Sia-sianya Peluang Emas Joko Widodo

  • Bagikan

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Semua peluang emas Joko Widodo telah tak ditunaikan. Orang mencari akar masalah, yakni oligarki

Mesin politik di belakang Joko Widodo bukan tidak berusaha sekuat tenaga menciptakan model komunikasi politik. Tetapi jika dilakukan flash back, mesin politik ini terus diterpa kesulitan-kesulitan serius yang tak dapat diselesaikan oleh bentuk-bentuk komunikasi politik apapun.

Penyebabnya perulangan ketidak konsistenan antara narasi dan tindakan belaka. Itu yang menyebabkan BEM UI, misalnya, menjulukinya sebagai King of Lip Service. Karena demonstrasi 11 April 2022 bukan protes pertama, maka pembuktian kegagalan mesin politik ini semakin mudah.

Dekonstruksi demi dekonstruksi memang terus dilakukan untuk memberi tafsir resmi pemerintahan atas kenyataan sosial, hukum, ekonomi dan politik. Pemaparan fenomena dengan tujuan glorifikasi Joko Widodo sembari ditingkahi opini-opini buzzer yang lebih menunjukkan kesiapan “berkelahi dan menista” ketimbang berdiskusi, menjadi pengalaman umum.

Fenomena identik penerapan kebijakn lawfare tidak sepi. Produk data membingungkan dari banyak lembaga survei pun kian hari tak berwibawa di tengah rakyat awam sekali pun. Semua ada batasnya.

Jika protes telah dimulai bahkan pada awal masa jabatannya sebagai Presiden RI, maka demonstrasi 11 April 2022 bukan sebagai akhir, melainkan titik awal yang belum bisa diprediksi signifikansi sumbangannya atas perubahan.

Talkshow dan Buka Puasa digelar Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ilmu Komunikasi Fisip UMSU membahas masalah ini Jum’at (21/4/2022) di Medan. Orang-orang di belakang talkshow bertajuk “Demonstrasi 11 April 2022, Apakah Kegagalan Pemerintah dalam Membangun Komunikasi Politik?” ini tidak ikut berdemonstrasi. Tetapi mereka tahu bagaimana bersikap atas nama dan dalam ranah keilmuan yang mereka pelajari.

Kinerja Mesin Politik Jokowi

Untuk derajat tertentu mesin politik di belakang Joko Widodo memang sangat berhasil. Terutama pada ranah pengorbitan dalam suksesi sejak diputuskan berhenti dari jabatan periode ke dua Walikota Solo dan memulai pemasaran di Daerah Khusus Ibukota (DKI) untuk merebut jabatan Gubernur DKI dari incumbent.

Pekerjaan bermodal besar untuk packaging dan imaging (political marketing) pada etape ini relatif tidak memerlukan perubahan bermakna untuk dilanjutkan dalam kuantitas dan kualitas yang sangat diperlukan untuk memerlihara kesetiaan konstituen setelah memenangi Pilgub DKI.

Di DKI Joko Widodo setiap hari dikondisikan seperti masih terus dalam iklim perkampanyean, yakni dengan mengarusutamakan pencitraan. Manuever memperkuat figuritas terus dilakukan dengan berbagai eksperimen yang tidak mempertimbangkan konfirmasi kadar rasionalitas.

Drama masuk gorong-gorong yang belakangan dianggap begitu lucu dan sama sekali tidak terkait dengan rencana perubahan untuk DKI, terutama terkait masalah banjir dan kebutuhan pembenahan yang sangat diperlukan warga.

Ketika belum tiba pada penghujung periode, Gubernur DKI Joko Widodo sudah didisain untuk beroleh tempat pada produk survei dan ditargetkan terbentuknya persepsi dan penerimaan luas senusantara untuk maju menjadi Calon Presiden.

Seperti halnya saat akan berangkat dari Solo, ketika dimunculkan untuk Pilpres Joko Widodo awalnya menegaskan bahwa ia tidak pernah berencana. Tetapi ia pernah berucap bahwa masalah klasik DKI, yakni banjir, serta-merta akan mudah ditanggulangi jika ia menjadi Presiden RI.

Joko Widodo bukanlah seorang yang tepat untuk dicalonkan memimpin Indonesia. Namun semua dapat diatasi, antara lain dengan fakta bahwa tokoh politik senior yang paling keras menolak pencapresan Joko Widodo, Jusuf Kalla, justeru mendampinginya menjadi Cawapres dan menang.

Setelah menjadi Presiden dengan meninggalkan kemeja kotak-kotak untuk beralih ke kemeja lengan panjang bergulung berwarna putih, Joko Widodo berurusan dengan sejumlah janji di balik Nawacita dan doktrin Trisakti yang antara lain selalu dibahasakan dengan sebuah kemasan magic words “kerja, kerja, kerja”.

Tetapi tahun-tahun pertama kepemimpinannya telah muncul resistensi yang tak terbatas dari lingkaran luar. Bahkan 15 organisasi pemenangannya dalam sebuah Jambore di Cibubur tahun 2015 mengeluarkan maklumat yang secara substantif memberi teguran serius.

Mereka antara lain meminta evaluasi kebijakan yang tidak mendukung implementasi Tri Sakti dan Nawacita. Percepatan pembangunan ekonomi yang mengedepankan semangat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Utang yang mestinya hanya pelengkap terhadap kekuatan modal nasional, dan desakan realisasi tanah untuk rakyat.

Ketum DPP IMM Benny Pramula pada akhir tahun 2015 kerap turun ke jalan meneriakkan “Tarik Mandat dan Luruskan Kiblat Bangsa”. Tahun 2018 Zaadit Taqwa, Ketua BEM UI, mengacungkan “Kartu Kuning” kepada Joko Widodo saat Dies Natalis kampus itu. Meski dibully, tindakannya dapat dihubungkan dengan kemunculan protes-protes sesudahnya.

Kapitalisasi Isu Intoleransi

Merebut periode kedua semakin nyata kesulitan untuk mengorbitkan Joko Widodo sehingga mesin politik di belakangnya justru memilih politik identitas yang dicacimakinya sebagai solusi.

Fenomena pembubaran HTI dan perlakuan-perlakuan terhadap Habib Rizieq Shihab hanyalah salah satu dari banyak contoh yang menjelaskan betapa kapitalisasi ideologi dimanfaatkan untuk eliminasi perlawanan sembari mengencangkan isyu-isyu anti intoleransi.

Penerimaan publik atas tuduhan ekstrimisme ideologis seperti ini dianggap sangat penting. Tetapi dengan itu pula ekstrimisme lain terus dimuliakan. Misalnya ekstrimisme ekonomi yang melahirkan ketidakadilan dan penderitaan massif di tengah rakyat. Keanehan semakin dipandang biasa, mayoritas rakyat yang beragama Islam menemukan diri dan agamanya menjadi bahan caci-maki tanpa reaksi hukum proporsional.

Memang kapitalisasi isyu intoleransi adalah fakta global yang sedang bergeser ke arah lain meninggalkan gaya 911. Kini semakin disadari, oleh elit politik, media dan rakyat, bahwa demonstrasi sebagai bentuk ketidakpuasan di tengah keterbelahan rakyat (Cebong vs Kampret) yang terawetkan, ditingkahi oleh fenomena yang amat mirip lawfare.

Termasuk pengabadian isu-isu berbasis Islamofobia dalam segala bentuknya, hanyalah fungsi dari beratnya kondisi sosial, politik dan ekonomi yang bukan tandingan bagi kecerdasan manuever mesin politik yang sudah amat jenuh.

