Scroll Untuk Membaca

Medan

“Bersih-Bersih” Gaya Bobby Nasution Dinilai Sarat Kepentingan Politik?

PENGAMAT Kebijakan Publik dan Pemerintah, Elfenda Ananda. Waspada/Ist
PENGAMAT Kebijakan Publik dan Pemerintah, Elfenda Ananda. Waspada/Ist

# Pengamat: Jangan Jadikan ASN Tumbal Kepentingan!

MEDAN (Waspada): Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) di bawah kepemimpinan Bobby Nasution, yang baru berumur sekitar dua bulan, langsung membuat gebrakan mengejutkan.

Tak tanggung-tanggung, lima kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dicopot dari jabatannya dalam waktu singkat. Namun, publik dikejutkan dengan tidak adanya penjelasan yang transparan dari pemerintah provinsi mengenai alasan di balik pencopotan tersebut.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

“Bersih-Bersih” Gaya Bobby Nasution Dinilai Sarat Kepentingan Politik?

IKLAN

Satu-satunya informasi yang muncul adalah soal pencopotan Kepala Dinas Perindag dan ESDM, Mulyadi Simatupang, yang disebut-sebut karena alasan pencemaran nama baik. Namun hingga kini, tak ada penjelasan detail mengenai bentuk pencemaran nama baik yang dimaksud. Langkah ini pun menimbulkan berbagai spekulasi di masyarakat dan kalangan pemerhati kebijakan publik.

Menurut pengamat kebijakan pemerintah Sumut, Elfenda Ananda, pencopotan lima pejabat tersebut seharusnya menjadi perhatian serius, karena mencerminkan adanya praktik yang bisa jadi tak sejalan dengan prinsip good governance dalam pengelolaan pemerintahan.

“Kalau memang ini adalah bagian dari strategi untuk meningkatkan kinerja pemerintahan, tentu harus disampaikan secara terbuka dan transparan. Jangan sampai masyarakat menilai ini sebagai bentuk ‘pembersihan’ karena alasan politis atau loyalitas semata,” ujar Elfanda dalam keterangannya kepada Waspada pada Selasa (22/4).

Langkah Berani atau Manuver Politik?


Banyak pihak menduga, pencopotan para pejabat ini adalah bagian dari upaya Bobby Nasution untuk “menata” ulang struktur birokrasi demi mengamankan posisi orang-orang yang bisa mendukung visi-misi politiknya. Sebagai gubernur baru, tentu ia ingin bekerja dengan tim yang dianggap sejalan dengannya. Namun pertanyaannya: apakah proses tersebut sudah berjalan sesuai aturan?

“Bersih-bersih birokrasi bukan hal yang salah. Justru itu bisa jadi langkah positif jika dilakukan secara profesional dan sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Tapi jika pencopotan dilakukan karena rasa tidak suka atau karena mereka dianggap tidak loyal secara politik, itu berbahaya. ASN bukan alat politik,” tambah Elfanda.

Kekhawatiran Akan Polarisasi di Tubuh Birokrasi


Pencopotan lima kepala dinas ini juga memunculkan kekhawatiran akan munculnya polarisasi di internal Pemprov Sumut. Apalagi, dalam konteks pemilihan kepala daerah secara langsung, tarik-menarik dukungan antara pasangan calon (paslon) memang sering terjadi. Walaupun ASN secara regulasi dilarang terlibat dalam politik praktis, kenyataannya dukung-mendukung diam-diam sudah menjadi rahasia umum.

Bagi ASN yang secara diam-diam memberikan dukungan kepada calon yang akhirnya menang, tentu akan mendapat keuntungan politik tersendiri. Namun sebaliknya, bagi yang mendukung paslon yang kalah, besar kemungkinan akan menjadi korban rotasi atau pencopotan jabatan.

“Di sinilah pentingnya menjaga netralitas ASN. Kalau pejabat yang kalah secara politik harus tersingkir, maka semangat profesionalisme dalam birokrasi akan hancur. Ini berbahaya untuk jalannya roda pemerintahan,” tegas Elfanda.

Mekanisme Harus Tegas dan Konsisten

Elfanda menekankan, sebagai kepala daerah, Bobby Nasution harus memahami bahwa pencopotan dan pengangkatan pejabat tinggi pratama tidak bisa dilakukan secara serampangan. Ada sistem dan prosedur yang harus dijalankan untuk memastikan organisasi berjalan solid dan profesional.

“Setiap pejabat yang dicopot harus tahu apa alasan pencopotan itu. Harus ada indikator yang jelas, seperti evaluasi kinerja, capaian program, atau pelanggaran etika dan hukum. Jangan sampai ini menjadi preseden buruk, di mana jabatan bisa dipertaruhkan hanya karena hubungan pribadi atau kepentingan politik,” katanya.

Ia juga menambahkan bahwa Gubernur Sumut harus menciptakan birokrasi yang solid, tidak terkotak-kotak berdasarkan siapa yang ‘orang dalam’ atau bukan.

“Birokrasi harus menjadi satu kesatuan. Jangan dibiarkan jadi ladang konflik akibat kepentingan politik. Kalau itu terjadi, maka pelayanan publik yang akan jadi korban. Masyarakat akan dirugikan,” ujar Elfanda.

Langkah awal Bobby Nasution sebagai Gubernur Sumut kini sedang menjadi sorotan. Publik menanti apakah gebrakan ini akan membawa perubahan nyata dalam tata kelola pemerintahan, atau hanya menjadi manuver awal untuk membangun basis kekuasaan pribadi.

Elfanda mengingatkan, sebagai pejabat publik, Bobby harus menunjukkan bahwa dirinya adalah pemimpin yang patuh terhadap sistem dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi birokratis.

“Gubernur harus mampu menjadi pemimpin bagi semua. Bukan hanya untuk pendukungnya, tapi untuk seluruh rakyat Sumatera Utara. Kalau itu bisa dijaga, maka dia bisa meninggalkan legacy positif. Tapi kalau tidak, maka kepemimpinannya bisa terjebak dalam konflik internal dan ketidakpercayaan publik,” tutup Elfanda. (cbud)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE