Menu
Pusat Berita dan Informasi Kota Medan, Sumatera Utara, Aceh dan Nasional

Sertifikat Halal Atawa Haram

  • Bagikan

Wahai manusia, makanlah dari makanan yang halal dan baik yang terdapat di Bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah Setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu” (QS. al-Baqarah/2: 168)

Entah karena iseng atau sekedar sinisme atau betul-betul ingin tahu, pertanyaan seperti judul di atas selalu saja hadir dalam setiap diskusi tetang produk halal terutama jika berkaitan dengan sertifikat halal.

Rupanya, ungkapan ini juga muncul di kalangan legislatif saat membahas sertifikat halal ini. Begitulah dilihat dalam salah satu dialog tentang sertifikat halal, jelasnya tentang logo halal, beberapa waktu lalu di media kaca.

Jadi teringat dulu ungkapan dosen sosiologi saya sewaktu kuliah di tingkat magister, ketika ia membedakan Aceh dengan Medan. Katanya kalau di Aceh “semuanya tidak boleh kecuali…”, sedang di Medan “semuanya boleh kecuali…”. Ungkapan ini nampaknya bisa dijadikan pengayaan pemahaman judul di atas.

Logika orang yang mengatakan “yang penting ialah sertifikat haram”, karena di Indonesia mayoritas Muslim, jadi sudah pastilah yang mayoritas yang halal juga, jadi yang perlu dikecualikan “yang haram”, jadi bisalah sertifikat haram. Begitu narasi disampaikan.

Sekilas memang sangat logis. Namun yang namanya pendapat, pasti ada kelemahan sekaligus kekuatan. Kelemahan pertama pada proposisi yang mengatakan “Indonesia mayoritas Muslim, jadi sudah pastilah yang mayoritas yang halal juga”. Kelemahannya terletak argumentasi, yaitu kalimat “…jadi sudah pastilah yang mayoritas yang halal juga”.

Mengapa ? Karena faktanya yang memproduksi makanan bukan mayoritas Muslim, yang mayoritas Muslim ialah “yang memakan makanan” bukan “yang memproduksi makanan”. Ambillah contoh, pedagang kue dalam skala besar bukanlah Muslim, seperti bolu, lapis legit, dan sebagainya. Ditambah lagi burger, es krim, dan lain-lain. Begitu juga rumah makan Islam seperti Rumah Makan Minang sudah disalib oleh kentucky, dan sebagainya.

Kehalalan makanan paling tidak diukur dengan dua pendekatan, yaitu “zatnya atau unsurnya” dan “proses membuatnya”, apakah bercampur dengan unsur lain yang tidak halal atau tidak. Karena itulah, ada dua cara mengukur kehalalan makanan, yaitu uji lab dan uji lapangan saat proses pembuatan.

Uji lab memastikan tidak ada unsur yang diharamkan, misalnya lemak babi atau unsur memabukkan. Sedang uji proses pembuatan dipastikan bahwa tidak bercampur dengan yang diharamkan. Ambillah contoh sederhana “bika ambon”. Bika ambon, ada yang memiliki sertifikat halal dan ada yang tidak.

Mengapa ?

Bukankah unsurnya sama dibuat dari tepung, telor dan gula. Iya sama, yang membedakan ialah pada proses pembuatan, terutama saat pengadonan atau pengadukan bahan-bahan tersebut, ada yang menggunakan media yang haram, yaitu tuak (nira yang sudah pahit) dan ada yang menggunakan air kelapa.

Yang menggunakan tuak pasti tidak memiliki sertifikat halal, karena dalam proses pembuatan menggunakan media yang haram yaitu tuak. Sedangkan yang menggunakan media air kelapa akan memiliki sertifikat halal, karena air kelapa tidak diharamkan.

Untuk memudahkan pemahaman mungkin perlu diajukan contoh lain, yaitu sertifikat halal belacan. Belacan yang memiliki sertifikat halal ialah yang memiliki dua pendekatan di atas, yaitu uji lab dan uji lapangan saat proses pembuatan. Dari segi unsur, semua unsur belacan sama, yaitu dibuat dari ikan atau udang.

Jadi sudah bisa dipastikan halal. Lalu masalahnya ialah pada proses pembuatan. Tidak jarang terjadi saat penjemuran dilakukan di atas tanah yang bebas dilalui binatang, yang memungkinkan belacan bercampur dengan kotoran, apalagi binatang anjing yang lalu lalang.

Dari sinilah kemudian muncul teori yurispruensi Islam bahwa yang haram terbagi dua, yaitu “haram lizatihi” (haram karena unsurnya haram) dan “haram lighayrihi” (haram karena bercampur dengan yang haram, walau ia awalnya halal). Jadi secara teori, bika ambon yang tidak memiliki sertifikat halal berarti dalam prosesnya bercampur dengan yang haram, seperti tuak tadi.

Dengan demikian, berpijak pada proses di atas yang dilakukan untuk memastikan tidak ada unsur haram dan unsur dan proses, maka sebutan yang tepat ialah sertifikat halal, sebagai suatu bukti tertulis bahwa sudah dilakukan uji lan dan uji proses.

Selain itu, urusan halal haram adalah urusan Tuhan, dan persoalannya ialah pada “dorongan mengonsumsi yang halal dan larangan mengkonsumsi yang haram”, sebagaimana dijelaskan al-Qur’an surah al-Baqarah/2: 168, yang artinya:

Wahai manusia, makanlah dari makanan yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti lagkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu”.

Sebab itu, penetapan halal memiliki pertanggung jawaban kepada Allah, dan di sini “kata halal” dipertaruhkan, bukan kata haram. Jadi yang perlu ialah srtifikat halal. Secara operasional, penetapan halal paling tidak melibatkan tiga unsur atau lembaga terkait sesuai tupoksinya.

Pertama, Badan Penyelenggara Jaminan Halal (BPJH) sebagai administrator Kemenag RI yang berwenang secara adminisitratif. Kedua, lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang uji lab. Tentu yang ahli dalam bidang ini. Ketiga, MUI yang berwenang secara hukum menetapkan halal dan haram.

Semuanya sudah barangtentu memutuhkan biaya. Secara adminisitrasi bisa gratis karena ditangani oleh pegawai BPJH yang notabene sebagai ASN atau PNS, namun secara uji lab tentu tidak bisa gratis. Besar kecilnya ditentukan oleh seberapa banyak unsur yang dilakukan uji lab.

Begitu juga dengan uji halal oleh MUI, sudah pasti mereka memebutuhkan petemuan untuk musyawarah. Kehadiran di pertemuan tentulah membutuhkan biaya, karena tidak semuanya ASN. Dalam salah satu list yang beredar di media, biaya untuk rapat MUI sebesar Rp385.000.

Berarti jika yang hadir rapat 10 orang, transpornya hanya Rp38.500 perorang, termasuk beli minuman mineral dan snack waktu rapat. Mungkin ini pekerjaan manusia setengah dewa, bagi yang percaya dewa. Mungkin saya menyebutnya malaikat, karena saya tidak percaya dewa.

Jadi jika ada selebaran yang mengatakan biaya sertifikat halal setelah di BPJH hanya Rp450.000 dengan skema di atas, bisa dipastikan tidak ada uji lab dan tidak ada musyawarah anggota fatwa MUI untuk menentukan kehalalan.

Dengan kata lain, hanya sejenis “jual kertas sertifikat”. Atau semua biayanya ditanggung oleh negara melalui BPJH. Jika ini yang terjadi bisa saja, walau mustahil secara matematis. Atau semuanya dibiayai oleh lembaga BPJH, ini yang paling memungkinkan, walau masih diajukan satu pertanyaan “mampukan BPJH dengan anggaran yang demikian membayar semua biaya tersebut”.

Sejarahlah yang mencatat kelak…!

Penulis adalah Guru Besar UIN SU.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *