MEDAN (Waspada): Medan meraih Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hasil audit BPK-RI tahun anggaran 2023 Pemko Medan meraih predikat WTP hasil audit BPK RI tahun anggaran 2023 di tengah banyaknya persoalan proyek anggaran di tahun 2023, menjadi tanda tanya bagi publik.
Hal tersebut dikatakan Pengamat Anggaran Sumatera Utara Elpanda Ananda (foto) kepada Waspada, pada Kamis (23/5) di Medan kepada Waspada.
Sebutnya, pada tahun anggaran 2023 mencuat berbagai persoalan yang muncul antara lain kasus Lampu Pocong, dengan anggaran sebesar Rp.27,5 milyar.
Selain itu, ada kasus jalan Sudirman jalan berkeramik dengan anggaran sebesar Rp.1,7 Milyar dan rubuhnya proyek bangunan di kantor kejaksaan Medan yang menelan anggaran sebesar Rp.2,4 milyar dan proyek lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
“Dari kasus Lampu Pocong saja sebenarnya ada pernyataan perwakilan BPK RI yang ada di Medan bahwa laporan kasus proyek gagal Lampu Pocong diserahkan ke Kejari Medan.
Masyarakat tidak tahu apa kelanjutan dari pernyataan tersebut. “Sebab, ada keterlibatan BPK melakukan audit proyek tersebut’ sehingga memperoleh kesimpulan proyek gagal,” ungkapnya.
Elpanda Ananda juga menyatakan selain itu, ada pengembalian uang proyek lampu pocong dari pihak rekanan ke Pemko Medan yang dipublikasikan secara luas di berbagai media.
Dari pernyataan perwakilan BPK RI yang dikutip dari media ini sebenarnya membuat publik bertanya tanya hubungan dengan hasil WTP yang diperoleh Pemko Medan dengan fakta-fakta persoalan yang ada terhadap berbagai kasus Pembangunan yang ada di Kota Medan.
Skeptis
ecara umum, publik tahu bahwa audit yang dilakukan oleh BPK RI ini lebih ke administratif dan bukan investigatif. Publik juga tahu di banyak persidangan kasus kasus hukum (teranyar kasus Menteri Pertanian SYL) dimana ada oknum auiditor Rp.12 Milyar supaya Kementerian Pertanian meraih predikat WTP.
“Berkaca dari kasus ini tentunya publik menjadi skeptis terhadap predikat WTP ini karena adanya oknum yang melakukan hal ini,’ ujarnya.
Selain itu, ada juga daerah penerima predikat WTP berkali- kali kepala daerahnya menjadi tersangka. Dengan kata lain, daerah penerima predikat WTP tidak bisa membanggakan diri daerah tersebut bersih dari praktik korupsi. Penilaian tersebut lebih kepada penilaian administratib tertib laporan keuangan dan kesesuaian bukti adminstrasinya.
Ia menegaskan idealnya predikat WTP tersebut harusnya diikuti oleh meningkatnya kesejahteraan masyarakat, sebab, yang jadi target sasaran Pembangunan adalah Masyarakat karena uang yang diperoleh bersumber dari Masyarakat lewat pajak daerah dan retrebusi daerah serta bagi hasil pajak dan lain lainnya.
Hal ini harusnya bisa dirasakan oleh masyarakat Kota Medan kaitannya dengan predikat WTP yang diberikan. Bukan sekedar melaporkan adminitrasi keuangan baik saja, tetapi harus diikuti dari seberapa besar uang dikelola dan bermanfaat bagi Masyarakat.
“Kita tahu bahwa model Pembangunan kota Medan lebih banyak prosesnya top down ketimbang bottom up. Proses Pembangunan yang ditentukan oleh elit dan bukan berdasarkan usulan dari bawah. Bisa kita lihat dari berbagai proyek yang bermasalah tersebut misalnya lampu pocong yang kalau ditelusuri munculnya ide tersebut dari siapa dan banyak dikeritik warga medan dan berbagai ahli tata kota. Dari sisi manfaat, dari sisi estetika serta teknis lainnya menjadi bahan kritik warga kota Medan,” tegasnya lagi.
Evaluasi Proyek
Selain itu, dari sisi evaluasi proyek ucapnya kenapa bisa uang kas daerah sudah keluar sebesar Rp.21 milyar baru ketahuan proyek gagal. Dan hebatnya tidak ada yang bersalah dalam hal pengawasan serta kerugian negara.
