Banyak Kerusakan, Pembangunan Overpass Rp 67 Miliar Dipertanyakan

  • Bagikan
Banyak Kerusakan, Pembangunan Overpass Rp 67 Miliar Dipertanyakan

MEDAN (Waspada): Pengamat Kebijakan Publik dan Pemerintah, Elfenda Ananda, menyayangkan kondisi Overpass Jalan Stasiun Kereta Api Medan yang baru diresmikan oleh Wali Kota Medan Bobby Nasution, sudah ada yang mengalami kerusakan seperti beberapa bagian retak atau amblas. Bahkan proyek pemko Medan yang berbiaya sebesar Rp 67 Miliar menjadi viral dengan pemandangan banjir dibagian bawah overpass dan seputaran lapangan Merdeka yang sedang dalam pengerjaan revitalisasi.

“Krusakan tersebut terjadi pada bagian ACP yang terlihat setelah hujan deras pada malam tahun baru kemarin. Dari sisi konstruksi kualitas pembangunan overpass patut dipertanyakan karena tidak handal dalam mutu. Selain itu, peran pengawasan dari dinas terkait tidak berjalan secara baik, untuk memastikan bahwa bangunan tersebut telah layak untuk dipergunakan sesuai dengan apa yang telah direncanakan,” ujarnya dihubungi Waspada, Kamis (16/1).

Dikatakan Elfenda, idealnya pembangunan yang dilaksanakan harus mendapat pengawasan ketat dari berbagai aspek tekni dan non teknis. Berbagai tahapan pekerjaan tentunya tidak begitu lolos termasuk pencairan keuangan setiap tahapan sampai dengan serah terima proyek.

“Walaupun, dari berbagai informasi yang viral saat malam tahun baru kerusakan disebabakan karena ACP tersebut dinaiki oleh masyarakat. Tapi Pemko Medan yang telah memperbaiki kerusakan tersebut, dapat menjaga dan terus menghimbau kepada masyarakat untuk menjaga pembangunan yang telah dilakukan,” tegasnya.

Memang, lanjutnya, cukup mengkhawatirkan ada individu maupun sekelompok masyarakat ada yang tidak menghargai dan menjaga sarana umum/failitas pubik. Perilaku merusak fasilitas umum adalah fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik individu maupun sosial.
Berbagai teori sosial seperti pendapat ‘Émile Durkheim’ menjelaskan bahwa anomie atau keadaan tanpa norma terjadi ketika individu merasa tidak terikat pada nilai-nilai sosial yang berlaku. Dalam kondisi ini, individu mungkin merasa bebas untuk melakukan tindakan yang melanggar norma, termasuk vandalisme.

Teori lain mengatakan bahwa perilaku adalah hasil dari proses belajar. Individu belajar untuk melakukan tindakan tertentu, termasuk vandalisme, melalui interaksi dengan orang lain, terutama kelompok teman sebaya. Ada argumen
lain dimana teori ini melihat masyarakat sebagai arena konflik antara kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda. Vandalisme dapat menjadi bentuk ekspresi ketidakpuasan atau perlawanan terhadap ketidakadilan sosial.

“Kurangnya kesadaran pentingnya menjaga fasilitas publik dan dampak positifnya bagi lingkungan sekitar. Kurangnya rasa memiliki terhadap fasilitas publik membuat orang cenderung tidak peduli dengan perawatan dan kebersihannya,” kata Elfenda.

Sementara, tambahnya, sanksi yang kurang tegas, kurangnya penegakan hukum terhadap tindakan vandalisme atau kerusakan fasilitas publik membuat orang merasa tidak ada konsekuensi atas perbuatannya.
‘Rasa tidak aman kalau melaporkan tindakan vandalisme sehingga membiarkan saja apabila tindakan tersebut terjadi didepan mata,” ungkapnya.

Selain itu, faktor sosial ekonomi. Kondisi sosial ekonomi yang kurang baik dapat mempengaruhi perilaku seseorang, termasuk dalam hal menjaga fasilitas publik. Kekhawatiran beberapa kelompok individu dan kelompok sosial yang tidak menjaga, tidak merawat, merusak, bahkan ada yang mencuri sarana publik dihubungkan dengan teori sosial tersebut tentunya sangat memungkinkan.

“Arena pembelajaran publik bisa terjadi, dimana masyarakat belajar dari pemerintahnya yang aparatnya juga tidak mencerminkan merawat dan memelihara asset pemerintah yang dibelanjakan dari APBD, misalnya kendaraan dinas, fasilitas kantor pemerintah dan sebagainya. Banyak kasus kendaraan dinas yang harusnya dipergunakan untuk penunjang kegiatan dipakai untuk kepentingan pribadi,” katanya.

“Padahal kita tahu bahwa semua aset itu dibiayai oleh APBD/APBN yang notebene uang dari pajak rakyat.
Selain itu, masyarakat juga belajar dari bebagai kasus dimana banyak uang negara yang bersumber dari pajak rakyat dikorupsi, kebijakan yang dibuat oleh Pemko Medan juga banyak tidak mendengar masukan kelompok masyarakat dan cendrung tidak mematuhi aturan perundang undangan, termasuk kasus lapangan Merdeka yang status hukumnya telah ditetapkan sebagai cagar budaya, tetap dipaksakan direvitalisasi hingga saat ini belum selesai,” tambahnya.

Selain itu, masyarakat mendapat pelajaran kasus-kasus yang terjadi seperti Lampu pocong, Pembangunan didepan kantor kejaksaan, pembangunan jalan di depan rumah dinas Gubernur dan berbagai kebijakan yang dibuat penuh kontroversi, seperti soal parkir berlangganan, halte bus Listrik di Jalan Balai Kota dan sebagainya.

“Dari rangkaian kejadian ini masyarakat melihat bahwa uang pajak yang mereka bayarkan diperlakukan seenaknya tanpa merasa punya tanggungjawab dan beban amanah yang dipikul sebagai pengelola uang rakyat dan mempin kota ini. Masyarakat akhirnya belajar dari praktik yang dipertontonkan pemerintah kota dalam hal ini Walikota dan jajarannya,” tegas Elfenda.

“Disatu sisi sangat minim prilaku aparat kita yang menjadi contoh teladan yang bisa ditiru dalam melakukan edukasi soal soal diatas. Harusnya ini menjadi pembelajaran olah Walikota dan jajarannya, DPRD sebagai pengontrol kebijakan dan masyarakat dan kelompok individu dan sosial untuk menrawat dan menjaga, merawat fasilitas publik,” tuturnya. (h01)


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *