Tantangan Darurat Narkoba

  • Bagikan

Tantangan darurat Narkoba. Tindakan darurat untuk masalah darurat adalah satu dari kunci perang melawan Narkoba.  Bersamaan itu pengutamaan strategi supply reduction dalam pengertian yang lebih mencakup keseluruhan pasti tak dapat dikesampingkan

Lima jenis Narkoba terbanyak dikonsumsi Indonesia tahun 2021 ialah ganja, sabu, ekstasi dan amphetamine; nipam, pil koplo dan sejenisnya; dextro; dan tembakau gorilla. Ganja menjadi “pilihan” favourite bagi pemula (51,1 %), disusul sabu (23,8 %), dan dextro (4,3 %). 

Rerata usia pengguna pemula di pedesaan Indonesia 19 tahun. Di perkotaan 20 tahun. [Pusdatin BNN, 2022, Indonesia Drugs Report 2022, hlm 7. Untuk selanjutnya rujukan atas sumber ini akan hanya menyebut Pusdatin BNN dan nomor halaman]. 

Tulisan ini memanfaatkan beberapa data kompleksitas masalah Narkoba yang dikeluarkan Pusdatin BNN dan menyarankan diperlukannya langkah kedaruratan yang jelas. Selain itu strategi supply reduction dipandang tidak dapat dihindari dalam perang sungguh-sungguh melawan Narkoba.

Data Pusdatin BNN

Tahun ini (Maret 2022) 10 besar keberhasilan penangkapan tersangka kasus Narkoba oleh Kepolisian dan BNN ialah Sumut, 7.852 kasus; Jatim, 7.221 kasus; DKI, 4.222 kasus; Jabar, 3.180 kasus; Sumsel, 2.679 kasus; Jateng, 2.409 kasus; Riau, 2.371 kasus, Lampung, 2.343 kasus; Sulsel, 2.879 kasus; dan Kalsel, 1.997 kasus [Pusdatin BNN hlm 80].

Dari 53.405 tersangka, 497 di antaranya oknum Kepolisian (403 orang) dan oknum TNI (194 orang) [Pusdatin BNN hlm 83]. Meski hanya sekitar 1 % saja, jumlah tersangka ini adalah indikator penting dari fenomena puncak gunung es yang menakutkan. Mengapa tidak, potensi ketersangkaan oknum dari kedua instansi itu tentu sangat jauh lebih sulit dibandingkan rakyat biasa.

Menilik perannya, 27 orang disangkakan sebagai cultivator, 31 produsen, 16.800 distributor dan 36.547 konsumen [Pusdatin BNN hlm 82]. Angka-angka ini juga anomali tentang perbandingan antara produsen (27+31 orang), distributor dan penyalahguna. Terlalu kecil jumlah yang dilayani (36.547 orang) oleh 16.800 distributor. Mereka tidak mungkin hidup dalam bisnis gelap ini jika hanya melayani kurang dari 3 konsumen.

Sebagai perbandingan, dari prediksi 187.513.456 jumlah penduduk Indonesia berusia antara 15-64 tahun, pada tahun 2021 sebanyak 4.827.616 orang diduga telah pernah memakai Narkoba dan 3.662.646 lainnya sudah memakai selama setahun. Angka itu mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya. Memang angka prevalensi penyalahgunaan Narkoba setahun terakhir mengalami kenaikan dari 1,80 % pada tahun 2019 menjadi 1,95 % pada tahun 2021.

Selain itu, risiko terpapar Narkoba dalam setahun terakhir juga mengalami peningkatan pada perempuan dari 0,20 % pada tahun 2019 menjadi 1,21 % pada tahun 2021, dan peningkatan keterpaparan terjadi pada kelompok usia 15-24 dan 50-64 tahun, terutama di pedesaan  [Pusdatin BNN hlm 3-5]. Mungkin dugaan positif untuk angka ketersangkaan itu ialah bahwa tendensi perburuan melawan Narkoba lebih menyasar distributor dan produsen, meski itu pun masih jauh dari sasaran yang seharusnya.