Hanya pengembalian uang saja yang dipublikasikan secara luas, aspek disiplin dan hukuman bagi dinas bersangkutan tidak ada dipublikasikan. Padahal proyek ini sudah disimpulkan proyek gagal.
Selain itu, ada proyek persimpangan jalan Sudirman yang berkeramik juga dipertanyakan public karena sudah menimbulkan kecelakaan pengguna jalan.
Menjadi pertanyaan, kebutuhan proyek ini usulan siapa, atau ada dari pihak mana. Selain itu apakah Pembangunan jalan berkeramik ini sudah ada kajian teknis, kalau sudah kenapa bisa mencelakai pengguna jalan.
Setelah publik ribut, baru jalan itu ditutup lalu dievaluasi. Harusnya, kalau sudah ada kajian teknis tentunya hal ini tidak akan terjadi model Pembangunan yang penting cantik namun manfaat dan kesematan pengguna jalan terabaikan.
Untuk proyek Pembangunan dikantor kejaksaan yang rubuh, tidak diketahui proyek ini usulan dari mana padahal pihak Kejari anggarannya ada tersendiri dari APBN.
Tentunya ini juga menjadi pertanyaan publik karena yang dibangun ini adalah institusi penegak hukum. Tidak ada sanksi bagi kontraktor pelaksana pekerjaan tersebut atas kinerja yang dilakukan.
Persolan ini senyap-senyap saja seolah tidak ada persoalan siapa kontraktornya dan kenapa tidak ada hukuman terhadap kualitas pekerjaan yang sedemikian rupa.
Aneh memang persoalan yang demikian ini tetap tidak menjadi masalah dalam laporan audit BPK RI.
Harus Peduli
Sebagai institusi penerima hasil audit BPK RI yakni DPRD Medan, harusnya harus mempelajari hasil audit dan sekaligus bisa merekomendasikan audit investigatif terhadap berbagai persoalan di atas.
Sebab, hasil audit bukan sesuatu yang sacral tidak bisa punya celah atau kelemahan.
Sebab, banyak kasus yang terjadi para oknum auditor yang juga memanfaatkan fungsi mereka untuk kepentingan pribadi.
Diharapkan DPRD Kota Medan yang katanya mewakili rakyat harusnya peduli terhadap uang rakyat.
Bukan kemudian ikut berkolaborasi mengamini hasil audit dan ikut berbangga dengan predikat WTP tersebut. Yang paling penting rakyat yang diwakili lebih Sejahtera dengan predikat tersebut.
Sebagai catatan, masyarakat Kota Medan merindukan para legislator yang kritis dan membela kepentingan rakyat. Jarang sekali ada pernyataan lantang dari para legislator yang mengkoreksi kebijakan pemko Medan terhadap berbagai persoalan Pembangunan yang timbul belakangan ini.
“Para wakil rakyat seolah kehilangan fungsi pengawasan yang diberikan secara konstitusional oleh Undang undang. Mereka lebih asik dengan aktivitasnya sendiri melakukan berbagai kunjungan kerja kesana kemari. Disatu sisi, banyak permasalahan Pembangunan dan kebijakan yang dibuat Pemko Medan perlu dikritisi,” kata Elpanda.
Ditambahkannya, bahwa dari sisi budgeting, para legislator seolah kehilangan haknya untuk memperjuangkan anggaran untuk kepentingan rakyat lewat berbagai usulan dari rakyat.
Banyak anggaran Pembangunan yang dilakukan justeru mendapat gugatan salah satunya gugatan hukum oleh Masyarakat seperti kasus revitalisasi Lapangan Merdeka, namun tetap anggarannya yang bersumber dari APBD tetap disetujui dalam Perda APBD.
Penghapusan aset atas lapangan Merdeka juga tidak menjadi perhatian walaupun ada yang belum pernah dimanfaatkan misalnya penyebrangan sky cross. Inilah gambaran fungsi hak budgeting oleh legislator yang tidak dimanfaatkan oleh DPRD Medan.
Padahal, dokumen LHP BPK RI yang menetapkan predikat WTP setiap tahunnya diperoleh oleh DPRD Medan. Harusnya ini menjadi pembelajaran, apa bila dianggap belum sesuai dengan fakta dilapangan agar DPRD meminta audit khusus yakni investigatif.(cbud/h01)
Teks
Pengamat Anggaran Sumatera Utara Elpanda Ananda. Waspada/ist
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.