Menu
Pusat Berita dan Informasi Kota Medan, Sumatera Utara, Aceh dan Nasional

Tahu Diri Tahu Posisi

  • Bagikan

Oleh Zulkarnain Lubis

Seseorang yang tahu diri dan tahu posisi adalah orang yang mampu melakukan penilaian atas diri sendiri secara realistis serta mampu secara objektif melakukan kritik terhadap dirinya sendiri, sehingga orang tersebut mempunyai rasa percaya diri dan berani bersikap, bersuara…

Salah satu kunci dalam memimpin dengan hati adalah pemimpin harus memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang baik. Seorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik memiliki kesadaran diri sendiri (self awareness) dan kemampuan mengelola diri sendiri (self-management).

Salah satu indikator seseorang memiliki kesadaran diri sendiri sekligus mampu mengelola diri sendiri adalah kemampuan dalam pengendalian diri yang terlihat dari bagaimana seseorang tersebut mengendalikan hati, pikiran, ucapan, dan tindakannya dengan senantiasa menghidupkan hati nuraninya untuk tegaknya keadilan dan kejujuran, serta terwujudnya kebersamaan, kepedulian, tenggang rasa, dan apresiatif.

Salah satu implementasi dari pengendalian diri adalah tahu diri tahu posisi yaitu mampu menempatkan diri pada posisi yang tepat sesuai kedudukan dan jabatan yang diemban. Tahu diri dan tahu posisi akan membuat setiap orang dituntut untuk bertindak dan bersikap proporsional sesuai status dan kedudukannya.

Tahu diri dan tahu posisi juga merupakan harapan agar setiap individu senantiasa mengevaluasi dirinya apakah dia sudah berbuat, bertindak, bekerja, dan memposisikan diri sesuai porsi dan kapasitasnya.

Seorang pemimpin juga harus tahu diri dan tahu posisi sehingga harus memposisikan diri sesuai kewenangan, tugas, dan fungsinya sebagai pemimpin, tidak melebihi kewenangannya serta tidak pula berperan dalam posisi yang lebih rendah dari kedudukannya.

Dengan kata lain, tahu diri dan tahu posisi bagi seorang pimpinan adalah menempatkan diri pada posisi yang tepat dalam berhadapan dengan berbagai pihak, baik atasan, bawahan, rekan sejawat, maupun masyarakat.

Peran yang tidak sesuai dengan kedudukannya sering membuat overlapping dalam menjalankan pekerjaan atau bisa juga terjadi kekosongan karena masing-masing membiarkan tugas yang menjadi tanggungjawabnya.

Seseorang yang mengambil posisi dan peran yang tidak tepat bisa menjadi bibit perselisihan, bahkan sering berkembang menjadi perpecahan dan berujung kepada sengketa yang tentu saja akan merusak kinerja dan citra organisasi, institusi, lembaga, atau instansi yang dipimpin.

Seseorang yang tahu diri dan tahu posisi adalah orang yang mampu melakukan penilaian atas diri sendiri secara realistis serta mampu secara objektif melakukan kritik terhadap dirinya sendiri, sehingga orang tersebut mempunyai rasa percaya diri dan berani bersikap, bersuara, maupun bertindak sesuai kapasitasnya, yang berarti juga tidak akan mengambil peran yang tidak sesuai kedudukannya, fungsinya, tugasnya, ataupun kompetensinya dan kemampuannya.

Seorang yang tahu diri dan tahu posisi tidak akan memaksakan diri dan ngotot untuk bertindak yang tidak sesuai dengan keberadaannya, tetapi sekaligus akan tegas mengambil sikap dan tindakan sesuai peran yang semestinya diperankannya dan sesuai dengan kemampuannya, baik diminta maupun tidak diminta.

Jadi seseorang yang tahu diri dan tahu posisi adalah orang yang mampu membaca dan mengetahui emosi sendiri serta memahami pengaruhnya terhadap kinerjanya serta jaringan yang mungkin dibangun olehnya, selanjutnya termasuk juga mampu secara akurat dan realistik mengetahui kekuatan dan kelemahannya yang dijadikan sebagai dasar terhadap tindakan dan perbuatannya.

Dengan demikian seorang pemimpin yang tahu diri dan tahu posisi adalah seorang pemimpin yang senantiasa mengontrol kebijakan, tindakan, ucapan, dan sikapnya apakah memang sudah tepat dan sesuai kapasitas dan kedudukannya.

Seorang pemimpin yang tahu diri dan tahu posisi akan selalu bertindak sesuai kedudukannya, tidak mengerjakan pekerjaan yang bukan kewenangannya, terutama tidak mengambilalih kewenangan dan hak bawahan, atasannya, ataupun rekan kerja yang selevel dengannya tanpa koordinasi ataupun tanpa kesepakatan dengan pihak-pihak tersebut.

Seorang Menteri yang tahu diri tahu posisi semestinya tidak lagi mengerjakan tugas yang kewenangannya sudah diserahkan kepada direktur jendral, direktur, apalagi pekerjaan tehnis yang mestinya cukup dilakukan operator atau pekerja lapangan.

Seorang menteri atau direktur yang mengurusi bidang tertentu, jika dia tahu diri dan tahu posisi, tidak akan ikut campur, mengurusi, apalagi sampai mengerjakan menteri atau direktur lainnya, yang mestinya sudah memiliki uraian tugas masing-masing.

Jadi menteri atau gubernur atau bupati atau siapapun yang mengerjakan tugas petugas kebersihan dengan menyapu jalanan atau masuk dan turun ke dalam gorong-gorong untuk saluran air adalah pejabat yang tidak tahu diri dan tidak tahu posisi.

Apalagi dalam menjalankan pekerjaan tersebut menjadi tontonan para bawahannya dan para petugas kebersihan yang seharusnya menjadi tanggungjawab mereka. Kecuali pekerjaan tersebut dilakukan bisa saja dalam rangka “kerja bakti” atau sama-sama bekerja dengan atasan, rekan, atau bawahannya untuk suatu momen tertentu.

Seorang menteri juga tentu dianggap tidak tahu diri dan tidak tahu posisi jika dia berperan, bertindak, atau berbuat seperti presiden, melakukan atau menjalankan tugas dan peran presiden, apalagi sampai merasa diri sebagai presiden.

Seorang menteri yang merasa diri sebagai presiden dan bertindak seolah-olah presiden, mengatur presiden, apalagi mengacuhkan presiden adalah menteri yang tidak tahu diri dan tidak tahu posisi.

Menteri demikian adalah menteri yang kebablasan, lupa diri, dan lupa daratan. Demikian juga seorang kepala dinas di suatu provinsi yang bertindak seolah-olah gubernur adalah juga perbuatan yang tidak tahu diri dan tidak tahu posisi dan menunjukkan ketidakmampuan mengevaluasi diri dan mengendalikan diri.

Tetapi sebaliknya juga banyak terjadi, bahwa seorang gubernur, jangkauan pemikirannya dan wawasannyaa hanya selevel camat atau bahkan lurah, sehingga dalam mengerjakan tugasnya sebagai gubernur, cara kerjanya, cara mengambil keputusannya, dan tindakannya persis seperti pekerjaannya camat atau malah kepala desa.

Seorang dekan di sebuah universitas juga mestinya bertindak hanya sebagai dekan, tidak berperan melebihi kewenangannya. Misalnya dengan bertindak seperti rektor atau mungkin merasa sebagai rektor.

Tetapi tidak pula sebaliknya, seorang dekan tidak menjalankan tugas yang semestinya merupakan uraian tugasnya, malah mengerjakan pekerjaan seorang ketua program studi atau bahkan lebih rendah lagi seperti membersihkan laboratorium atau menyapu teras kampus. Kalau demikian, dekan tersebut tidak tahu diri dan tidak tahu posisi.

Memang persoalan tak tahu diri dan tak tahu posisi ini, banyak terjadi di mana-mana, seorang yang hanya bermodalkan sejumlah uang dan sedikit jaringan, merasa sudah layak dan pantas maju sebagai kepala daerah atau anggota DPRD.

Tanpa modal kapabilitas cukup, tanpa kompetensi yang memadai, tanpa pemahamaan tentang pemerintahan, mereka berani mencalonkan diri, akhirnya bernasib malang, hasilnya mengecewakan, kalah dalam kontestansi, terbalut hutang, hartapun tergadaikan.

Memang banyak mereka yang berhasil menjadi pemenang, baik karena uang, karena dibantu sama dalang yang menjadikannya wayang, atau karena nasibnya mujur, namun ketika memimpin, mereka terlihat gagap dan gamang, memimpin dan mengambil keputusan secara serampangan, mengikuti kehendak hati dan bisikan dalang ataupun cukong yang sudah menanam modal agar bisa menjadi pemenang.

Memang ada satu dua di antara mereka yang cepat belajar dan berhasil merubah keadaan, namun lebih banyak yang terperangkap dalam jebakan, terpaksa melakukan politik balas jasa, patuh sama pembina, serta mengumpulkan uang untuk bayar hutang serta mencari modal untuk mempertahankan kedudukan. Akhirnya perbuatan terbongkar, ditangkap dan dibawa ke pengadilan, jabatan melayang, tinggalpun terpaksa pindah ke penjara yang tentunya sangat tidak nyaman.

Namun sesungguhnya dari semua cerita tahu diri tahu posisi, yang paling penting bagi kita sesungguhnya adalah tahu diri dan posisi sebagai makhluk Allah di muka bumi, sehingga kita tahu diri siapa kita, dari mana kita, apa peran kita di dunia ini, dan mau kemana kita selanjutnya.

Banyak di antara manusia yang tidak tahu diri akan posisi dan kedudukannya sebagai manusia, sehingga hak dan kewenangan Allah diambil alihnya, konon lagi kalau hanya sekedar hak dan kewenangan atasannya. Dia merasa paling menentukan akan nasib orang, paling menentukan akan hidup dan mati orang, paling menentukan akan peruntungan orang.

Dia merasa sangat berkuasa sehingga kadang lupa sudah sampai melebihi Sang Mahakuasa, dia merasa sangat kuat sehingga tidak sadar sampai merasa melibihi dari Sang Mahakuat, dia merasa sangat kaya sehingga tidak sadar sampai seolah-olah melebihi dari Sang Mahakaya, dia merasa sangat menentukan, sehingga tidak menyadari sudah seperti melebihi Sang Mahamenentukan.

Mestinya kita harus sadar, tahu diri, dan tahu posisi bahwa tugas kita di dunia ini adalah beribadah atau mengabdi kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, tujuan hidup kita adalah mendapatkan ridha Allah atau mardhatillah, pedoman hidupnya kitab suci (bagi Islam adalah Al Quran dan Al Hadis).

Jadi tugas kita bukanlah bukanlah mengejar materi, mengejar jabatan, dan mengejar kemewahan hidup. Tujuan kita bukanlah bersenang-senang dan pedoman hidup kita bukanlah sekedar peraturan buatan manusia.

Penulis adalah Ketua Program Doktor Ilmu Pertanian UMA dan Rektor Institut Bisnis IT&B.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *