MEDAN (Waspada): Joko Anwar sutradara film ternama anak Jalan Garu Medan ini menyebutkan, karya terbarunya yang naskahnya sudah ditulisnya sejak tahun 2007 ‘Pengepungan Di Bukit Duri’ menjadi special sepanjang 20 tahun karirnya sebagai sutradara.
Dirinya terusik menggarap film ini setelah melihat situasi sekarang seperti masyarakat seakan sudah tidak lagi ada rasa takutnya melakukan perbuatan melawan hukum.
“Masyarakat kita sekarang ini sepertinya dekat sekali dengan budaya kekerasan, tidak hanya pada orang tua, tapi juga sudah melanda kalangan anak-anak muda bahkan sering kita membaca berita tentang tauran antar pelajar, murid memukul guru, bentrok antar agama, suku serta ada yang tidak bisa menerima perbedaan “,katanya saat berbincang dengan awak media Senin (14/04) sebelum pemutaran perdana Film ‘Pengepungan Di Bukit Duri’di Center Point Medan.
Ia mengaku film ini menjadi special, karena sebelumnya dia lebih sering bikin film menyangkut hiburan dan horor. Di film ini Joko berusaha memberi pesan penting buat bangsa ini, karena bercerita tentang rakyat. “Tidak ada hubungannya ataupun menyangkut pemerintah”, katanya.
Selain itu katanya, kegelisahan dirinya setelah melihat kenyataan guru-guru maupun siswa di kota-kota besar bisa belajar dengan nyaman, tapi di daerah-daerah lain sekolah hancur bahkan ada siswa harus menyeberang sungai menuju ke sekolahnya.
Film ini juga mengkritisi terkait situasi yang terjadi belakangan ini, seperti masalah pendidikan yang sebelum Januari 2025 diumbar menjadi prioritas yang seharusnya tidak dihitung dari perbandingan APBN, tapi Pendapatan Domestik Bruto, ujarnya.
Film “Pengepungan di Bukit Duri” juga menunjukkan situasi Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja. Dibuka dengan adegan-adegan yang tampaknya baik-baik saja: siswa sekolah bercengkrama, warga yang bersuka cita.
Namun, semua itu tampak semu. Bel sekolah menjadi alarm bahwa situasi berubah. Tapi luka takkan hilang hanya dengan dilupakan. “Pengepungan di Bukit Duri” menunjukkan perubahan suasana.
Terjadi kerusuhan di mana-mana. Kekerasan merajalela, dan yang tersisa adalah kecemasan. “Negara kita itu kayak kaca yang paling tipis,” kata Morgan Oey yang memerankan Edwin.
“Pengepungan di Bukit Duri” menjadi kolaborasi pertama antara rumah produksi Indonesia, Come and See Pictures, dan studio legendaris Amazon MGM Studios di Asia Tenggara.
Dengan sinematografi dan produksi desain kelas dunia, film ini menciptakan versi fiksi Indonesia di masa depan yang mencekam dan terasa nyata — kacau, penuh ketakutan, namun tetap memancarkan harapan.
Film ini dibintangi Morgan Oey, Omara Esteghlal, Hana Pitrashata Malasan, Endy Arfian, Fatih Unru, Satine Zaneta, Dewa Dayana, Florian Rutters, Faris Fadjar Munggaran, Sandy Pradana, Raihan Khan, Farandika, Millo Taslim, Sheila Kusnadi, Shindy Huang, Kiki Narendra, Lia Lukman, Emir Mahira, Bima Azriel, Natalius Chendana, dan Landung Simatupang.
“Pengepungan di Bukit Duri” mengikuti kisah Edwin (Morgan Oey). Sebelum kakaknya meninggal, berjanji untuk menemukan anak kakaknya yang hilang. Pencarian Edwin membawanya menjadi guru di SMA Duri, sekolah untuk anak-anak bermasalah.
Di sana, Edwin harus berhadapan dengan murid-murid paling beringas sambil mencari keponakannya.
Ketika akhirnya ia menemukan anak kakaknya, kerusuhan pecah di seluruh kota dan mereka terjebak di sekolah, melawan anak-anak brutal yang kini mengincar nyawa mereka. Film ini juga menandai dua dekade perjalanan Joko Anwar sebagai sutradara yang selalu berani mengangkat narasi yang tidak nyaman tapi penting.
Sutradara Joko Anwar tidak hanya saja menjadikan film ini menghibur, tetapi justru menggugah kesadaran menjadi semacam refleksi masa depan Indonesia yang terasa begitu dekat dan nyata, menyentuh isu-isu krusial seperti kekerasan di kalangan remaja, krisis pendidikan, dan trauma sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Mengambil latar di tahun 2027, film ini menggambarkan kondisi distopia di sebuah kawasan urban fiktif, Bukit Duri dan juga SMA Duri. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar, justru berubah menjadi arena kekerasan brutal yang mengancam nyawa para siswa.
Dengan genre thriller yang intens, film ini membawa penonton menyelami konflik yang bukan hanya terjadi di layar, tapi juga tengah bergema di dunia nyata.
Joko Anwar menghadirkan ketegangan secara konsisten dari awal hingga akhir, di mana intensitas dibangun tidak hanya melalui aksi fisik, tetapi juga lewat tekanan psikologis, kepanikan kolektif, dan realita sosial yang memprihatinkan.
Sekali lagi, film ini bukan semata hiburan, melainkan alarm terhadap situasi yang bisa terjadi dalam waktu dekat jika masyarakat dan pemerintah terus abai terhadap akar masalah sosial.
Kekuatan Narasi
Film ini dengan cermat menyusun narasi tentang bagaimana ketidakadilan struktural melahirkan siklus kekerasan yang terus berulang. Dalam banyak adegan, sekolah tidak hanya digambarkan sebagai tempat yang gagal secara infrastruktur, tetapi juga secara moral dan kemanusiaan.
“Pengepungan di Bukit Duri” memperlihatkan bagaimana kekerasan di kalangan remaja bukanlah fenomena instan, melainkan dampak dari penumpukan luka sosial yang dibiarkan begitu saja.
Sistem pendidikan yang lemah, kurangnya dialog antargenerasi, serta budaya pengabaian terhadap trauma menjadi benang merah dari krisis yang digambarkan. Penting dicatat bahwa film ini tidak memberikan penyelesaian hitam atau putih.
Sebaliknya, film ini justru meninggalkan kesan getir untuk mengajak penonton merenungkan bahwa jika tidak ada perubahan maka krisis yang digambarkan bisa saja menjadi kenyataan.(m12/ant)