MEDAN (Waspada): Rencana Undang-Undang (RUU) Kesehatan dinilai terkesan terburu-buru dan ada aktor yang menunggangi RUU Kesehatan tersebut.
Hal ini diungkapkan Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Cabang Sumatera Utara (Sumut), Dr.dr Beni Satria, M.Kes, MA,MH. Menurutnya tidak ada hal yang mendesak sehingga terkesan ada aktor yang hanya mengutamakan kepentingannya.
“Kata terkesa buru-buru ini jelas dapat dilihat oleh orang -orang yang paham di Rumah Sakit (RS) dan juga orang-orang yang berada di penegakan pelayanan kesehatan. Memang, kalau kita melihat dari perkembangan zaman saat ini penting melakukan perubahan Undang-Undang (UU) tetapi dengan mencabut UU spesialis yang sudah mengatur spesialis seperti rumah sakit yang sudah memiliki UU sendiri apa namanya,” jelas dr Beni, Rabu (29/3).
Selain itu, pada UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, dan UU Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Kebidanan juga menurutnya tidak dicabut dan dinyatakan tidak berlaku seluruhnya.
“Karena bahayanya secara penegakan hukum tentu mengacu pada penegakan hukum pidana yang berlaku umum. Secara detail tidak mudah untuk melihat mana masalah di lapangan dengan yang bertabrakan dengan aturan. Nah ini makanya ada digelar rapat dengar pedapat (Focus Group Discussion) kemarin. Dan kami mengkritisi bahwa semua yang disampaikan di FGD yang dilaksanakan disemua RS Kementrian yang disampaikan oleh para narasumber itu sifatnya sosiologis normatif artinya memang berdasarkan masalah di lapangan,” terangnya.
Sementara itu, dalam pembuat RUU Kesehatan kalau dibaca menggunakan yuridis normatif artinya tidak melihat masalah di lapangan tetapi hanya melihat benturan-benturan pasal.
Sehingga tidak sejalan dengan niatnya tadi dimana para narasumber melihat kondisi di lapangan, pihaknya juga melihat kondisi di lapangan seperti kekurangan dokter, rumah sakit yang membeda-bedakan pasien dengan yang lain itukan masalah sosiologis
“Tetapi dipasalnya masih mengacu yuridis yang hanya membaca pasal- pasal saja. pendekatannya berbeda, harusnya naskah akademis itu disusun berdasarkan sosilogis normatif untuk metode penyusunannya,” jelasnya lagi.
Diungkapkannya lagi, ada kekhawatiran yang yang menyebutkan tenaga medis dan tenaga kesehatan. Sebab ada 4 tenaga Sumber Daya Manusia (SDM) itu yang masuk yakni tenaga medis, tenaga kesehatan, tenaga kesehatan tradisional dan ada tenaga kesehatan lainnya.
“Tetapi didalam pasal itu hanya ada tenaga kesehatan dan tenaga medis yang semua haknya diberikan tetapi tenaga kesehatan tradisional tidak diberikannya haknya atau tidak dijelaskan haknya. Bahkan mereka juga bisa membentuk kolegium. Kolegium itukan keilmuan ya,” bebernya.
Nah, terkait dengan tenaga kesehatan tradisional. Apakah sudah punya fakultas sendiri, sudah punya akademi sendiri atau sudah S1 pendidikannya atau masih fokasi.
“Inilah yang kita khawatirkan akan perlindungan kepada masyarakat. Tenaga tradisional di dalam penjelasannya hanya praktisi jamu, pengobat tradisional dan herbal. Perlindungan masyarakatnya di mana, kita jadi dokter saja harus belajar dosis sehingga saya bertanya mengapa bisa dimasukkan padahal tidak diketahui sekolahnya dimana, gelarnya apa, kemudian akademinya dimana dan apakah ini sudah tersebar di seluruh Indonesia kenapa ini dimasukkan,” jelasnya.
Anehnya lagi, ditambahkan dr Beni pengobatan tradisional bisa berpraktek di klinik dan rumah sakit pada saat UU disahkan. Menurut Beni pihaknya bukannya melarang jamu, namun mendukung jamu. Hanya saja persoalannya harus dilakukan oleh tenaga yang berkompeten, berapa dosisnya untuk pengobatan pasien.
“Jadi, misalnya untuk menurunkan kadar gula, yang katanya jamu bisa menurunkan tekanan darah? Karena kalau kitakan dokter jelas, kita berikan setengah tablet, satu tablet atau mungkin dua tablet. Nah ini yang kita indikasi ada sisipan pasal,” ungkapnya dan mengatakan RUU tersebut juga benturan dengan kewenangan BPJS dalam merubah dan menghentikan kerjasama. (cbud)