Revitalisasi Lapangan Merdeka Medan

  • Bagikan

Nihilnya informasi komplit tentang dokumen revitalisasi Lapangan Merdeka Medan membuat publik memertanyakan dan menduga-duga tentang tujuan revitalisasi ini

Merdeka Walk Resmi Tutup, demikian berita utama harian Waspada (Rabu 22 Juni 2022). Penutupan Merdeka Walk di Lapangan Merdeka Medan (LMM) menunjukkan tidak ada lagi kegiatan puluhan gerai kuliner di siang dan malam hari.

Penutupan ini merupakan hasil keputusan rapat Pemerintah Kota (Pemko) Medan mensikapi perdebatan publik tentang lapangan bersejarah ini. Perdebatan publik soal LMM sebagai situs sejarah dan cagar budaya masih terus berlangsung sampai hari ini

Sejak berdirinya di masa Wali Kota Abdillah Merdeka Walk dalam perjalanannya memunculkan perdebatan publik. Pemerintah setempat untuk menaikkan pendapatan daerah, memercantik kota dan mengenalkan ragam kuliner membuka LMM menjadi lokasi pusat jajanan kuliner di jantung kota.

Merdeka Walk mampu menyedot warga dan pengunjung dari berbagai tempat yang melancong ke Medan akan tergoda mendatangi dan menyantap aneka kuliner. LMM berubah menjadi lokasi gemerlap, terang, warna warni, bercahaya, tempat hiburan, dan destinasi wisata kota.

Para pelancong atau wisatawan berasal dari daerah jika ke Medan akan menghabiskan waktunya ke lapangan yang asal muasal kreasi dari pemerintah Belanda di Sumatera Timur di paruh ketiga abad ke sembilan belas.

Tua, muda, keluarga dan siapa saja yang belum pernah mendaratkan kakinya ke tempat ini akan berusaha menyambangi dan menikmati kuliner di LMM. Akses ke Merdeka Walk mudah. Banyak angkutan umum yang melewati jika menuju stasiun Kereta Api dan Kantor atau tujuan lainnya selalu melintasi lapangan ini.

Di sekeliling LMM ada beberapa hotel dan bank, stasiun kereta, kantor pos, plaza, perbelanjaan lama (Pasar Ikan), kota lama Kesawan, apartemen, perkantoran dan sebagainya yang sangat berperan penting menymbang keramaian Merdeka Walk.

Tamu hotel jika ingin mencari makanan barat, oriental dan lokal cukup berjalan kaki bila bermalam di hotel sekitarnya. Orang kantoran dapat beristirahat dan makan, malah setelah usai kerja dapat berkumpul sembari nongki-nongki sambil menyeruput minuman dan makanan ringan.

Merdeka Walk merupakan lokasi nyaman untuk berkumpul dengan sesama kawan. Juga para pedagang dan pembeli dari luar kota bila berbelanja ke Pasar Ikan Lama yang saban harinya dipadati pengunjung dapat memilih jenis kuliner disukai di Merdeka Walk.

Ini belum lagi para orang muda, keluarga dan komunitas di malam (libur) biasanya memadati dan mencari kuliner kesesenangannya di Merdeka Walk. Ia tak pernah sepi dari pemburu kuliner. Situasi inilah yang menyemarkkan dan meramaikan Merdeka Walk sehingga menjadi destinasi kuliner andalan kota Medan.

Selain Merdeka Walk di sisi Barat, di sisi Timur berdiri kios nuku permanen pindahan dari Titi Gantung dan lokasi parkir. Ada lagi kantor instansi pemerintah dan pos polisi membuat makin banyak jumlah bangunan di dalam LMM.

Persoalan utama yang menjadi perdebatan publik adalah jumlah puluhan gerai kuliner, lokasi parkir, kios buku, kantor instansi pemerintah dan sebagainya dianggap merusak lingkungan dengan matinya pohon Trembesi berusia ratusan tahun dan menghilangkan nilai historis LMM.

Berdirinya puluhan bangunan di empat penjuru angin mengoyak dan menghilangkan nilai kesejarahannya LMM sebagai ruang publik di tengah kota. Inilah yang menyobek dan menggerus nilai kesejarahannya.

Publik semakin dekat dengan ragam kuliner di Merdeka Walk, tetapi waktu bersamaan karakter dan bobot kesejarahannya makin menipis bahkan tak lagi dikenal publik. LMM hanya dikenal lokasi kuliner dan minuman, sedangkan nilai kesejarahannya terus menghilang.

Menghilang lantaran ditindih tegaknya puluhan beton bangunan gerai kuliner dan gedung permanen lainnya. Hal inilah yang merisaukan dan mencemaskan komunitas pecinta kota dan organisasi bukan pemerintah yang bergerak pada isu advokasi perkotaan menyaksikan kondisi kekinian LMM. Dari sinilah akar struktural muncul perdebatan dan penolakan Merdeka Walk.

Perlawanan

Nilai kesejarahan LMM harus dikembalikan sebagai situs sejarah dan cagar budaya. Semua gerai kuliner dan gedung tambahan yang berdiri di atasnya dipindah ke lokasi lain. Dengan demikian LMM akan tampak asri dan bermakna sebagai situs sejarah atau cagar budaya.

Saat ini Merdeka Walk tutup dan tidak beroperasi lagi. Meski tak beroperasi bukan berarti LMM dikosongkan tanpa ada berdiri lagi bangunan di atasnya. Mendekati penghentikan aktivitas Merdeka Walk, tersiar kabar ke publik LMM akan direvitalisasi yang disebut Revitalisasi Lapangan Merdeka (RLM).

RLM ini merupakan sinyal LMM tidak dikosongkan seperti layaknya lapangan bersejarah yang menjadi cagar budaya. RLM menegaskan LMM akan tetap menjadi ruang publik yang di dalamnya akan tetap berdiri bangunan baru lain yang rancang bangunnya lebih baik dari Merdeka Walk.

Meski ada gagasan atau konsep RLM namun sampai sekarang dokumen rancang bangunnya tidak pernah sampai ke publik. Padahal publik ingin sekali mendapatkan rancang bangunnya untuk mengetahui apa saja yang akan direvitalisasi, apa ada tambahan gedung dan fasilitas umum lain atau jika ada bangunan baru dipakai sebagai apa.

Nihilnya informasi komplit tentang dokumen revitalisasi Lapangan Merdeka Medan membuat publik memertanyakan dan menduga-duga tentang tujuan revitalisasi ini. Padahal dalam pemeliharaan dan perlindungan bangunan bersejarah peran masyarakat atau komunitas menempati posisi mitra dan bersama dalam menjaga, merawat dan melindunginya.

Tersebab itu sebelum pelaksanaan RLM yang mengagendakan mendatangkan Presiden untuk peletakan batu pertamanya, Pemko Medan hendaknya, pertama, menginformasikan desain atau rancang bangun RLM ke publik menjaring masukan dan mendengar respons publik agar sedari mula terbangun komunikasi dan partisipasi publik.

Kedua, setiap kali menggagasi program baru tentang bangunan bersejarah harus melibatkan masyarakat atau komunitas. Pemerintah kota sebaiknya menanggalkan sikap sebagai otoritas tunggal dalam penentuan pengambilan keputusan atas bangunan bersejarah, tetapi harus membuka pelibatan publik secara demokratis untuk masa depan bangunan bersejarah.

Jika pemerintah kota bermain sendiri dalam projek revitalisasi akan memantik perdebatan malah percekcokan publik dengan masyarakat (organisasi non pemerintah, komunitas pecinta kota, dan penggiat kebudayaan dan sebagainya) yang peduli dan mengadvokasi situs sejarah (bangunan bersejarah dan warisan budaya)

Ketiga, situs sejarah harus dipertahankan dan tidak bisa dihancurkan seperti keinginan kebanyakan pengelola pembangunan hanya demi pembangunan kota. Tanpa pelibatan masyarakat pemerinatah kota mengabaikan aspirasi dan hak rakyat dalam akses pengelolaan bangunan bersejarah.

Keempat, diseminasi informasi konsep atau rancang bangun RLM ke publik jangan dianggap sebagai ancaman lantaran bermunculannya pendapat malah baku argumentasi antara pemerintah -rakyat.

Kalaupun ada memunculkan perdebatan publik itu tidak lain masukan atau aspirasi publik menyelamatkan nilai kesejarahan LMM agar tetap terjaga di tengah tolak tarik kepentingan ekonomi (modal besar).

Untuk pemertahanan dan penyelamatan situs sejarah dan cagar budaya sudah waktunya pemerintah kota membuka tangan berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk pemertahanan dan penyelamatan LMM sebagai jati diri kota.

Belajar dari pengalaman dan perjalanan Merdeka Walk yang memunculkan protes dan perlawanan budaya warga kota yang berujung kasusnya dibawa ke sidang pengadilan. LMM dimenangkan sebagai cagar budaya.

Penutupan Merdeka Walk menjadi pelajaran berharga yaitu jika pemerintah kota melakukan RLM tidak transparan, tidak menangkap aspirasi warga, dan tanpa melibatkan publik akan kembali memantik perlawanan kultural warga kota di masa mendatang.

Penulis adalah Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

  • Bagikan