Polemik Penunjukan Penjabat KDh

  • Bagikan

Oleh Eddy Syofian

Mendagri dalam hal ini terkesan mau mengendalikan kepemimpinan di daerah (kabupaten/kota) menjadi sentralistik. Padahal ada posisi gubernur yang bisa bertindak dalam pengendalian apalagi gubernur juga wakil pemerintah pusat di daerah

Pekan ini di media massa beragam berita seputar pengangkatan penjabat gubernur, bupati dan wali kota. Karena para penjabat KDh (KDh) yang dipilih langsung oleh rakyat telah berakhir masa jabatannya. Mengingat pelaksanaan Pilkada gubernur bupati dan wali kota digelar serentak November 2024, maka untuk mengisi kekosongan tersebut harus ditunjuk Penjabat KDh sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 10 tahun 2016 pasal 201.

Sesuai data Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2022 ada sebanyak 101 KDh yang berakhir masa jabatannya terdiri dari 7 gubernur, 18 wali kota dan 76 bupati (di Sumatera Utara Wali Kota Tebingtinggi dan Bupati Tapanuli Tengah).

Sedangkan tahun 2023 sebanyak 170 KDh terdiri dari 17 gubernur, 38 wali kota dan 115 bupati (di Sumatera Utara, Gubernur Sumut, Wali Kota P.Sidempuan, Bupati Batubara, Bupati Paluta, Bupati Palas, Bupati Langkat, Bupati Deliserdang, Bupati Tapanuli Utara, dan Bupati Dairi)

Jika diakumulasikan terdapat 271 KDh yang akan lengser selama periode 2022-2023, terdiri dari 24 gubernur, 56 wali kota dan 191 bupati.

Pengangkatan Penjabat

KDh yang masa jabatannya berakhir sebelum Pilkada serentak pada 2024 digantikan oleh Pejabat KDh, aturan mengenai hal ini tertuang dalam UU No 10 tahun 2016 pasal 201 poin 9 yang berbunyi:

Untuk mengisi kekosongan Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati serta Walikota dan wakil walikota yang berakhir masa jabatannya 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berakhir pada masa Jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana diatur dalam ayat (5), diangkat Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati dan Penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024”.

Penjabat gubernur nantinya dipilih langsung presiden berdasarkan pengajuan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan kriteria Aparatur Sipil Negara (ASN) Pejabat Tinggi Madya atau setara Eselon I. Sedangkan pejabat bupati dan wali kota dipilih langsung Mendagri dengan kriteria ASN dari Pejabat Pejabat Tinggi Pratama atau Eselon II sebagaimana diatur dalam pasal 201 ayat (9) UU Nomor 10 tahun 2016.tentang Pilkada

Tugas, Wewenang & Larangannya

Sebagai Penjabat KDh yang bertugas mempersiapkan peralihan kepemimpinan sebelum Pilkada serentak nasional 2024, masa jabatan penjabat gubernur, bupati dan wali kota hanya satu tahun dan dapat ditunjuk kembali pada orang yang sama atau digantikan kepada orang lain sesuai kewenangan pejabat yang mengangkatnya.

Wewenang Penjabat KDh tertuang dalam Pasal 65 ayat (2) UU Pemerintah Daerah hampir sama dengan kewenangan dan tugas KDh defenitif. Hanya saja ada beberapa penekanan dalam persiapan pelaksanaan Pemilihan Umum dan Pilkada serentak, maka Penjabat KDh ditugaskan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, membantun penyelenggara Pemilu dan Pilkada dalam hal fasilitasi termasuk mengalokasikan anggaran dalam APBD setempat.

Hal yang sangat penting Penjabat KDh harus besikap netral dan memastikan para ASN yang berada di bawah kendalinya juga harus bersikap netral.

Adapun larangan bagi Penjabat KDh sebagaimana diatur dalam Pasal 132 A Ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No 49 tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian KDh dan Wakil KDh antara lain;

(a) dilarang melakukan mutasi; (b) membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perizinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya; (c) membuat kebijakan tentang pemekaran.

Namun kenyataanya dalam prakteknya, Penjabat KDh bisa melanggar ketentuan tersebut karena ketentuan larangan itu dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri.

Dengan demikian maka posisi Penjabat KDh sama kuatnya dengan KDh defenitif seperti mendapatkan fasilitas rumah dinas, mobil dinas, ajudan,dan dana operasional KDh, dan lain-lain.

Mengapa Muncul Polemik?

Pengangkatan Penjabat KDh yang habis masa jabatannya sebelum Pilkada 2024 telah mengabaikan prinsip otonomi daerah bahkan mengabaikan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.

Sejumlah gubernur ada yang kecewa bahkan ada yang menolak untuk melantik penjabat bupati dan penjabat wali kota di daerahnya, sebab usulan gubernur tidak diakomodasi pemerintah pusat (usulan Gubernur Sumut untuk Pj.Wali Kota Tebingtinggi dan Pj.Bupati Tapteng dengan enam pejabat OPD provinsi ditolak Mendagri, dan Mendagri menunjuk Sekda Kota/Kab setempat).

Publik juga bertanya apa kriteria Kemendagri menetapkan Penjabat KDh karena ada usulan gubernur yang diakomodir dan ada pula usulan gubernur yang tidak diakomodir tanpa ada alasan tertulis.

Akhirnya menimbulkan polemik dan dugaan seolah usulan gubernur yang diakomodir dinilai publik wujud dari hubungan harmoni gubernur dengan pemerintah pusat, sedangkan usulan gubernur yang tudak diakomodir sebagai bentuk dari sikap pemerintah pusat yang menilai bahwa selama ini hubungan atau komunikasi antara gubernur kurang harmoni.

Dugaan lainnya masuknya kepentingan partai politik di pusat yang ikut mempengaruhi kebijakan Kemendagri, karena ada kepentingan partai politik untuk dijadikan ladang tim sukses bagi kepentingan Pemilu Februari 2024 dan Pilkada November 2024.

Bahkan dugaan adanya manuver dari pejabat petahana yang bermain di pusat agar kepentingan politiknya bisa diakomodir oleh Penjabat KDh yang notabene pernah menjadi bawahan dan kadernya di birokrasi.

Bahkan ada juga yang berasumsi Kemendagri ingin agar tidak ada kepentingan politik tertentu dari pihak pengusul (gubernur) atau mencegah munculnya transaksional dalam proses pengusulan ini di daerah. Tapi ada juga berpendapat justru transaksional itu berpindah ke pusat yang dilakukan oleh broker yang bisa memanfaatkan pejabat pusat.

Semua dugaan tersebut bisa dieleminir bila pihak Kemendagri segera melakukan klarifikasi dan memberikan panduan yang transparan dalam proses penilaian pengangkatan Penjabat KDh, sebab bila tidak transparan dan mengabaikan prinsip demokrasi dan otonomi daerah, maka potensi “rentan dieksploitasi” demi kepentingan politik dan Pilkada 2024 dan Penjabat KDh tersebut dikhawatirkan menjadi “perpanjang tangan” dari proses politik di daerah

Kepemimpinan Sentralistik

Proses pengangangkatan Penjabat KDh akan terus berjalan hingga sebelum Pilkada serentak November 2024. Ada 271 Penjabat KDh yang akan dikendalikan oleh Mendagri. Mudah-mudahan pengawasan dan pengendalian ini diarahkan untuk kepentingan bangsa, kepentingan merawat jalannya demokrasi yang sehat dan bemartabat.

Mendagri dalam hal ini terkesan mau mengendalikan kepemimpinan di daerah (kabupaten/kota) menjadi sentralistik. Padahal ada posisi gubernur yang bisa bertindak dalam pengendalian apalagi gubernur juga wakil pemerintah pusat di daerah. Idealnya, Mendagri mestinya cukup mengoordinasikan tugas kewenangan pemerintah pusat di daerah kepada gubernur, bukan sebagai alat pengendali seperti masa Orde Baru.

Penutup

Pihak Kemendagri harus dapat memastikan masa jabatan Penjabat KDh yang Panjang (2,5 tahun) mereka harus dapat bekerja netral dan memegang komitmen untuk menyukseskan Pemilu dan Pilkada 2024. Pemilu serentak ini punya kompleksitas dan rentan menimbulkan permasalahan di masyarakat termasuk ditubuh birokrasi.

Penjabat KDh beserta jajaran ASN di wilayahnya, yang diduga masyarakat rentan tidak netral hingga menjadi alat politik untuk kepentingan Pemilu dan Pilkada, harus dibuktikan bahwa anggapan tersebut tidak terjadi. Mendagri harus bersikap tegas untuk membebastugaskan Pejabat KDh yang tidak netral termasuk para Pimpinan OPD dan ASN lainnya.

Kekhawatiran ini wajar merujuk data dari Komisi ASN mencatat telah terjadi 2.007 pelanggaran netralitas yang dilakukan ASN selama Pilkada 2020

Semoga kehadiran Penjabat KDh baik gubernur, bupati dan wali kota dapat diterima masyarakat dan bisa melanjutkan program pembangunan serta dapat menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dalam suasana yang harmoni dan kondusif sehingga pelaksanaan Pemilu Februari 2024 dan Pilkada serentak November 2024 dapat berjalan dengan lancar.

Penulis adalah Alumni S3 Konsentrasi Politik Pembangunan pada Program Studi Pembangunan FISIP USU, Pernah Menjabat Kadis Kominfo dan Kaban Kesbangpol Sumut, Penjabat Wali Kota Tebingtinggi dan Penjabat Walikota Pematangsiantar.

  • Bagikan