Pusdatin BNN (hlm 15) juga menyajikan data keberhasilan mengalihkan 7.090 hektar lahan ganja dengan 6.710 orang beralih menjadi petani komoditas legal di 3 lokasi (Gayo Luwes, Aceh Besar dan Bireuen). 

Untuk kesejahteraan, tumbuhan alami yang tak terbasmi (dan untuk apa pula dibasmi?) ini dapat dibudidayakan menopang industri yang terlebih dahulu menghendaki pergeseran perspektif penggunaan pribadi ke farmasi [https://bpac.org.nz/2022/medicinal-cannabis.aspx]. 

Juga dapat menopang industri untuk puluhan ribu produk komersial, terutama serat (kertas, tali, bahan konstruksi dan tekstil pada umumnya, hingga pakaian), dan sumber bahan makanan (susu rami, biji rami, minyak rami) dan biofuel [https://en-m-wikipedia-org.translate.goog/wiki/Cannabis?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=sc]. Daerah penghasil ganja sudah saatnya memiliki BUMN berupa PTPN.

Darurat & Strategi Supply Reduction

Tantangan darurat Narkoba. Tindakan darurat untuk masalah darurat adalah satu dari kunci perang melawan Narkoba.  Bersamaan itu pengutamaan strategi supply reduction dalam pengertian yang lebih mencakup keseluruhan pasti tak dapat dikesampingkan. Selama perang melawan Narkoba tidak memprasyaratkan kedua hal itu, peluang keberhasilan sangat tipis. 

Januari 2015 lalu, saat meresmikan Masjid Raya Mujahidin Pontianak-Kalbar, Presiden RI Joko Widodo mengatakan Indonesia berada dalam status darurat Narkoba.  “Tidak ada maaf bagi pelaku Narkoba di negeri ini….. Saya juga banyak tekanan dari sana dan sono. Tapi sekali lagi, kita memang berada pada posisi darurat Narkoba… Dampak negatif Narkoba tidak hanya merasuk ke lingkungan anak-anak muda, tetapi juga institusi-institusi [https://ekonomi.kompas.com/read/2015/01/20/19405801/Jokowi.Indonesia.Darurat.Narkoba]. 

Namun keadaan darurat mestinya diikuti langkah darurat. Cara Presiden Filipina Rodrigo Duterte menunjukkan bahwa sikap nasional negaralah yang menentukan ritme dan jenis serta efektivitas perang terhadap Narkoba.  Tidak akan ada wilayah bebas Narkoba tanpa sebuah sikap nasional yang melampaui kewibawaan regulasi biasa. 

Setelah pelantikan 2016, Duterte mendesak warganya secara sukarela membunuh para pengedar Narkoba dan pecandu dan meminta sayap bersenjata Partai Komunis Filipina terlibat. Tak lama setelah itu (5 Juli 2016), ia mengungkap nama 5 pejabat polisi yang diduga terlibat perdagangan obat-obatan terlarang. Tanggal 7 Juli ia mempresentasikan bagan yang mengidentifikasi 3 warga negara China yang berperan sebagai raja obat bius di Filipina.

The Philippine Daily Inquirer menerbitkan “daftar pembunuhan” dan Dewan Perwakilan Rakyat Filipina didesak menyelidiki rentetan pembunuhan di luar proses hukum dan/atau eksekusi mati yang dicurigai melanggar regulasi tentang obat-obatan terlarang dan penjahat lain yang dicurigai itu. 

Tetapi Duterte malah menuntut para kritikus membuktikan tuduhannya [https://id.wikipedia.org/wiki/Rodrigo_Duterte] dan berkata “Saya tak akan berhenti sampai semua tuntas, sampai bandar Narkoba terakhir di Filipina mati” [https://www.reuters.com/article/us-philippines-politics-duterte-idUSKCN1050FX].

Di belahan bumi lain ada kisah menarik. Tahun 2001 Michael Wooldridge, mantan menteri kesehatan Australia, mengungkapkan kekecewaannya atas perang terhadap Narkoba dengan pendekatan hukum sebagai catatan panjang tentang kegagalan [https://www.smh.com.au/politics/federal/searching-for-a-new-outlook-on-tackling-drugs-20120410-1wn90.html]. 

Justin B Shapiro yakin bahwa menuntut para penyalahguna dan pecandu narkoba, akan terus menghambur-hamburkan sumber-daya penegakan hukum. Selain itu dipastikan akan selalu mendorong timbulnya korupsi bagi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan para Hakim untuk semua level). Diakui atau tidak, praktik buruk “jual-beli” pasal-pasal hukum untuk memosisikan setiap orang (tersangka pengedar dan gembong Narkoba) sebagai pengguna tidak dapat dihindarkan.

Antonio Maria Costa dari United Nations Deputy Secretary General and Executive Director of the UNODC United Nations Office on Drugs memang pernah mengatakan bahwa penegakan hukum yang tidak berbasis integritas sosial terhadap Narkoba menyebabkan mereka (aparat) menjadi prajurit sindikat Narkoba [Twelfth United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice (Salvador, Brazil, 12-19 April 2010)].

Dalam catatan global orang tentu selalu mengingat bahwa Amerika di bawah kepemimpinan Presiden Nixon begitu gencar melakukan perang terhadap Narkoba.  Tetapi hasilnya sangat mengecewakan karena diduga dengan sengaja tak mengejar kartel, melainkan pecandu atau jaringan remehtemeh. Rakyat Amerika, seperti halnya rakyat di seluruh negara, jelas tidak begitu tahu kebenaran seseorang yang dinyatakan kartel ketika ia ditangkap atau ditembak mati.

Konon AS telah mengadopsi pendekatan hukuman melalui larangan atau peraturan ketat obat-obatan yang dianggap berbahaya atau membentuk kebiasaan. Alat kebijakan yang digunakan mendukung pendekatan ini bergantung pada hukuman pidana untuk kepemilikan dan penjualan zat-zat tersebut dan didasarkan pada teori bahwa hukuman pidana yang keras akan menghalangi penggunaan Narkoba.  

Pihak berwenang telah mengamankan penerimaan publik disertai keyakinan rasis tentang populasi minoritas. Popularitas strategi ini tetap ada meskipun banyak bukti bahwa tanggapan hukuman tidak terkait dengan penurunan penggunaan Narkoba [Taleed El-Sabawi & Jennifer D. Oliva,  June 21, 2022, The Influence of White Exceptionalism on Drug War Discourse, [https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=4142704].

David T Courtwright yakin masalah supply-lah yang menjadi akar masalah. Sayangnya, rintangan utama dalam strategi supply reduction dalam menghadapi penyelundupan Narkoba ialah tingginya jumlah uang yang beredar dan yang dihasilkan oleh Narkoba.  Uang tersebutlah yang digunakan untuk “membeli” petugas, baik di dalam maupun di luar negeri, untuk mengamankan proses budidaya, produksi dan distribusi (marketing) Narkoba [https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK234755/].

Penutup

Keluhan mantan Menteri Kesehatan Australia tertuju pada pengalaman lebih 4 dasawarsa perang melawan Narkoba dengan pendekatan hukum, dan ternyata gagal total” [https://www.smh.com.au/politics/federal/searching-for-a-new-outlook-on-tackling-drugs-20120410-1wn90.html]. Justin B Shapiro yakin bahwa menuntut para penyalahguna dan pecandu narkoba, akan menghambur-hamburkan sumber-daya penegakan hukum. 

Selain itu dipastikan akan selalu mendorong timbulnya korupsi bagi penegak hukum. Praktik “jual-beli” pasal-pasal hukum untuk memosisikan tersangka pengedar dan gembong menjadi pengguna sudah menjadi rahasia umum [https://www.jstor.org/stable/41307711]. 

Karena itu diperlukan langkah darurat yang terukur dan strategi supply reduction.  Data berkala hasil survei yang terus menunjukkan tren perkembangan kompleksitas permasalahan (kuantitatif dan kualitatif), hanya berfungsi menambah kecemasan massif jika tak diselesaikan secara tepat.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan