PLTA Peusangan Dituding Belum Bayar Ganti Rugi Lahan Masyarakat

  • Bagikan

TAKENGON (Waspada): Perusahaan Listrik Tenaga Air (PLTA) Peusangan dituding belum memberikan ganti rugi terhadap lahan masyarakat yang terkena pembangunan proyek strategis nasional tersebut.

Harjuliska tokoh pemuda setempat kepada Waspada, Minggu (16/4) mengungkapkan sejak 1998 proses ganti rugi sudah dilaksanakan, namun hingga hari ini masih ada beberapa persoalan sengketa lahan masyarakat yang belum menemukan tirik terang.

Harjuliska mewakili masyarakat sekitar area pembangunan reservoir melalui pesan whatsappnya menyebutkan ada beberapa persoalan sengketa lahan masyarakat dengan pihak PLTA dalam hal ini PT PLN Persero yang belum diselesaikan oleh PT PLN sendiri. “Seperti misalnya masalah ganti rugi rumah, selisih ukur, slip pembayaran, tanah yang tidak memiliki akses ketika pembangunan reservoir tersebut mulai aktif digunakan dan lain sebagainya,” kata Harjuliska.

Dikatakannya lagi yang perlu digarisbawahi bersama bahwa masyarakat setempat tidak pernah menghambat pembangunan strategis nasional tersebut (PLTA) Peusangan I dan II, justru sebagai warga negara yang patuh dan taat terhadap hukum yang berlaku.

“Kami sebagai masayarakat mendukung penuh hadirnya pembangunan tersebut di wilayah ini, khususnya di area reservoir yang nantinya akan menjadi ikon wisata kota tTkengon tercinta ini, seperti di Desa Sanehen, Wih Sagi Indah, Wihni Bakong, Wih Pesam, Kecamatan Silih Nara dan sekitarnya,” papar Harjuliska.

Sejauh ini masyarakat belum mendapat informasi terkait proses ganti rugi tersebut yang sebelumnya sudah cukup intens pembahasannya dan prosesnya. “Artinya masayarakat sudah jenuh menunggu dan menunggu yang hanya diberikan angin surga serta obat penenang,” kesalnya.

Harjuliska menambahkan implikasi hukum terkait dengan perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah maupun pelepasan hak atas tanah sama yakni hapusnya hak atas tanah dari subyek hukum yang bersangkutan dan status hukum obyek tanahnya menjadi tanah yang dikuasai oleh negara sebagaimana diatur Pasal 2 jo Pasal 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960.

Di samping itu, Harjuliska menjabarkan hal terpenting dari aktivitas atau perbuatan hukum pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan harus berpijak pada dasar konstitusional yakni Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 dan Pasal 28 H Ayat (4) yang dinyatakan: setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil-alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

” Pasal di atas menyebutkan dengan jelas bahwa hak milik seseorang dilindungi oleh hukum, maka apabila pemilik akan memanfaatkan haknya juga dilindungi oleh hukum. Ketika akan diadakan proyek pembangunan yang memerlukan hak milik terutama tanah maka sudah menjadi kewajiban negara untuk dapat membuat keputusan yang adil, hak milik dilindungi oleh undang-undang (pemerintah),” sebutnya.

“Artinya bagaimana mungkin masayarakat akan memberikan lahannya digarap untuk Proyek PLTA, sementara proses sengketa lahan mereka belum diselesaikan, melalui tahapan proses verifikasi dan validasi data yang melibatkan beberapa unsur dari forkopimda sudah terdapat sisa tanah masyarakat, rumah, imbas dan lain sebagainya yang belum diganti rugi oleh pihak PLTA sendiri. Dalam hal ini saya pikir sudah cukup jelas bahwa masyarakat memiliki “harta mereka yang belum diganti rugi oleh PLTA dalam hal ini PT PLN Persero,” tutup Harjuliska.

Hasil Verifikasi Baru Diterima

Sementara Manajer PLTA Peusangan Nanda Minggu (17/4) melalui pesan whatsappnya mengklarifikasi tudingan tersebut.

Menurutnya permasalahan tersebut sudah melalui proses verifikasi dan validasi oleh tim yang dibentuk oleh Bupati Aceh Tengah pada Juli 2021 lalu. “Namun hasil dari tim tersebut baru PLN terima pada Maret 2022, itupun masih direvisi lagi oleh tim tersebut dan revisi terakhir baru kami terima pada sekitar tgl 12 April 2022,” tulisnya.

Mengapa harus dibentuk tim verifikasi dan validasi? Menurut Nanda karena pada tahun 1998-2000 proses pembebasan dilaksanakan oleh tim pembebasan tanah yang dibentuk oleh Pemda Aceh Tengah juga, sehingga pada saat terjadi klaim dari masyarakat, PLN mengembalikan kepada Pemda sebagai pelaksana pembebasan tanah pada masa itu.

Kemudian, kata Nanda, yang perlu dicatat juga dalam hal ini adalah, berdasarkan hasil verifikasi dan validasi oleh tim tersebut tidak hanya menyebutkan selisih ukur kurang namun ada juga selisih lebih bayar. “Ini yang tidak disebutkan oleh masyarakat jadi seolah hanya PLN yang memiliki “kewajiban” yang harus diselesaikan di sana. Untuk proses selisih kurang/lebih ini saat ini sedang kami proses dengan pendampingan hukum Kejaksaan Negeri Aceh Tengah, hal ini kami lakukan agar semua proses yg dilalui tetap berada di dalam koridor hukum yg berlaku. PLN akan menyelesaikan kewajibannya, namun di sisi lain masyarakat juga harus patuh dan menjalankan semua keputusan hukum yg akan ditetapkan,” ungkapnya.

Satu hal lagi, tambah Nanda, berdasarkan hasil verifikasi luas total tanah pihaknya di lokasi tersebut sekitar 560.000 m2 dan selisih kurang hanya sekitar 9.000 m2. “Sedangkan selisih lebih sekitar 5.000 m2, jadi secara gambaran kasar kewajiban PLN di tanah tsb hanya kurang lebih 4.000 m2 dari total luas 560.000 m2.

Namun yg terjadi saat ini, di semua total luas 560.000 m2 tsb kami tidak diijinkan memulai pekerjaan. Apakah ini fair untuk kami pelaksana Proyek Strategis Nasional? Tanya Nanda mengakhiri klarifikasnya. (cno)

  • Bagikan