukan tindakan penyidikan tidak rasional dihadapkan dengan kuantitas laporan dan beban kerja penyidik.
Pasal 12 angka 8 sampai dengan angka 12 terdapat kerancuan dan dikhawatirkan terjadinya persoalan pada structure of law antara penyidik dengan penuntut umum, seharusnya dalam hal penyidik dalam jangka waktu 14 hari tidak menanggapi dalam arti tidak melakukan tindakan penyidikan maka di internal Polri adanya fungsi pengawasan sehingga Pasal 12 angka 8 sampai dengan angka 12 harus dihapus, karena hal ini berkaitan dengan instrument norm.
Pasal 13 ayat 1 bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi. Pasal 13 ayat 2 harus dihapus karena terkait indepensi penyidik dalam mencari dan mengumpukan bukti. Jaksa demi kepentingan penuntutan dengan memberikan petunjuk adalah setelah berkas perkara dikirim oleh penyidik. Apabila Pasal ini telah dipertahankan dikhawatirkan terjadi persoalan dalam praktek karena salah satu kewenangan penyidik adalah menetapkan tersangka yang merupakan perluasan objek praperadilan.
Pasal 14 huruf e bertentangan dengan asas opurtinitas dalam hukum pidana yang menitibertakan pada saat perbuatan dilakukan. Pasal 15 merupakan bentuk dominus litis bukan pemurnian defernsiasi fungsional. Untuk koreksi atas tindakan penyidik telah ada mekanisme internal termasuk praperadilan dan perluasan objek praperadilan. Pasal 43 (kewenangan penuntut umum) ayat 1 huruf a dan b menunjukkan penuntut umum dapat mengambilalih kewenangan penyidik Polri.(m05/A)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.