Sri Lanka Bergelora

  • Bagikan

Oleh Siuaji Raja

Sri Lanka bergelora. PM Mahinda Rajapaksa naik ke kekuasaan setelah pada tahun 2009 memadamkan aksi perlawanan LTTE di negara itu walau dengan pelanggaran HAM yang hebat yang menjadi pembahasan di Dewan HAM PBB

Akhir-akhir ini, Sri Lanka yang berpenduduk sekitar 22 juta jiwa mengalami krisis yang parah. Ribuan orang turun ke jalan menuntut pemerintah mundur. Kesemua 26 menteri mundur, pemerintah kehilangan mayoritas di parlemen beranggotakan 225 orang karena 41 menarik dukungan dan menjadi independen, sementara anggota parlemen lain mundur.

Parlemen menjadi ricuh, sementara kakak beradik Rajapaksa, masing-masing di jabatan PM dan Presiden bersikeras terus bercokol di jabatan mereka. Utang luar negeri makin menggelembung sejak tahun 2010, inflasi mencapai 17,5%, nilai tukar melonjak hebat, demokrasi lebih mengarah ke oligarkhi, korupsi di kalangan birokrat juga meningkat.

Listrik mati, antrian panjang untuk beli bensin, gas dan bahan kebutuhan sehari-hari yang harganya terus meroket terlihat dimana mana. Obat pun makin susah diperoleh, jutaan anak sekolah batal ujian karena kertas tidak ada. Pemimpin oposisi Sajith Premadasa menyatakan akan terus melakukan protes dan merencanakan untuk ajukan mosi tak percaya.

Dengan demikian lengkaplah sudah masalah yang membuat rakyat Sri Lanka menderita. Situasi ini dinilai terparah dalam sejarah Sri Lanka merdeka.

Pada tanggal 18 April 2022, Pemerintah melantik 17 menteri baru. Presiden akui kesalahan utama krisis adalah keterlambatan minta bantuan IMF (Sri Lanka tercatat telah melakukan 16 kali pinjaman dari IMF, mulai tahun 1965 hingga 2016).

Selain itu, penerapan kebijakan tanaman organik secara total di Sri Lanka, mulai Mei 2020, juga diakui pemerintah salah karena rakyat tidak siap sama sekali. Pemerintah hendak memperbaiki situasi dan ingin kembali mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.

Termasuk dengan tidak memasukkan lagi beberapa anggota keluarga Rajapaksa dalam kabinet yang baru, melakukan restrukturisasi utang dan merencanakan amandemen konstitusi. Tetapi apakah dengan demikian persoalan selesai? Jawabannya tentu tidak.

Mari kita lihat alasan terjadinya krisis ini dengan menganalisa data dan fakta ekonomi dan politik serta memproyeksikan solusi yang mungkin dapat diambil sebagai jalan keluarnya.

Keadaan Ekonomi Carut Marut

Ekonomi Sri Lanka tergantung pada pertanian, jasa, termasuk pariwisata dan industri ringan. Pertanian misalnya menyumbang sekitar 21 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan mempekerjakan 38 persen tenaga kerja.

Komoditi pertanian yang terkenal adalah teh, beras, kelapa, karet, rempah-rempah, apparel dan tekstil yang kini harganya merosot semua.

Di sisi hubungan luar negeri, Sri Lanka menyewakan pelabuhan Hambantonta kepada China selama 99 tahun yang sebelumnya ditolak dikelola oleh India dan AS karena tidak menguntungkan. Dari China, Sri Lanka kemudian memperoleh dana sebesar 1,12 miliar dollar AS untuk pengelolaannya.

Bandara dan pelabuhan yang terus dibangun oleh China jelas tidak bersifat urgen untuk Sri Lanka saat ini. AS menjuluki cara China membantu negara lain sedemikian ini dengan istilah ‘debt trap diplomacy.’ Sebelumnya, China juga telah memberi utang sebesar 8 miliar dollar AS untuk proyek infrastruktur Sri Lanka lainnya.

Dari total utang luar negeri Sri Lanka saat ini sebesar 51 miliar dollar AS, porsi ADB adalah 13%, obligasi internasional (international sovereign bonds) sebesar 47%, World Bank 9%, China 10 persen, Jepang 11 persen, India 3 persen, termasuk 1,5 miliar dollar AS pinjaman darurat yang baru diberikan berupa suplai komoditas penting seperti BBM, gas dan pangan serta obat-obatan.

Tujuh persen utang Sri Lanka diperoleh dari negara-negara lainnya. Sementara itu, tahun ini Sri Lanka dijadwalkan mesti membayar utang sebesar 7 miliar dollar AS dengan bunga sebesar 200 juta dollar AS.

Permainan Politik Yang Berani

Sri Lanka bergelora. PM Mahinda Rajapaksa naik ke kekuasaan setelah pada tahun 2009 memadamkan aksi perlawanan LTTE di negara itu walau dengan pelanggaran HAM yang hebat yang menjadi pembahasan di Dewan HAM PBB.

Ia kemudian seolah-olah mendapat legitimasi yang leluasa untuk mengendalikan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta media sebagai pilar ke-4 demokrasi yang makin signifikan di zaman ini.

Abang Mahinda, Gotabaya Rajapaksa, 72, jadi presiden dan menang besar dalam pemilu untuk kedua kalinya di bulan November 2019 dengan 2/3 suara mayoritas di parlemen. Gotabaya dekat dengan militer Sri Lanka dengan dukungan para bikku Buddha.

Merasa berada di atas angin keluarga besar Mahinda yaitu Chamal, Shashindra, Shameemdra, Namal, Yoshita, Bashil dan Nirupama bergabung dalam berbagai jabatan di birokrasi. Seseorang bisa membayangkan apa saja yang bisa terjadi jika nepotisme menggejala. Dari gejolak berbagai situasi ekonomi dan politik tersebut jelas yang menderita adalah rakyat.

Sejumlah Opsi Menuju Solusi

Mari kita lihat solusi yang mungkin untuk krisis ini, baik dari tinjauan internal maupun eksternal. Kajian internal menyarankan agar pemerintah saat ini mundur bersama elite lainnya sebagai satu langkah awal yang penting, walau tidak dapat langsung memperbaiki masalah.

Kemudian pemerintahan beralih kepada yang sanggup mengurus masalah akut ini, yang komposisinya bisa termasuk pihak oposisidan kelompok independen, sebelum merencanakan pemilu dalam waktu yang tidak berapa lama.

Hal lain yang mendukung adalah pentingnya konsultan sektor swasta yang diajak untuk membuat keputusan tentang bagaimana memotong biaya tinggi. Mendelegasikan keputusan tertentu kepada badan-badan non-politik dalam menetapkan suku bunga adalah merupakan langkah-lain yang bisa diterapkan.

Untuk urusan eksternal, Sri Lanka tak pelak lagi mesti melakukan langkah penyelamatan/penjaminan (bail out) dengan meminjam uang dari negara-negara tetangga, IMF, World Bank, ADB, dan otoritas lain di dunia yang dianggap tidak menyulitkan dan mendikte negara penerima.

Penalangan oleh IMF tentu dengan berbagai syarat pembaruan kebijakan ekonomi, termasuk restrukturisasi hutang dan intervensinya dapat saja mengkerdilkan fungsi pemerintah dan pemikiran kelompok pembaharu di dalam negeri.

Urusan dengan IMF biasanya merupakan the last resort, selalu susah dan sering dielakkan karena dampak ketergantungan pada berbagai pendiktean yang dilakukannya.

Penulis adalah Diplomat, Saat Ini Bertugas Di Darwin Australia.

  • Bagikan