Sultan: Kelampauan Dan Kekinian

  • Bagikan

Oleh Budi Agustono

Namun panggilan sultan kekinian dengan sultan kelampauan sangat berbeda. Jalan menempuhnya juga berlainan. Sebutan sultan kekinian sebagian besar kalau bukan semua orang muda berusia di bawah empat puluh tahun

Raja adalah sebutan penguasa tertinggi monarki di Timur Tengah, Eropa, Asia, dan Asia Tenggara. Di nusantara karena pengaruh Budha dan Hindu kerajaan-kerajaan seperti Mataram kuno, Sriwijaya, Majapahit, Kediri, Kutai, dan lainnya pemilik kekuasaannya disebut raja.

Sebutan raja perlahan memudar sewaktu berlangsung Islamisasi di Asia Tenggara. Di Thailand Selatan, Malaysia, dan Nusantara penguasa kerajaan berganti nama menjadi sultan. Sultan nama panggilan penguasa monarki, sedangkan kesultanan adalah wilayah juridiksi penguasa monarki.

Kedudukan raja dan sultan relatif sama. Sultan atau kesultanan tetap berbasis monarki dan feudal. Sirkulasi kekuasaan selalu jatuh ke tangan orang yang hubungan darahnya dekat dengan sultan. Jabatan-jabatan tinggi birokrasi diserahkan ke kerabat sultan.

Semakin jauh relasi darahnya dengan sultan seseorang tidak mempunyai kedudukan dalam birokrasi tradisional kesultanan.

Dalam ekologi kesultanan feodalisme berakar kuat. Jabatan, gelar dan pangkat merupakan simbol status seseorang. Jabatan, gelar dan pangkat mengalirkan kehormatan, harta, gengsi sosial dan sumber pendapatan.

Masyarakat feodal menganut pola hidup konsumtif dan bertakuk-takuk pelapisan sosial masyarakatnya. Sewaktu modernisasi menggilas wilayah kesultanan di abad kesembilan belas para penyangga budayanya beradaptasi, meskipun memertahankan pola hidup mewah.

Simbol modernitas plesiran, berkendaraan, konsumsi, berfoya, wibawa bersama asesoris feodalistiknya ditegakkan dan diperlihatkan ke publik agar terus memompa status sosial. Jika kerabat sultan berpendapatan kecil dan tidak cukup membiayai hiduo mewah tidak ada jalan lain kecuali berutang kepada pemerintah kolonial Belanda.

Berutangnya para kerabat dekat sultan kepada pemerintah kolonial tidak saja menyebabkan semakin terikat dan lemahnya daya tawar politik juga membuat mereka bergantung kepada penguasa kolonial. Pada abad kesembilan belas kebanyakan sultan pernah berutang kepada pemerintah kolonial Belanda.

Dalam kekuasaan tradisional menjadi sultan bukan persoalan mudah. Bakal calon calon sultan bukan orang sembarangan. Bakal calon penguasa mempunyai kesekten, sakti dan memiliki kekuatan magis menambah wibawa sehingga mudah menerima sesuatu yang gaib saat pertanda kekuasaan mendekat dengannya.

Dalam konsep kekuasaan Jawa calon raja (sultan) yang akan menerima kekuasaan lebih dulu beroleh wahyu (pulung) ke tubuhnya sebagai pertanda amanat menjalankan kekuasaan. Orang yang menerima wahyu (pulung) adalah orang sakti dan berilmu tinggi.

Raja (sultan) merupakan penjelmaan tuhan di bumi sekaligus penjaga jagad makrokosmos dan mikrokosmis. Tanpa memiliki kekuatan penjaga dua jagad kekuasaannya tidak bertahan lama akibat diguncang kekuatan lain.

Tersebab itu jika ada sinar kekuatan lain di luar dirinya akan dapat mendisrupsi jalannya kekuasaannya. Sultan harus mampu menyatukan berbagai sinar kekuatan terserap dalam tubuhnya. Makin terserap berbagai kekuatan dalam dirinya makin kuat dan tak tergoyahkan pengaruh kekuasaannya.

Sultan tidak saja sebagai penjaga keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos. Ia mempunyai banyak fungsi yakni sebagai panglima perang, pemimpin agama, pemuka adat dan sumber orientasi kebudayaan. Multifungsi kedudukannya seperti ini membuat ia harus berhati-hati menjaga kata.

Antara kata dan tindakan harus menyatu. Perkataan sultan adalah titah yang harus dilaksanakan. Karena titah ia tidak bisa berkata sembarangan. Perkataan salah dapat mengundang kekacauan dan malapetaka negeri.

Malapetaka negeri ditandai dari menurunnya sinar kekuasaan sultan dengan munculnya kerusuhan, ketidakamanan, dan perebutan kekuasaan dalam internal keluarga. Jika ini terus melebar dan tak terkendali kekuasaan sultan akan menyusut dan dapat berujung kematian dalam perebutan kekuasaan.

Bodong

Sosok sultan yang karismatik, tradisional feodal, dan sumbu kebudayaan bersamaan dengan berubahnya waktu setelah republik berdiri terus menurun dan tak lagi mampu bertahan menyalakan sinar kekuasaannya.

Saat ini tidak ada lagi sultan yang memegang kendali politik lokal, kecuali Sultan Hamengku Buwono X sebagai Sultan Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa Yoyakarta secara turun temurun.

Ini bisa terjadi karena peran historis kesultanan Yogyakarta khususnya Sultan Hamengku Buwowo IX. Sementara kesultanan lainnya hanya menjadi pemimpin adat di masyarakat adatnya.

Jika sultan kelampuan terkait dengan tahta, wibawa dan sakral, kini saat era teknologi digital merambah warga seluruh planet sultan tak lagi berhubungan dengan atribut historis. Belakangan ini panggilan sultan sedang naik daun.

Namun panggilan sultan kekinian dengan sultan kelampauan sangat berbeda. Jalan menempuhnya juga berlainan. Sebutan sultan kekinian sebagian besar kalau bukan semua orang muda berusia di bawah empat puluh tahun.

Penampilannya tidak lagi tersungkup dengan pakai kebesaran adatnya dan macam regalia menempel di tubuhnya, melainkan penutup badannya dilambari busana bermerek dunia. Sepatu, dasi, jas, ikat pinging, kemeja, dan kaus kaki berharga super mahal.

Dalam keseharian sultan kekinian berseliweran memakai kendaraan super mewah, nongkrong di tempat bergengsi, berbelanja di pusat perbelanjaan modern papan atas, berplesiran dengan mobil mewah dan pesawat jet.

Mereka juga acap membagi uang atau benda lainnya ke publik yang diunggah ke media sosial (facebook, instagram, tiktok dan sebagainya) sekalugus menunjukkan mereka orang baik, murah hati dan selalu berbagi ke public.

Berbagai aktivitas dan apa saja benda mewah yang dikenakannya selalu dipamerkan ke publik dengan maksud menghipnotis dan memengaruhi pengikutnya. Dengan cara pamer kekayaan publik dibingkai selera sultan kekinian yang popular dengan sebutan orang super kaya, crazy rich.

Para sultan-sultan muda dan glamor ini menjadi perhatian dan perbincangan kalangan menengah atas yang terkesima berdecak kagum atas kekayaan yang dimiliki dalam waktu singkat.

Saat ini panggilan sultan sangat dekat di telinga publik. Orang muda berkendaraan mahal, berpakaian bermerk, dan selalu berbagi ke publik dijuluki sultan. Panggilan sultan kepada orang muda kaya telah menyebar sampai ke kota besar.

Jika ada orang muda bermobil dan memberi uang dan nongkrong di tempat bergengsi dengan busana rapi dipanggil sultan. Panggilan sultan mengalami disorientasi dan desakralisasi. Sultan kekinian sama sebangun dengan kekayaan.

Tidak ada lagi aroma kesakten (sakti), wibawa, berpulung dan sakral menempel dalam dirinya. Hanya kekayaan yang menghidupkan dirinya sebagai anak tangga menuju sultan kekinian.

Sultan super kaya kekinian menjadi incaran rasa ingin tahu publik mengakumulasi propertinya dalam waktu begitu cepat yang terkadang perolehannya di luar nalar manusia. Puluhan dan ratusan juta uang amat mudah dihamburkan seolah uang tidak bernilai.

Rasa ingin tahu inilah yang membuat kepolisian membongkar sumber kekayaan sultan kekinian. Hasilnya membuktikan sumber kekayaan mereka berasal dari investasi bodong yang merugikan banyak orang.

Sultan kekinian telah menyihir dan mengubah nasib orang menjadi cepat kaya tanpa kerja keras. Rupanya sihir itu tipuan yang menjerembabkan banyak kalangan berpunya tercebur dalam bisnis bodong.

Sultan kelampauan kian menghilang pamornya di tengah perubahan besar teknologi digital dan perubahan struktural bangsa, kemudian muncul sultan kekinian yang namanya melambung cepat seperti meteor tetapi lekas pula menghilang akibat hidupnya penuh tipu muslihat.

Penulis adalah Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

  • Bagikan