Demonstrasi 11 April 2022 tentu saja tidak akan berbicara eksplisit tentang nasib umat Islam secara khusus. Tetapi “bahasa persatuan” mereka pasti dapat memelihara nurani yang mementingkan penghargaan atas HAM dan perlakuan yang adil dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Kanalisasi Yang Gagal

Demonstrasi 11 April 2022 telah terbaca kedahsyatan skalanya jauh-jauh hari, yang untuk itu mesin politik di belakang Joko Widodo berusaha meredam dengan mengundang Cipayung Plus bertemu di istana.

Tetapi justru manuever politik ini menjadi catatan yang memperkokoh sikap mahasiswa untuk melakukan perlawanan lebih dahsyat. Mereka tentu ingat semua manuever yang sama sebelumnya. Karena itu komunikasi mahasiswa dari berbagai kampus dan lapangan demonstrasi justru semakin memperluas jejaring, karena emak-emak dan komponen masyarakat lainnya hingga pelajar berusaha ikut andil.

Mungkin big data milik Luhut Binsar Panjaitan dan manuever politik sejumlah menteri dan mobilisasi komponen masyarakat termasuk Asosiasi Kepala Desa se Indonesia harus dicatat sebagai kayu bakar efektif untuk gelombang demonstrasi 11 April 2022 dan etape-etapenya ke depan.

Sudah pasti, ketiadaan jawaban memuaskan dari Joko Widodo soal penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden melalui amandemen konstitusi diyakini telah berandil besar untuk gelaran berskala nasional demonstrasi 11 April 2022.

Kelanjutannya pun akan mendiversifikasi diri untuk peramuan berbagai isyu yang berusaha menghubungkan ucapan mahasiswa dengan public interest se Indonesia. Nanti, lagu potong bebek angsa yang diplesetkan akan semakin menggema di lapangan: “Potong bebek angsa/angsa di kuali/gagal ngurus bangsa minta tiga kali/”

Oligarki Mau Bikin Apa Lagi?

Salah satu sorotan yang dipastikan difahami oleh semua elemen demonstrasi 11 April 2022 ialah keberadaan oligarki. Mereka dipandang menggagalkan Indonesia mencapai cita-cita kemerdekaan.

Ditambah kesulitan ekonomi dan berbagai permasalahan yang tak terjelaskan oleh pemerintahan Joko Widodo dengan baik, khususnya soal kelangkaan minyak goreng dan kenaikan indeks harga-harga komoditas tertentu, kebijakan impor bahan pangan, pemerioritasan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) tanpa kejelasan biasa, perbincangan mekanisme pelaksanaan dan kualitas proyek infrastruktur yang bersadar pada modal asing dan utang, dan lain-lain.

Karena itu demonstrasi 11 April 2022 tidak semata-mata sebagai kegagalan komunikasi politik pemerintahan Joko Widodo. Hal itu lebih pada ketidakmungkinan membantah fakta-fakta masalah berat yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, apalagi mengkapitalisasinya untuk dukungan politik.

Penutup

Widodo’s smoke and mirrors hide hard truths diterbitkan Asia Times 23 Januari 2018 menyoroti Presiden Joko Widodo yang oleh Mcbeth disebut telah menjadi master atau ahli dalam permainan asap dan cermin (smoke and mirrors) yang diadopsi dari trik yang digunakan para pesulap. Permainan ini ingin meyakinkan halayak bahwa sesuatu benar-benar terjadi atau berhasil dicapai walaupun pada kenyataannya berbeda.

Semua orang di luar pemerintahan kini dengan lancar juga dapat berkata bahwa tujuan pembentukan Negara dan Pemerintahan Indonesia saat dimerdekakan tahun 1945 telah terbengkalai di tangan mesin politik di belakang Joko Widodo.

Rakyat menginginkan bahasa dan program yang jelas menghapuskan segala bentuk penjajahan, perlindungan bagi segenap bangsa dan tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, pencerdasan kehidupan bangsa, dan tanggungjawab dalam usaha menertibkan dunia sebagaimana dinukilkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Semua peluang emas Joko Widodo telah tak ditunaikan. Orang mencari akar masalah, yakni oligarki.

Penulis adalah dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan