Oleh Shohibul Anshor Siregar
Diksi kuat petugas partai itu hari demi hari menjadi bumerang ketika rakyat benar-benar telah menyadari negara bukan milik partai dan dalam demokrasi presiden yang dipilih oleh rakyat tidak boleh menjadi lembaga subordinat partai
Tiba-tiba tersiar berita Anies Rasyid Baswedan (Anies) telah dipasangkan dengan Muhaimin Iskandar, tokoh utama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang sebelumnya terberitakan sedikit berzigzag ria ke sana dan kemari. Pro dan kontra pun berseliweran, bahkan caci maki.
Dengan perkembangan terakhir itu Surya Paloh dari Partai Nasional Demokrat (NasDem), yang menjadi tokoh utama dalam pencalonan Anies, itu, banyak dibicarakan. Ada yang menuduhnya telah berkhianat. Tuduhan serius yang tentu ia bantah. Orang pun mengingatkan bahwa Paloh pernah bilang agar penentuan calon pendamping (Cawapres) diserahkan saja kepada Anies.
Anies juga tak luput dari kritik. Bagaimana bisa setega itu meninggalkan AHY dari Partai Demokrat yang, meski belum dideklarasikan, merasa sudah sangat pas dipasangkan mendampingi Anies? Tidak ada gunanya maju pilpres kalau tidak memiliki keyakinan terkuat untuk menang. Pertimbangan ini ada pada setiap calon presiden di mana pun dan terkadang keputusan seperti ini dapat mengabaikan banyak faktor lain seperti chemistry.
Pemerintahan gonjang-ganjing karena ketidak-cocokan antara presiden dan wakilnya terjadi sepanjang masa. Bukan hanya dalam sejarah Indonesia sejak Orde Lama. Tetapi juga terjadi di negara-negara matang berdemokrasi seperti Amerika Serikat.
Meski amat sukar menebak latar belakang keputusan ini, namun tampaknya Paloh dan Anies berusaha menempatkan faktor terkuat pada perhitungan potensi kemenangan sehingga bersedia menerima risiko “dicaci-maki”. Bagaimana penerimaan di grassroot? Selama ini ada tanda-tanda kuat bahwa Anies lebih banyak didukung oleh tokoh dan jejaring non-partisan, dan hitungan ini tentu telah dilakukan oleh Paloh dan Anies. Artinya, jika pemilihan presiden boleh disamakan dengan pemilihan kepala daerah, Anies mungkin dapat percaya diri bersama jejaring pendukungnya untuk maju dari jalur perseorangan.
Itu tentu begitu kontras dengan apabila membayangkan seorang yang akan diajukan menjadi calon hanyalah figur petugas partai. Diksi kuat petugas partai itu hari demi hari menjadi bumerang ketika rakyat benar-benar telah menyadari negara bukan milik partai dan dalam demokrasi presiden yang dipilih oleh rakyat tidak boleh menjadi lembaga subordinat partai.
Hingga kini tiga orang bakal calon presiden telah dipasarkan. Dua orang dari partai. Keduanya pun setia kepada Joko Widodo karena amat bertekad kuat akan meneruskan pekerjaan yang diwariskan oleh Joko Widodo. Diksi perubahan yang diketengahkan dari kubu Anies menjadi daya tarik besar yang mungkin sangat tak nyaman bagi partai-partai koalisi pemerintahan. Betapa pun tak nyamannya, justru itulah salah satu di antara magic words kemewahan Anies yang tak mungkin dimiliki kedua bakal Capres lain. Suka atau tidak.
Tentu mutu ingatan rakyat tak semudah sirna tak berbekasnya air dari daun talas seketika tercurah. Bangsa Indonesia tetap sadar bahwa tahun-tahun bersama Joko Widodo banyak perselisihan pikiran yang tak terdamaikan dan banyak kebijakan yang ditentang. Sebutlah UU Ciptakerja dan kebijakan lain yang mungkin oleh man on the street begitu mudah menyebutkan banyak contohnya tanpa mengernyitkan kening berlama-lama.
Apa sebetulnya pangkal masalah serius ini? Semua berawal dari ketentuan ambang batas presiden yang diadopsi oleh undang-undang (UU). UU Pemilu Indonesia mengharuskan partai atau gabungan partai yang ingin mencalonkan presiden dan wakil presiden memiliki setidaknya 20% kursi di DPR. Ambang batas presidensial ini telah menjadi topik hangat yang terus diperdebatkan hingga kini.
Beberapa argumen mendukung meski beberapa yang lain menentang, dan banyak pihak telah mengajukan permohonan uji materi. Namun semua ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Faktanya, baik yang menolak maupun yang mendukung, termasuk hakim-hakim Mahkamah Konstitusi, semuanya sama-sama menggunakan mizan (standar ukur) UUD 1945. Jadi UUD 1945 itu apa? Dokumen multitafsir, tentu saja. Kemultitafsiran yang mungkin tak mungkin tak tunduk pada kemungkinan tendensi hasrat kekuasaan? Entahlah.
Bagi yang senang, ambang batas Presiden dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensial dalam arti presiden dan wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat memiliki posisi politik yang kuat. Hal ini membuat presiden dan wakil presiden sulit untuk diberhentikan dengan mudah karena alasan politik.
Ketentuan ambang batas ini berbeda-beda di setiap negara dan tergantung pada sistem Pemilu yang digunakan. Di beberapa negara tertentu, nilai ambang batas ditentukan begitu tinggi seperti Indonesia. Sebaran negara dengan angka ambang batas itu menunjukkan karakternya secara jujur di depan demokrasi. Ada negara yang ingin cap demokrasi tetap tersemat namun menggunakan nilai ambang batas yang sangat bertentangan dengan nilai demokrasi itu sendiri. Alasan-alasan menghindari fragmentasi politik, meningkatkan efisiensi pemilu, dan menghindari deadlock politik dikedepankan. Namun, sukar disembunyikan bahwa intinya hanyalah ekspresi ketidakjujuran dalam berdemokrasi.
Sebagaimana telah terjadi sebelumnya, maka kini, ambang batas itu memaksa kontestasi presiden hanya menjadi dominasi kandidat-kandidat dari kalangan elit. Elit yang ditunjuk melalui mekanisme yang oleh oligarki partai dianggap baik dan amat pasti dikendalikan oligarki ekonomi yang barang tentu tak memiliki orientasi lain kecuali memakmurkan diri tanpa memperdulikan apa pun yang amat potensil menyengsarakan rakyat banyak, lazim hanya diujipublikkan oleh para toke survei. Toke survei itu berbayar. Siapa yang membayar, tentu bukan pihak yang benar-benar ingin demokrasi disehatkan.
Di sinilah paradoks terus mengemuka. Sejatinya demokrasi itu adalah model yang dianggap mampu mengkonsolidasikan fragmentasi politik yang memang tak boleh diberangus atas nama apa pun. Argumen efisiensi Pemilu juga sesuatu yang artifisial, sebab banyak cara lebih efisien memilih elit pemerintahan dalam atau di luar label demokrasi. Itu bukan tujuan sama sekali. Jangan karena alasan itu esensi demokrasi dipangkas.
Deadlock politik atau bahkan gejolak yang berujung pada pemakzulan presiden adalah hal yang tak boleh ditabukan oleh demokrasi. Demokrasi itu sistim yang sehat dan di dalamnya ada pengetahuan jujur untuk mendeteksi terpenuhi atau belum terpenuhinya alasan seseorang presiden dimakzulkan. Demokrasi mengusung nilai akal sehat, bukan phobia yang diada-adakan untuk maksud lain, otoritarianisme misalnya.
Karena alasan itulah diandaikan pula kepastian efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, dengan dalih bahwa jika sistem ini tidak diterapkan, ada kemungkinan presiden dan wakil presiden terpilih dicalonkan oleh partai atau koalisi partai politik yang jumlah kursinya tidak mayoritas di parlemen. Halusinasi ini bertentangan dengan fakta sistem presidensial Indonesia yang memberi kekuasaan super besar kepada Presiden.
Jika hal ini terjadi, katanya, lembaga eksekutif (presiden dan wakil presiden) akan mengalami kesulitan dalam menjalankan roda pemerintahan karena akan terganggu oleh koalisi mayoritas di parlemen. Argumen lain ialah penyederhanaan sistem multi-partai melalui seleksi alamiah. Penerapan ambang batas presiden sekaligus menyederhanakan sistem multi-partai melalui seleksi alamiah, katanya.
Di seberang lain argumen-argumen yang menentang ambang batas pencalonan presiden melihat ketentuan itu terang-terangan membatasi hak-hak konstitusional. Ambang batas presiden dianggap membatasi hak konstitusional setiap warga negara untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin nasional. Selain itu juga dipandang amat tidak relevan dengan Pemilu serentak. Keberadaan syarat ini sama sekali tidak relevan dengan Pemilu serentak, yaitu Pemilu presiden dan wakil presiden serta Pemilu anggota legislatif yang diselenggarakan secara bersamaan.
Anehnya jumlah kursi atau suara pendukung satu pasangan dalam sistim ini berasal dari Pemilu lima tahun lalu. Artinya sungguh tak realistis. Dengan begitu dapatlah dibuat skenario. Kecuali Pemilu itu dirancang securang-curangnya hingga secara optimum kehilangan nilai kontestasinya dan, hingga, tidak ada partai atau gabungan partai pengusung yang tereliminasi ketentuan ambang batas parlemen, semua yang diangankan oleh pendukung nilai ambang batas yang besar itu pastilah tercapai.
Sebaliknya, jika Pemilu dirancang benar-benar berintegritas, tentu saja tidak ada jaminan partai atau gabungan partai mana pun berhasil beroleh suara di atas ambang batas parlemen dalam Pemilu yang bersamaan waktu dengan pemilihan presiden. Jika ini terjadi, para pendukung ketentuan ini sudah memastikan bahwa presiden dan wakil presiden terpilih hanya menunggu waktu dimakzulkan. Pelantikan atau acara pengucapan sumpah boleh sangat meriah. Namun akan lebih meriah lagi gerakan pemakzulan setelah pelantikan usai.
Dengan sistim yang menggunakan ambang batas yang tinggi ini, alhasil bentuk pemerintahan republik ini kelak dapat berasa kerajaan yang dipastikan tak akan tiba pada kesadaran dirinya untuk menjadi pelaku ideal bagi peran-peran profetik yang strategis yang diinginkan oleh doktrin pendirian negara yang dituangkan di dalam pembukaan UUD 1945.
Doktrin itu berisi, pertama, memastikan tiada lagi penjajahan di atas permukaan bumi dalam segala bentuknya. Kedua, memastikan semua warga dan seluruh tumpah darah terlindungi. Ketiga, memastikan orientasi dan kinerja serta program yang jelas untuk memajukan kesejahteraan umum. Keempat, mencerdaskan kehidupan bangsa. Kelima, berpartisipasi aktif dalam upaya memastikan haluan dunia untuk ketertiban dan perdamaian abadi.
Karena itu ketentuan ambang batas ini hanyalah ekspresi cacat demokratis yang membatasi hak konstitusional warga negara, mengurangi persaingan politik, tidak relevan dengan Pemilu serentak, tidak realistis dan tidak adil, dan bahkan, jika mengikuti akal bulus anti demokrasi pendukung nilai ambang batas, justru membuka peluang besar untuk pemakzulan presiden.
Secara substantial nilai ambang batas itu mendisain Presiden Indonesia tak ubahnya menjadi raja. Itu tak indah sama sekali. Karena itu marilah kita semua membujuk Indonesia agar mau berdemokrasi secara substantif. Setuju?
Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.