Menu
Pusat Berita dan Informasi Kota Medan, Sumatera Utara, Aceh dan Nasional

Tekanan & Manipulasi Di Arena Pemilu

  • Bagikan

Tekanan & manipulasi sosial-ekonomi secara umum cenderung dialami terjadi pada setiap kandidat di arena daerah Pemilu. Setiap kandidat bisa saja menghindari tekanan sosial-ekonomi tersebut. Ketika komunikasi politik telah berlangsung di antara kandidat dengan aktor sosial sering sekali meningkat ke dalam bentuk komunikasi politik yang lebih mendalam dalam bentuk kerjasama untuk memobilisasi suara

Tulisan ini memotret tantangan yang akan dihadapi seseorang bila akan menjadi kandidat politik di pemilihan umum (Pemilu). Kelangkapan administrasi cukup menyita perhatian dan tenaga bagi para calon kandidat saat akan mendaftar ke partai politik hingga verifikasi kelengkapan administrasi di komisi pemilihan umum (KPU).

Selain itu kandidat legislatif ataupun kandidat kepala daerah akan menemukan tantangan untuk meraih suara terbanyak di tengah demografi dan geografis daerah pemilihan. Kondisi ini tidak akan jauh berbeda di rasakan bagi kandidat populer maupun kandidat baru sebagai pendatang.

Tulisan ini mencoba mendeskripsikan suasana tekanan sosial ekonomi dan upaya improvisasi kerjasama yang di hadapi kandidat di arena pemilihan umum. Manipulasi sosial ekonomi digunakan untuk mencapai kerjasama yang lebih realistis, efisien dan efektif meski tanpa target kerjasama yang terukur.

Tekanan Sosial-Ekonomi

Setiap kandidat berupaya untuk mendapat suara terbanyak di daerah pemilihan. Untuk dapat masuk ke komunitas masyarakat yang ada di daerah pemilihan setiap kandidat memerlukan kerjasama dengan aktor sosial setempat. Kerjasama ini untuk dapat memfasilitasi pertemuan antara kandidat dengan komunitas masyarakat calon pemilih.

Komunitas masyarakat di Provinsi Sumatera Utara terbelah pada segmentasi organisasi agama, organisasi etnis dan organisasi pemuda. Setiap organisasi komunitas memiliki area kekuatan tersendiri dalam hal memobilisasi suara dari lingkungan internal organisasi.

Organisasi komunitas memiliki basis-basis pendukung (anggota) di setiap area (kecamatan hingga desa) sehingga kerjasama diantara kandidat dengan aktor sosial dalam organisasi komunitas akan dapat mendekatkan kandidat dengan para pemilih secara lebih cepat.

Aktor sosial yang digunakan kandidat untuk bekerjasama memiliki kriteria sebagai tokoh atau pemimpin dengan daya pengaruh yang kuat dimasing-masing organisasi komunitas. Bentuk kerjasama yang terjadi diantara kandidat dengan aktor sosial menurut (Amin, Ridho, & Nasution, 2016) berlangsung secara transaksional dan saling menguntungkan.

Organisasi komunitas memberikan dukungan suara ke kandidat di Pemilu dan kandidat memberikan bantuan kepada organisasi komunitas dalam bentuk biaya politik dalam kegiatan mobilisasi suara, bantuan pembangunan untuk organisasi dan akses politik di pemerintahan.

Suasana transaksional dengan asas saling menguntungkan sebagaimana yang disebutkan amin pada tataran lebih mikro di kalangan pemilih dikenal dengan sebutan “kompensasi”.

Pada studi ini menjelaskan bahwa kandidat mendapati tekanan sosial-ekonomi dalam bentuk memenuhi kompensasi biaya transportasi untuk pemilih, kerjasama diantara kandidat dengan aktor sosial berlangsung secara lisan tanpa garansi dan sanksi. Biaya politik tidak dapat di hindari untuk memenuhi operasional Pemilu (lihat Amin, Warjio, & Kusmanto, 2018).

Kandidat populer hingga kandidat baru yang belum populer memerlukan biaya untuk berbagai kegiatan di tengah-tengah masyarakat. Kerjasama yang terjalin secara lisan, tanpa ukuran kerja dan garansi target tentu kandidat berpeluang besar untuk tertipu dan mengalami kerugian.

Tekanan & manipulasi sosial-ekonomi secara umum cenderung dialami terjadi pada setiap kandidat di arena daerah Pemilu. Setiap kandidat bisa saja menghindari tekanan sosial-ekonomi tersebut. Ketika komunikasi politik telah berlangsung di antara kandidat dengan aktor sosial sering sekali meningkat ke dalam bentuk komunikasi politik yang lebih mendalam dalam bentuk kerjasama untuk memobilisasi suara.

Agak sedikit sulit untuk menarik garis pemisah antara politik uang dengan biaya politik, namun demikian setidak-tidaknya berbagai literatur seperti yang di tulis Ahmad (2017); Weingast & Wittman (2006); Roper (2002) memperlihatkan adanya pengeluaran uang yang terjadi jauh hari sebelum masa kampanye pemilihan.

Uang tersebut digunakan untuk membeli makanan dan membeli kelengkapan kebutuhan bagi para pemilih yang hadir di acara sosialisasi kandidat dengan para pemilih di beberapa titik area yang disepakati.

Pertemuan semacam ini biasanya digunakan untuk mensosialisasikan figur kandidat sekaligus kandidat menjaring aktor sosial yang dianggap berpengaruh dalam organisasi komunitas masyarakat.

Ketika kandidat telah menemukan aktor sosial yang dianggap berpengaruh maka kandidat akan membentuk kerjasama dengan aktor sosial dengan kencenderungan hubungan yang saling menguntungkan. Percakapan mengenai kompensasi berlangsung diantara kandidat dengan aktor sosial untuk meyakinkan para pemilih.

Kompensasi sebagai bentuk biaya politik yang dikeluarkan kandidat kepada para pemilih untuk dipergunakan sebagai biaya transportasi menuju tempat pemungutan suara (TPS). Kandidat secara sadar memahami kondisi bahwa para pemilih enggan untuk datang ke TPS karena bisa saja belum memiliki pilihan dari sejumlah pilihan kandidat yang tersedia, apatisme terhadap kinerja aktor politik yang terpilih menjabat.

Dari beberapa faktor tersebut ditambah dengan pemilih lebih memilih untuk berlibur bersama keluarga. Keadaan ini memacu kandidat untuk mempersiapkan kompensasi biaya transportasi kepada para pemilih. Kompensasi tersebut dianggap normal bagi sebagian kandidat karena memahaminya sebagai bentuk biaya politik.

Setiap kandidat menghendaki target untuk dapat meraih suara sebanyak-banyaknya sehingga berhubungan dengan “membengkaknya” biaya kompensasi transportasi yang diberikan kepada para pemilih. Tidak ada garansi para pemilih akan setia untuk memilih kandidat yang telah memberikan kompensasi transportasi.

Satu-satunya alat kontrol bagi kandidat untuk dapat mengawasi tercapainya target suara yang dikehendaki adalah nilai kepercayaan kepada aktor sosial yang bertugas mengkordinasikan target suara dan memobilisasi suara pemilih di internal organsiasi komunitas.

Tanggung jawab aktor sosial sangat berat untuk mencapai target suara untuk kandidat karena masih terdapat aktor sosial lainnya di dalam internal organisasi komunitas yang membangun kerjasama yang serupa dengan kandidat lainnya atau bisa saja aktor sosial sebagai pendukung kandidat ganda.

Keadaan ini memperlihatkan persaingan memobilisasi suara juga terjadi diantara aktor sosial yang berada di dalam internal organisasi komunitas. Tekanan sosial-ekonomi semakin sulit bagi kandidat ketika kandidat mengetahui aktor sosial tidak bertindak seperti yang di harapkan.

Manipulasi Sosial Ekonomi

Setiap kandidat dari etnis mayoritas maupun minoritas berpotensi terlibat dalam suatu kerjasama yang dilandasi sikap saling percaya dan saling menguntungkan namun kemudian cenderung diakhiri dengan rasa curiga dan saling menipu kompensasi. Kandidat yang berkontestasi di setiap tingkat memiliki target suara yang berbeda.

Kandidat yang mengikuti pemilihan legislatif di tingkat kota atau kabupaten memiliki target suara yang lebih kecil dari kandidat di tingkat provinsi dan nasional. Persoalan yang sering muncul dalam kontek pemberian kompensasi adalah jumlah biaya politik yang haris dikeluarkan kandidat.

Bila kandidat menghitung berdasarkan target suara yang diharapkan misal 10.000 suara maka itu berarti kandidat harus mampu menyuplai kepada 10.000 orang biaya politik sebagai kompensasi biaya transportasi menuju TPS. Kebanyakan jumlah uang kompensasi tersebut diberikan sebesar Rp50.000 dan bahkan ada yang memberikan lebih dari Rp100.000.

Bila perhitungan biaya kompensasi tersebut diasumsikan 50.000 x 10.000 orang/suara maka didapatkan hasil 500 juta rupiah. Asumsi dengan jumlah ini masih tergolong kecil. Terhadap besarnya biaya politik kandidat yang dikeluarkan dalam bentuk rangkaian kegiatan sosialisasi langsung ke masyarakat, pengadaan alat peraga dan kompensasi biaya transportasi menuju TPS maka kandidat cenderung berupaya memperkecil pengeluaran biaya menjelang hari pemilihan.

Untuk memperkecil biaya tersebut kandidat mendiskusikan kembali kepada aktor sosial yang memiliki pengaruh dalam lingkungan masyarakat di tingkat desa. Diskusi untuk memperkecil biaya kompensasi dengan target meraih suara maksimal mejadi perbincangan yang cukup panjang di antara mereka.

Pada akhirnya kandidat yang masih memiliki kekuatan keuangan akan menyerahkan biaya kompensasi tanpa pengurangan. Sebaliknya, kandidat yang memiliki masalah terhadap keuangan akan mengurangi pengeluaran biaya untuk kompensasi.

Pada situasi ini aktor sosial sebagai penerima dan pendistribusi kompensasi dari kandidat akan mengikuti kehendak kandidat. Meski perhitungan biaya kompensasi tidak sesuai kalimat “atur saja” atau “nanti ditambahin” akan mengakhiri perbincangan diantara mereka.

Terdapat aktor sosial yang mendistribusikan kompensasi sesuai dengan kesepakatan namun tidak sedikit pula aktor sosial melakukan memanipulasi biaya kompensasi tersebut. Keadaan ini di jawab kandidat dengan memanipulasi sosial ekonomi dimana kandidat berlatar belakang sosial ekonomi mapan akan menurunkan status sosial ekonominya di hadapan aktor sosial.

Kondisi sebaliknya terjadi bagi kandidat dengan latar belakang sosial ekonomi yang belum mapan. Ini untuk merealistiskan dan mengefisiensikan biaya politik di lapangan. Fenomena pemangkasan biaya politik sebagai kompensasi cenderung terjadi dalam pendistribusian kompensasi dari kandidat ke aktor sosial untuk di beri ke kalangan pemilih.

Kecenderungan pemangkasan biaya kompensasi tersebut berkisar 50 persen atau setelah pemengkasan 50 persen dilakukan pemangkasan 50 persen dari jumlah orang yang terdata untuk menerima kompensasi. Perilaku politik transaksional cenderung berakhir dengan kesepakatan yang saling menipu.

Bagi kandidat situasi ini sebagai kesempatan memobilisasi suara dengan jaringan transaksional untuk meraih dukungan suara di Pemilu. Bila kandidat terpilih akan berupaya dengan segala cara melalui kewenangan yang dimiliki untuk mencari kembali biaya politik yang pernah dikeluarkan.

Sementara itu bagi aktor sosial kesempatan bekerjasama dengan kandidat dianggap sebagai kesempatan untuk mengumpulkan pengahasilan tambahan dari Pemilu yang berlangsung lima tahun sekali.

Aktor sosial cenderung tidak terlalu menyakini komitmen dan kinerja dari para kandidat bila berhasil terpilih. Sebagai contoh yang sering di yakini masyarakat bila kandidat terpilih dan selesai di lantik akan mengganti nomor handphone.

Penulis adalah Dosen Pascasarjana UMA, Sekretaris Dewan Pakar Pemuda Pancasila Sumut, Pengurus Parsadaan Pomparan Raja Lontung Sumut, Pengurus Parsadaan Toga Sinaga dan Boru Wilayah Sumut 1.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *