Islamofobia, Calon Pengacara Dipaksa Lepas Jilbab Saat Pengambilan Sumpah

  • Bagikan

     PARIS, Prancis (Waspada): Seorang calon pengacara perempuan di Paris, Prancis, mendapat perlakuan rasisme dan Islamofobia. Sekolah pelatihan pengacara memaksanya melepas jilbab jika ingin mengikuti upacara pengambilan sumpah.  

     Sara menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada situs berita Revolution Permanente. Perlakuan rasisme itu terjadi di Palais des Congres, Paris, Kamis (6/1/2022) lalu. 

     Dilansir AFP, Minggu (9/1/2022), ia mengaku, empat anggota staf l’Ecole de Formation des Barreaux (EFB), sebuah sekolah pelatihan profesional untuk pengacara, yang berada di bawah yurisdiksi Pengadilan Banding Paris, memaksanya melepas penutup kepala. 

     “Kamu harus melepas jilbabmu. Jika tidak, Anda keluar dari ruangan dan tidak dapat mengambil sumpah,” kata seorang administrator sekolah yang ditirukan Sara. 

     Dia merasa, kejadian itu membuatnya merasa terancam dan terhina. Itu karena dia dibentak di depan siswa lain dan membuatnya tidak punya pilihan lain.

     Parahnya lagi, seorang hakim menemaninya ke belakang auditorium untuk memastikan dia melepas jilbab. Dia diberitahu untuk tidak memakai jilbab jika dia bercita-cita menjadi pengacara profesional.

     Presiden baru Paris dan pengacara terkemuka Richard Malka menjadi pembicara tamu pada upacara pengambilan sumpah kecil, pendahulu dari sumpah utama sebelum menjadi pengacara.

     Malka, yang terkenal melawan tuduhan rasisme terhadap majalah satir Charlie Hebdo karena menerbitkan karikatur Nabi Muhammad, memberikan pidato tentang menegakkan kebebasan berbicara.

     “Setengah jam sebelum pidato, saya diminta melepas jilbab. Saya menemukan itu benar-benar munafik,” kata Sara. Mahasiswa lain bernama Romane, yang menyaksikan kejadian itu, mengecam sistem hukum rasis yang mendiskriminasi minoritas.

     Dia bahkan menuliskan sindiran di akun Twitternya.  “Setelah seorang wanita muda dipermalukan dan diekspos di depan umum, R. Malka membuat pidato yang mengatakan satu-satunya tempat di mana kita memiliki kebebasan berekspresi mutlak adalah di pengadilan,” kata Romane di Twitter. (afp/m11)

  • Bagikan