Scroll Untuk Membaca

HeadlinesOpini

Perampasan Lahan

Perampasan Lahan

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Perampasan lahan harus diakui sebagai neo-kolonialisme atau imperialisme yang sangat kentara. Fakta ini tidak hanya proses ekonomi, tetapi juga politik, sosial, dan budaya, yang mempengaruhi hubungan antara manusia dan lingkungan, serta antara negara dan masyarakat sipil

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Perampasan Lahan

IKLAN

Buku The Global Land Grab: Beyond the Hype karya Kaag dan Zoomers (2014) adalah kajian kritis tentang fenomena perampasan lahan skala besar di berbagai belahan dunia terlebih di negara miskin seperti kawasan Afrika dan lain-lain, termasuk Indonesia. Proses yang kompleks, dinamis, dan kontekstual, yang melibatkan berbagai aktor, motif, dan dampak.

Fenomena mengglobal ini bukan hal baru. Memiliki proses sejarah panjang dan kompleks dari perubahan struktural dalam hubungan antara masyarakat, negara, dan pasar (Kaag dan Zoomers, 2014: 19). Konteks politik ekonomi dari pengambilalihan lahan ini, serta dampaknya terhadap masyarakat lokal, lingkungan, dan hak asasi manusia, niscaya memerlukan kritik atas beberapa klaim dan asumsi yang sering digunakan untuk membenarkan pengambilalihan lahan. Intinya ialah paket kebijakan neoliberal yang didukung oleh lembaga keuangan internasional (Bank Dunia dan IMF) meliputi privatisasi, deregulasi, liberalisasi perdagangan, dan pengurangan peran negara.

The Guardian edisi 30 Oktober 2013 menulis sebuah laporan investigasi berjudul Swallowed by coal: UK profits from Indonesia’s destructive mining industry. Disebutkan, hutan telah habis, tambang-tambang terbuka mengelilingi kota. Tongkang-tongkang raksasa melewati sungai Mahakam setiap beberapa menit membawa batu bara ke India, Jepang, Korea, dan sekitarnya. Hampir 70% wilayah kota telah diserahkan kepada perusahaan batu bara sebagai konsesi.

Kota ini dan sebagian besar wilayah Kalimantan Timur tidak dapat dikenali lagi oleh mereka yang meninggalkannya sekitar tiga dekade lalu. Perusahaan pertambangan seperti BHP Billiton menggunakan dana yang dikumpulkan di London untuk mengeksploitasi cadangan batubara terbesar ini. Tak kurang dari 449 konsesi eksplorasi telah diberikan, mencakup wilayah seluas 15.313 mil persegi (39.662 km persegi)-sekitar 25% dari luas seluruh provinsi berhutan lebat yang terkenal dengan suku, keterpencilan, dan satwa liarnya.

Seperti di sekitar Wadas, Dairi, Air Bangis dan lain-lain yang dilanda kasus yang sama di Indonesia, penduduk Rempang kini berduka. Seakan keberadaan mereka tidak diakui dan demikian juga hak-hak mereka. Kejamnya perlakuan terhadap mereka mendorong orang untuk menentang. UAS adalah salah seorang di antara yang sudah memberi suara. Penduduk Rempang itu sudah dikenal sejak 1642, katanya. Memang, dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1862 (4) [volgno 3] yang antara lain memuat laporan P.A.Leupe tentang penduduk yang menghuni Rempang (hlm 127-126) disebutkan bahwa orang Eropa telah mengenal mereka sejak 1642.

Leupe menyebut beberapa sumber terkait, di antaranya Beschrijving van een gedeelte der residentie Riouw yang dimuat dalam Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde, Deel II, pagg. 135 — 140 (1854). Juga ditegaskan kemiripan penduduk ini dengan yang ada di Djohor, sebagaimana disebut dalam Journal of the Indian Archipelago, 1849, No. 5, dan sebagaimana juga dalam Account of Malacca karya Newbold. Bahkan dalam memorandum yang ditinggalkan oleh Gubernur pertama Malaka, Johan van Twist, setelah penyerahan pemerintahannya kepada Jeremias van Vlieth, bahkan keterangan lebih rinci ditemukan.

Di balik alasan-alasan yang diusahakan dengan kesan positif, sesungguhnya berbagai faktor seperti reforma agraria, liberalisasi pasar, desentralisasi, dan perubahan demografi tidak selalu hadir dalam narasi dan fikiran yang sehat. Penggusuran penduduk lokal, konflik antara kelompok etnis, dan perubahan pola mata pencaharian, sebagaimana sedang terjadi di Rempang, Air Bangis, Dairi dan daerah selalu dapat terjadi karena adanya persaingan atas sumber daya, hak tanah, atau pengaruh politik. Memang ini bukan hanya fenomena ekonomi, tetapi juga politik, yang mempengaruhi hubungan kekuasaan antara negara-negara donor dan penerima, serta antara elit dan masyarakat lokal (hlm 67).

Konsensus Washington telah mempengaruhi pengambilalihan lahan dengan mendorong negara-negara berkembang membuka sektor pertanian mereka bagi investasi asing. Konsekuensi pengabaian hak-hak masyarakat adat dan petani kecil atas tanah dianggap tidak begitu penting. Mempromosikan model produksi skala besar yang tidak ramah lingkungan dan sosial mensahkan semua tindakan brutal, dan itu sejalan dengan konsekuensi yang tak mungkin dibantah lainnya, yakni mengurangi kemampuan negara untuk mengatur dan mengawasi aktivitas investor.

Konsensus Washington berdampak negatif terhadap masyarakat lokal dengan tragedi kehilangan sumber mata pencaharian dan keamanan pangan (Borras et al., 2011); mengancam identitas budaya dan sosial (Hall et al., 2015); menimbulkan konflik dan ketidakadilan sosial (Scoones et al., 2013); mengurangi partisipasi dan pemberdayaan dalam setiap pengambilan keputusan (White et al., 2012).

Dalam Siaran Pers Bersama Selasa, 24 Juli 2018, Koalisi Pemantau Pembangmunan Infrastruktur menyatakan Bank Dunia Pelaku Perampasan Lahan; Pemerintah Indonesia Harus Batalkan Pinjaman Percepatan Reforma Agraria. Pada tanggal 18 Juli 2018, International Bank for Reconstruction and Development (IBRD)-dari World Bank Group telah menyetujui utang baru untuk Program Percepatan Reforma Agraria (Kebijakan Satu Peta) yang menelan biaya 240 juta USD. Dari 240 juta tersebut 200 juta USD berasal dari Bank Dunia dan 40 juta USD dari Pemerintah Indonesia. Proyek ini diklaim akan berjalan mulai 2018 hingga 2023.

Menurut koalisi, utang akan melanjutkan Proyek Administrasi Pertanahan yang mempercepat komodifikasi tanah, membuat kebijakan agraria serta-merta menjauh dari amanat UU Reforma Agraria dan secara niscaya berakibat semakin menumbuhkan ketimpangan. Koalisi mengakui, benar bahwa untuk kepentingan Reforma Agraria diperlukan kebijakan satu peta agar tidak terjadi tumpang tindih klaim tanah di tingkat pemerintah.

Namun, koalisi menyayangkan, proyek yang memiliki ketiga komponen utama tersebut, yang terkesan hanya sempurna dari segi judul dan tujuan tertulisnya saja, tetapi gagal menjelaskan bagaimana proyek berjalan. Di atas kertas, proyek-proyek Bank Dunia tidak pernah lepas dari kata “Partisipatif” atau “Participation”. Namun pada kenyataannya pelanggaran terhadap prinsip partisipasi selalu saja terjadi, tegas Koalisi.

Berbagai argumen dan agenda yang mendasari sikap dan kebijakan dari aktor-aktor ini, serta tantangan dan peluang yang mereka hadapi berujung satu pernyataan terpenting “ada kebutuhan mendesak untuk membangun kerangka kerja global yang lebih inklusif dan demokratis untuk mengatur penanaman modal asing dalam bidang pertanian dan pertambangan, yang dapat memastikan hak-hak dan kepentingan dari masyarakat lokal dan negara-negara penerima” (hlm 113).

The Global Land Grab: Beyond the Hype bukan satu-satunya sumber informasi yang dapat dijadikan acuan untuk kasus-kasus meluas perampasan lahan. Land Grabbing: A Critical Review of Case Studies across the World oleh Yang dan He (2021) memberi tinjauan kritis terhadap 128 studi kasus perampasan lahan yang dipublikasikan sejak tahun 2007 sembari menguji distribusi geografis dan topik-topik yang sering dikaji dalam penelitian, serta mengklarifikasi dampak lingkungan dan sosial-ekonomi dari perampasan lahan. Buku ini juga mengungkapkan kesenjangan-kesenjangan dalam literatur eksisting dari segi konseptualisasi, metodologi, dan wilayah penelitian.

Artikel A Global Solution to Land Grabbing? An Institutional Cosmopolitan Approach oleh Toft (2013) membahas argumen etis tentang perampasan lahan terkait dengan biofuel dan hak asasi manusia serta menentang pendekatan investasi yang bertanggung jawab berbasis hak asasi manusia, karena dianggap hanya akan memperparah perampasan lahan. Artikel ini menawarkan alternatif pendekatan kosmopolitan institusional, yang memperhatikan konteks regional dan temporal serta melibatkan pemangku kepentingan dalam negosiasi tentang lahan.

How to Protect Yourself against Land Grab oleh The Economic Times (2021) memberi tips praktis bagi pemilik tanah untuk melindungi diri dari perampasan lahan. Dijelaskan langkah-langkah hukum yang dapat diambil oleh pemilik tanah, seperti memeriksa status tanah secara berkala, memastikan dokumen tanah lengkap dan sah, melaporkan setiap tindakan mencurigakan kepada otoritas, dan mengambil tindakan hukum jika terjadi sengketa.

Land Grabbing” oleh Foundation on Future Farming (2016) memberikan gambaran umum tentang penyebab, proses, dan dampak dari perampasan lahan di dunia. Laporan ini juga menyajikan beberapa contoh kasus perampasan lahan di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Laporan ini menyoroti masalah-masalah yang timbul akibat perampasan lahan, seperti pelanggaran hak-hak tanah, kerusakan lingkungan, penggusuran masyarakat lokal, dan ketidakadilan sosial.

Perampasan lahan harus diakui sebagai neo-kolonialisme atau imperialisme yang sangat kentara. Fakta ini tidak hanya proses ekonomi, tetapi juga politik, sosial, dan budaya, yang mempengaruhi hubungan antara manusia dan lingkungan, serta antara negara dan masyarakat sipil (Kaag dan Zoomers, 2014: 29).

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE