Dalam tarik dorong kekuatan dinasti dan militer, politik di Pakistan sebagai suatu negara yang memiliki nuklir, namun dengan 22% penduduk yang masih berada di bawah garis kemiskinan, keadaan politiknya memang lebih sering rentan
Baru-baru ini publik kembali menyaksikan guncangan politik dalam pemerintahan Pakistan yang berpenduduk sekitar 220 juta jiwa. Dikatakan kembali adalah karena guncangan di sana sudah terjadi berkali-kali.
Dalam sejarah Pakistan, seorang Perdana Menteri tidak pernah komplit memerintah selama lima tahun. Baru tiga dari 23 PM Pakistan yang telah bertahan berkuasa, itupun hanya sampai empat tahun, di samping terjadinya empat kudeta militer.
Kini belum lengkap empat tahun memerintah, PM Imran Khan (70) jatuh dari tampuk kekuasaan. Apa alasan dijegalnya Khan dari jabatan PM? Mari kita lihat kejadian itu dengan mengkaji faktor-faktor dominan yang berperan dalam politik Pakistan.
Faktor Dalam Negeri
Sejak tahun 1947 hingga 1955 Pakistan berhaluan sekuler. Baru pada tahun 1956, negara ini beralih menjadi Republik Islam dengan tetap mempertahankan sistem demokrasi parlementer.
Adalah suatu fakta bahwa selama ini politik di Pakistan didominasi oleh dinasti dan nepotisme. Yang pertama, dinasti Buttho yang terhubung dengan Pakistan People’s Party (PPP), saat ini dipimpin oleh Bilawal Bhutto Zardari (33), putra Benazir Bhutto dan cucu Zulfikar Ali Bhutto, keduanya mantan PM dan presiden.
Yang kedua adalah keluarga Sharif yang terasosiasi dengan Pakistan Muslim League – Nawaz (PML-N) dan saat ini dipimpin oleh Shehbaz Sharif, adik kandung Nawaz Sharif yang telah menjadi PM Pakistan selama tiga kali.
Keterlibatan militer yang cukup kuat dalam politik Pakistan adalah suatu fakta. Dalam setengah paruh waktu sejak tahun 1947 hingga kini, peranan militer di sana sangat nyata. Zia Ul Haq dan Pervez Musharraf adalah dua nama yang mendominasi. Ketika sipil muncul di pemerintahan, militer selalu dicurigai telah menjadi king-maker, mendukung secara terbuka maupun tertutup.
Dalam tarik dorong kekuatan dinasti dan militer, politik di Pakistan sebagai suatu negara yang memiliki nuklir, namun dengan 22% penduduk yang masih berada di bawah garis kemiskinan, keadaannya memang lebih sering rentan.
Kedatangan Imran Khan
Kedatangan Khan dengan partainya Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI) pada tahun 1996 dideklarasikan sebagai kekuatan politik ketiga yang minus urusan dinasti dan nepotisme.
Walau tampil dengan berbagai reformasi, Khan sering dianggap sebagai outsider dan lebih dipandang sebagai selebritas daripada negarawan. Khan disebut arogan dan tidak peka situasi, terkadang melampaui parlemen dan membuat undang-undang melalui peraturan eksekutif.
Ketika tampil sebagai orang nomor satu di Pakistan, Khan menjanjikan pemerintahan yang lebih baik dan tidak koruptif. Khan misalnya memperkenalkan Kartu Sehat, yang memberi keluarga Pakistan hingga 1 juta Rupee (sekitar $5.400) per tahun.
Namun kemudian, fakta menunjukkan terjadinya krisis pekerjaan, inflasi yang meningkat, dan cadangan devisa yang menipis. Pasar saham anjlok. Defisit perdagangan mencapai US$ 35 miliar; tertinggi dalam sejarah.
Kesulitan juga terus terjadi di dunia pendidikan, kesehatan, konektivitas jalan, selain air dan pasokan listrik. IMF menghentikan bantuannya tepat ketika para pejabat Pakistan akan merundingkan tahap dana talangan (bailout) berikutnya, senilai US $6 miliar.
Kejatuhan Imran Khan
Melihat berbagai kemerosotan yang diikuti dengan tuduhan salah urus ekonomi selama berbulan-bulan serta rongrongan politis baik dari dua Parpol besar di kubu oposisi maupun kalangan militer, Khan jatuh dari tampuk kekuasaan pada tanggal 10 April 2022.
Ter-erosinya dukungan militer untuk Khan bukan tanpa alasan. Penolakan Khan untuk calon yang diusulkan militer bagi Ketua Inter-Services Intelligence (ISI), sayap intelijen Pakistan, mungkin menjadi pemicu. Di samping itu, Khan dan militer juga berbeda pendapat tentang siapa yang harus menjadi panglima militer berikutnya.
Melihat perlawanan yang makin gencar dari berbagai sisi, Khan bermaksud membubarkan parlemen, dengan harapan bisa tetap berkuasa, walau dianggap kurang tepat dari sudut konstitusional. Mahkamah Agung Pakistan dengan komposisi lima hakim kemudian berhasil meloloskan mosi tak percaya terhadap Khan dengan dukungan 174 suara, dari total 342 suara.
Hal ini adalah karena partai Muttahida Qaumi Movement (MQM) yang tadinya berkoalisi dengan PTI, menarik dukungannya pada saat-saat kritis tersebut. Berhasilnya mosi tak percaya ini adalah untuk pertama kalinya dalam sejarah Pakistan.
PM Benazir Bhutto (1989) dan Shaukat Aziz (2006), tercatat lolos dari upaya sedemikian. Adalah fenomena yang menarik untuk dikaji ketika di masa lalu, MA Pakistan menggunakan istilah “hukum kebutuhan” untuk membenarkan kudeta dan pengambilalihan militer.
Pascalengsernya Khan, Shehbaz Syarif (70), yang tiga kali menjabat Gubernur Punjab, langsung disetujui menjadi PM care-taker pemerintahan hingga Oktober 2023, yakni menjelang pemilu yang baru.
Kedua partai besar PML-N dan PPP yang sebelumnya saling beroposisi, kini bersatu melawan Khan, dan menyetujui naiknya Shehbaz. Namun Shehbaz sendiri juga bukan tanpa masalah.
Salah satunya adalah tuduhan bahwa pada tahun 2020 Shehbaz melakukan pencucian uang, di mana kasusnya masih terus bergulir hingga saat ini.
Faktor Luar Negeri
Dalam kejatuhannya dari kursi PM, Khan sendiri kerap menyatakan ada konspirasi luar negeri. Isu Kashmir dengan India sedikit banyak dapat terbendung selama masa pemerintahan Khan. Karenanya, urusan bilateral kedua negara sama sekali tidak menjadi alasan kejatuhan Khan.
Koneksi Pakistan dan China belakangan ini memang terlihat lebih mesra, terutama dari sisi investasi, perdagangan dan militer. Terkait hubungan dengan AS, Khan sebelumnya diketahui menolak mendukung Washington untuk isu-isu mengenai Rusia dan China, termasuk Afghanistan.
Karenanya, Khan menyatakan bahwa kejatuhannya didalangi pihak AS yang menurutnya menghendaki suatu “regime change” di Pakistan. Tuduhan itu langsung ditampik oleh AS, apalagi Khan tidak pernah memberikan bukti. Jarak yang menganga antara Pakistan dan AS mulai terasa ketika pada tahun 2020, Khan menuduh AS, “meninggalkan” Osama bin Laden.
Setelah jatuhnya Kabul, Agustus 2021, Khan mendukung pengambilalihan Taliban dan mengatakan bahwa dalam mengalahkan AS, rakyat Afghanistan, telah “memecah belenggu perbudakan”.
Pasti ada keuntungan yang diharapkan Khan dengan bersikap demikian, tetapi belum tentu bisa diamini stakeholders yang berada di dalam negeri atau pihak asing lainnya.
Akhirnya dari pengamatan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa yang sangat berperan dalam kejatuhan PM Imran Khan adalah faktor-faktor di dalam negeri yang sudah lama eksis dan hendak terus unjuk gigi atau kontinu berada di “comfort zone” Pakistan.
Khan dan PTI pasti akan tampil lagi pada pemilu mendatang, tetapi tantangan atau tuduhan pada diri Khan dari pihak oposisi yang hendak meredamnya diperkirakan akan terus berlangsung.
Penulis adalah Diplomat Yang Saat Ini Bertugas Di Darwin, Australia.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.
Menarik sekali analisisnya, Pak Raja.