Proyek Di Aceh Utara Bodong, Eko Minta PN Malang Batalkan Surat Pengikatan Jual Beli

  • Bagikan

MEDAN (Waspada): Gara-gara proyek pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Aceh Utara ternyata tidak ada alias bodong, Slamet Eko Purwadi, 66, warga Jl. Papa Biru No 59, Kelurahan Tulusrejo, Kecamatan Lowokwaru, Malang, Jawa Timur, meminta Pengadilan Negeri Malang membatalkan surat perjanjian dan surat pengikatan jual beli yang dibuat di hadapan notaris. Pasalnya, dalam penandatangan surat perjanjian dan surat pengikatan jual beli tersebut, Eko mengaku dipaksa dan diintimidasi sehingga asetnya dirampas secara paksa tanpa melalui prosedur hukum atau putusan pengadilan.

Akibat pengambilalihan aset secara sepihak itu, Eko mengalami kerugian lebih kurang Rp3,5 miliar sekaligus mengajukan gugatan terhadap Teuku Moekhtar (tergugat) dan notaris Sri Hendrowati SH, MKn (turut tergugat) ke Pengadilan Negeri Malang sesuai nomor gugatan: 27/Pdt.G/2022/PN Malang yang telah didaftarkan oleh tim kuasa hukumnya Husni Thamrin Tanjung SH, Shelvie Noviani SH dan Gustri Buana Hutasuhut SH dari Kantor Hukum SHS Medan.

Shelvie Noviani selaku kuasa hukum Slamet Eko Purwadi menuturkan, pengambilalihan aset milik kliennya secara paksa itu berawal dari rencana hadirnya proyek pengadaan barang dan jasa yakni perbaikan sungai dan Pantai Kuala Bungkah dan Proyek Pembangunan Rumah Sakit UNIMAL di Kabupaten Aceh Utara pada tahun 2017.

“Saat itu, tergugat sebagai kontraktor memenuhi syarat untuk mengerjakan proyek penunjukkan langsung pekerjaan tanggap darurat tersebut sehingga klien saya sebagai penggugat I mempertemukan tergugat dengan oknum-oknum yang mengaku dari Tim Nawacita,” ujar Shelvie kepada wartawan di Medan, Kamis (20/1).

Dijelaskan Shelvie, dalam pertemuan antara tergugat dengan diduga Tim Nawacita itu, diduga Tim Nawacita meminta biaya proses pengurusan proyek dimaksud dengan cara bertahap. Sebagian dananya diberikan langsung oleh tergugat dan penggugat kepada diduga Tim Nawacita dengan total keseluruhannya Rp 3,5 miliar. Penyerahan uang tersebut diberikan secara langsung yang dibuktikan dengan surat kuitansi dan sebagian lagi ditransfer ke rekening diduga Tim Nawacita yang dibuktikan dengan bukti transfer.

“Setelah penyerahan uang dengan total Rp3,5 miliar, ternyata proyek tak kunjung ada alias bodong sehingga tergugat mengundang klien saya sebagai penggugat bertemu dengan diduga Tim Nawacita pada Maret 2018 di Pasar Grosir Center (PG0C) Jakarta Timur. Dalam pertemuan itu, tergugat meminta kepada diduga Tim Nawacita agar segera mengembalikan dana Rp.3,5 miliar tersebut,” sebut Shelvie yang didampingi Husni Thamrin Tanjung SH dan Gustri Buana Hutasuhut.

Namun, tambah Shelvie, diduga Tim Nawacita tersebut tidak mau mengembalikan dana Rp 3,5 M tersebut kepada tergugat.

“Ironisnya, karena diduga Tim Nawacita tidak mau mengembalikan dana pengurusan proyek tersebut, tergugat memaksa penggugat agar mengembalikan dana tersebut dengan menggunakan uang pribadi penggugat, padahal, tergugat mengetahui bahwa dana tersebut telah diserahkan langsung kepada diduga Tim Nawacita, sementara penggugat tidak ada menerima bagian atau mengambil keuntungan dari uang proyek,” tegas Shelvie seraya menambahkan bahwa secara hukum kliennya sebagai penggugat tidak memiliki kewajiban untuk mengembalikan dana tersebut.

Shelvie menambahkan, pada 2 April 2018, tergugat memaksa penggugat untuk membuat surat pernyataan yang isinya penggugat mengembalikan dana yang telah diberikan kepada diduga Tim Nawacita dengan batas waktu 25 Juni 2018 serta diminta jaminan Sertifikat Hak Milik atas Rumah Susun No 8348/XI/J atas nama Anna Martiana Irawati (penggugat II).

Selanjutnya, tambah Shelvie, surat pernyataan yang sebelumnya dibuat pada 2 April 2018 disuruh ubah oleh tergugat dan diminta jaminan tambahan yaitu Sertifikat Hak Milik No 2058 rumah tinggal di Jl. Pemancar Komplek PU Pengairan No 24 Banda Aceh atas nama Slamet Eko Purwadi (penggugat I).
“Meski telah mengambil surat-surat berharga, pada awal Agustus 2019, pihak tergugat dengan membawa sejumlah orang tak dikenal yang mengaku orang suruhan dari Drs HMN oknum ketua partai politik di Provinsi Aceh, mendatangi kediaman penggugat I di Jl. Pipa Biru, Kota Malang. Saat itu, yang berada di rumah adalah istri penggugat,” terang Shelvie.

Kemudian, tambah Shelvie, pada 9 Agustus 2019, saat penggugat I dan anak penggugat usai melaksanakan shalat Jumat, penggugat I dan anaknya langsung dipegang oleh kelompok tergugat dan digiring ke kantor notaris Sri Hendrowati SH, MKn.

“Di kantor notaris, penggugat I dipaksa untuk menandatangani surat pengikatan jual beli, surat kuasa jual dan surat perjanjian. Setelah penggugat I dipaksa menandatangani surat-surat tersebut, selanjutnya penggugat I dibawa paksa oleh orang-orang suruhan tergugat ke rumah penggugat I bersama oknum notaris tersebut. Akhirnya, penggugat II terpaksa menandatangani surat-surat tersebut, ironisnya saat menandatangani surat-surat tersebut, tanpa dihadiri oleh tergugat. Selain itu, penggugat II tidak kenal dengan tergugat,” urai Shelvie.

Karena adanya dugaan perbuatan melawan hukum tersebut, maka penggugat I dan penggugat II mengajukan gugatan hukum secara perdata ke Pengadilan Negeri Malang untuk membatalkan surat-surat tersebut.

“Kami meminta agar PN Malang dalam putusanya nanti membatalkan surat-surat tersebut,” harap Shelvie.

Shelvie juga menilai tindakan oknum notaris yang melakukan penandatanganan surat-surat yang tanpa dihadiri para pihak di rumah penggugat II adalah merupakan salah satu bentuk paksaan dan mengangkangi kode etik notaris dalam membuat suatu perikatan atau perjanjian.

Selain mengajukan gugatan perdata ke PN Malang, Shelvie juga menyebutkan bahwa pihaknya telah mengirim surat somasi kepada oknum-oknum diduga Tim Nawacita agar mengembalikan dana Rp3,5 M yang telah diberikan oleh tergugat.

“Surat somasi telah diberikan kepada pihak-pihak diduga dari Tim Nawacita agar segera dikembalikan. Jika 7 hari tidak dikembalikan maka kami akan menyelesaikan masalah ini lewat jalur hukum,” pungkas Shelvie. (m27)
  • Bagikan